Mengapa Kita Bergumul dengan Penyaliban?

Dalam upaya kita untuk menyederhanakan pesan dari kematian Yesus, kita meminimalisir kesulitan untuk mempercayai bahwa itu benar. 

Oleh :Stefani McDade 

Di jalan pasar loak yang sibuk di Miami, Florida, tiga saudara perempuan saya dan saya berdiri di sekitar sebuah kotak kardus yang berisi selusin anak ayam kuning dan meminta ayah kami untuk membelinya. Setelah satu jam merengek, ia mengalah — dengan satu syarat: kapan pun itu anak ayam itu cukup besar dan gemuk, kami akan memotongnya dan memakannya bersama-sama.Anda tahu, ayah saya tumbuh di sebuah pertanian, dan Anda tidak dapat mengambil hal itu dari dalam dirinya, bahkan setelah dia tinggal di tengah-tengah kota metropolis. Sebagai pengingat nasib ayam kecil itu, ayah kami memilih menamainya: Nuggets. “Jangan terlalu terikat,” dia memperingatkan kami.

Tapi tentu saja, cinta kami pada hewan peliharaan baru ini tumbuh bersama dengan bulu-bulunya yang keemasan — kami mendorongnya di ayunan kami dan menidurkannya di keranjang cucian. Kami mengejarnya di sekitar halaman dan memberinya makanan, cekikikan saat paruhnya menggigit lembut kulit kami. Saya ingin berpikir bahwa ayah kami akan membiarkan Nuggets hidup jika saja tetangga kami tidak melaporkan kami karena melanggar wilayahnya. Tetapi tidak. Yang saya tahu adalah ketika Nuggets berusia 6 bulan, ayah kami datang dari halaman belakang dan mengumumkan “Hari ini adalah saatnya” – dan kami semua paham maksudnya. Adik-adik saya mulai menangis, sebagian besar karena bingung sebab mereka terlalu kecil untuk memahami alasannya. Kakak saya lari ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia kemudian muncul dengan berpakaian hitam dan warna kuku hitam sebagai tanda protesnya. Saya memisahkan diri sebagai anak yang pemberani, berlari keluar untuk melihat ayah saya membawa Nuggets ke tempat pemotongan. Saya berdiri disana dengan kamera sekali pakai untuk mengambil gambar saat-saat terakhir hewan peliharaan kami – namun saya terus menutup mata dan perut saya bergejolak.

Pada akhirnya, kami memberikan Nuggets kepada suatu keluarga di gereja – bayangan untuk mengkonsumsi hewan peliharaan kami sendiri terlalu mengerikan bagi kami. Tidak ada peringatan yang bisa mempersiapkan kami untuk saat itu, yangmeskipun agak sepele bagi saya sekarang, cukup traumatis sebagai seorang anak.Namun saat sekarang saya melihat ke belakang dan bertanya-tanya, mengapa rasanya begitu tiba-tiba dan begitu mengejutkan, padahal ayah saya sudah menjelaskan sejak awal bahwa Nuggets pasti akan mati nantinya.

Saya sering mencaci para murid Yesus karena keraguan mereka saat kematian Kristus. Sebagai pembaca teks modern, semuanya tampak begitu jelas dan begitu rapi. Alkitab mencatat tiga contoh di mana Yesus menubuatkan tentang penyaliban-Nya dan mengarahkan kepada rujukan-rujukan lebih lanjut yang Ia buat “sejak saat itu” (Matius 16:21). Ia tidak menggunakan perumpamaan atau alegori seperti yang Ia sering lakukan saat Ia mengajar; Ia berbicara secara langsung dan jelas, menjelaskan dengan tepat apa yang akan terjadi pada-Nya, bagaimana dan dimana itu akan terjadi — dan di tangan siapa. Lalu, mengapa para murid begitu terkejut ketika apa yang Yesus telah katakan akhirnya terjadi?Tentunya mereka telah mengetahui bahwa sahabat dan guru mereka ini, sama seperti ayah saya, adalah orang yang menepati janjinya dan tidak cenderung membesar-besarkan. Selain itu, mereka telah melihat Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian. Mengapa setidaknyamereka menunggu di kubur Yesus selama tiga hari untuk melihat apakah nubuat-Nya akan menjadi kenyataan? 

Sebelumnya, ketika Yesus memberi tahu para murid-Nya bahwa Ia akan mati, mereka “tidak mengerti perkataan itu, namun segan menanyakannya kepada-Nya” (Markus 9:32). Namun dikesempatan lain, “mereka sangat sedih sekali” (Mat. 17:23).Tetapi yang paling mengejutkan adalah ketika Petrus berkeberatan dan menimbulkan teguran keras dari Yesus. Sebelum para prajurit datang untuk menangkap Yesus di Taman, Petrus bersedia untuk mati daripada melihat Tuhannya diserahkan kepada kematian.Namun, hanya beberapa jam kemudian, ketika jelas bahwa Yesus akan disalib, begitu takutnya Petrus sehingga ia menyangkal memiliki hubungan dengan Yesus. Petrus, yang begitu yakin dengan semangat dan pengabdiannya, terguncangsepenuhnya ketika ia melihat Yesus berjalan seperti anak domba menuju ke tempat pembantaian. Jelas bahwa ini bukan akhir yang dia harapkan.

Terkadang saya mendapati diri saya membuat kematian Yesus menjadi suatu lukisan yang indah. Saya berdiri di depannya, merenungkan kedalaman misteri dan makna di balik setiap petak warna dan berpikir, Tapi tentu saja, harus seperti itu. Pengorbanan dirinya begitu matang dengan keindahan, dipenuhi dengan pertanda dan terukir dengan kemuliaan. Namun sementara desainnya mungkin tampak jelas bagi kita sekarang, kita harus ingat bagaimana saat itu terasa sangat tidak masuk akal bagi mereka yang mengikuti-Nya. Kekecewaan para murid menunjukkan betapa salah, tidak tepat waktu, dan tidak patutnya kematian Kristus pada saat itu.Keesokan paginya di ruang atas, para murid tidak mengangguk satu sama lain tanda mengerti akan apa yang sedang terjadi. Tidak ada inspirasi dimana nubuat Kristus akan segera tergenapi, dan memberi jalan bagi kebangkitan-Nya.Tidak, saya membayangkan kematian Tuhan mereka terasa lebih seperti perban yang dibuka dan menanggalkan luka menganga — seperti seorang anak yang diambil oleh penyakit yang tiba-tiba. Semuanya terasa yang mengerikan dan traumatis.

Kita harus ingat bagaimana saat itu terasa sangat tidak masuk akal bagi mereka yang mengikuti-Nya.

Namun itu tidak cukup bagi Yesus untuk membiarkan tubuh-Nya tergantung dan berdarah di atas salib di hadapan para musuh-Nya – Ia menciptakan suatu upacara bagi murid-murid-Nya. Pada Perjamuan Terakhir sebelum menghadapi kematian-Nya, Kristus memegang anggur dan roti di tangan-Nya dan menyuruh para murid untuk minum dan makan untuk mengenang Dia.Dengan cara ini, Tuhan kita memastikan bahwa orang-orang percaya selanjutnya tidak hanya akan tergerak oleh makna kematian-Nya, melainkan juga mereka akan mengingat bahwa ini adalah hal yang harus dilakukan dan tak terhindarkan.

Bahkan sebelum itu, Yesus menyinggung tentang perjamuan ini dalam Yohanes 6 sambil berbicara kepada sekelompok orang yang telah mengikuti-Nya selama berhari-hari.“Sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.” Ia berkata,“Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia” (Yohanes 6:53-56).

Merasa kecewa dan jijik, para pengikut-Nya mulai mengeluh, “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (Yohanes 6:60). Inilah titikdimana kita diberitahu bahwa banyak dari mereka berpaling dan tidak lagi berjalan bersama-Nya. Yesus kemudian berpaling ke kedua belas murid-Nya dan bertanya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Petrus menjawab, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yohanes 6:67-68)

Saya pikir pengikut Kristus masih berjuang dengan dilema yang sama hari ini. Apakah kita memilih untuk percaya pada semua perkataan-Nya — bahkan yang tidak kita mengerti? Apakah kita siap untuk melayani Tuhan yang telah menjanjikan kita akan ada masalah dan kebencian dalam hidup ini, mengetahui bahwa Ia tidak menyelamatkan diri-Nya dari ketidakadilan yang Ia alami sendiri?Apakah kita mengakui penderitaan-Nya bersama-sama dengan penderitaan orang lain, dan juga penderitaan kita sendiri — tanpa berusaha menyingkirkan realitas yang tidak nyaman itu? Apakah kita mengikuti Yesus karena Ia masuk akal, atau karena kita telah menetapkan Dia sebagai satu-satunya jalan, kebenaran, dan kehidupan kita? Ya, bahkan ketika rasanya pahit di lidah kita, Kristus telah memanggil kita untuk makan daging-Nya dan minum darah-Nya.

Mungkin sakramen perjamuan kudus adalah pengingat bahwa Juruselamat kita yang menderita akan selalu menjadi pil yang sulit untuk ditelan. Allah yang disalibkan merupakan gagasan yang bodoh saat itu dan hari ini; sebuah batu yang tajam di mana dunia menyandungkan jari kakinya. Dan bagi kita yang terus mengikuti di bawah bayang-bayang salib-Nya, meskipun kita sudah tahu bagaimana kisah ini seharusnya berakhir, kematian Kristus masih merupakan momen yang membingungkan dan tak terduga — saat-saat yang meresahkan ketika kita tidak yakin semuanya akan menjadi baik-baik saja nantinya.