Mengasihi Sampai Akhir
(Leigh McLeroy)
Dalam budaya“sekali pakai”, apa artinya mengakhiri dengan baik?
Menyukai permulaan-permulaan itu mudah. Kesempatan kerja yang menjanjikan, rumah yang baru, bunga-bunga yang mulai merekah di taman musim semi, kamar anak yang baru dicat – semua ini mengandung harapan yang jernih dan murni. Setiap halaman tentang masa depan membentangkan kertas kosong yang bersih, tanpa tanda-tanda menyimpang, kesalahan atau penyesalan. “Aku tinggal dalam Kemungkinan,” penyair Emily Dickinson bersukaria, “Rumah yang lebih adil daripada Prosa.” Tentu saja saya dapat menghargai pandangannya. Kemungkinan- atau “apa yang bisa terjadi”—mengandung daya tarik yang jarang sesuai dengan prosa realitas saat ini. Pertengahan-pertengahan yang panjang, dan Akhir yang bergulir perlahan, jauh lebih sulit daripada Permulaan-permulaan yang penuh harapan, yang dijalani dengan penuh rakhmat, apalagi untuk mencintai. Memulai dengan baik itu mudah. Mengakhiri dengan baik itu sukar.
Saya sudah lama mengagumi ingatan rasul Yohanes tentang Yesus yang merupakanFigur yang “senantiasa mengasihi murid-murid-Nya … sampai kepada kesudahannya” (Yohanes 13:1). Yesus melakukan hal ini, kata Yohanes, karena Dia tahu, bahwa “saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa.” Dengan kata lain, Yesus akan pergi dan Dia tahu itu. Waktu-Nya bersama orang-orang yang dikasihi-Nya tinggal sebentar saja, dan banyak hal akan tetap tidak terkatakanatau dilakukan. Tetapi Dia tidak berhenti mengasihi. Yesus Kristusbukan orang yang melakukan investasi emosional jangka pendek. Dan Dia tidak hanya menyadari sisa waktu-Nya yang singkat, Dia juga menyadari bahwa hal itu – setidaknya secara manusiawi – akan menghancurkan hati mereka semua.
Saya ingin seberani itu. Beberapa tahun lalu, teman saya akan meninggal dan ia tahu hal itu. Kami yang mengasihinya tahu hal itu. Sebagai duda cerai yang hidup sendiri, ia bisa saja menutup diri dari teman-temannya, bersembunyi, dan menghadapi ajal sendirian. Tetapi syukur, ia memilih cara yang lebih baik. Ia mengundang rekan-rekan kerja dan karyawannya ke rumahnya seminggu sekali untuk “rapat-rapat strategi,” yang tidak lain merupakan kesempatan-kesempatan kecilnya yang terselubung untuk mengingatkan mereka tentang kelebihan-kelebihan mereka dan menyemangati mereka dengan pujian. Secara sendiri-sendiri maupun di depan rekan-rekannya, ia meneguhkan talenta-talenta mereka dan mendorong mereka untuk terus maju. Dengan diam-diam dan tanpa kehebohan sama sekali, ia menandatangani penyerahan sahamnya di perusahaanitu kepada rekannya untuk memastikan ada dampak finansial minimal pada tim yang masih ada. Sebagian besar hal ini ia lakukan dalam keadaan tidak bercukur, dengan mengenakanpakaian mandi dan dengan kabel gawai berjuntai di sikunya.
Pada salah satu hari terakhirnya yang cerah, saya mendapat kesempatan untuk bercengkerama dengannya. Kami duduk bersama di bawahsinar lampu remang-remang di ruang keluarganya. Sambil bertengger di ujung sofa dan melipat kaki-kakinya yang lemah, ia—seorang penulis andal—menyebut saya sebagai penulis paling berbakat yang pernah ia kenal. Ia lalu meraih laci terdekat dan menarik satu buku karya seorang penulis favorit kami dan berkata, “Kamu adalah satu-satunya yang aku tahu dapat menulis sebagus dan sebenar ini.” Dan kemudian dengan selera humor sarkastik yang merupakan ciri khasnya, ia menambahkan, “Aku berharap kamu sudah selesai menulisnya saatini supaya aku dapat membacanya. Tetapi kamu sudah melewatkan batas waktu itu. Terlalu sibuk ya.” Keterlibatannya yang beranidi saat menghadapi kematian membuat setiap kami yang mengenalnya mendapat anugerah langka: kami harus balik mengasihinya pada saat yang paling berarti.
Akhir segala sesuatu akan tiba lewat berbagai cara; kematian adalah salah satunya. Pindah dari lingkungan atau gereja yang dikasihi, kehilangan pekerjaan, penyelesaian gelar sarjana tertentu, atau perubahan dalam kepemimpinan—semua ini memberi kita pilihan. Kita dapat melepaskan atau menjauhkan diri dari harapan-harapan yang membuat kita dapat meredakan rasa sakit yang tak terelakkan, atau kita dapat mengikuti teladan Kristus dan tetap semangat.
Dua musim dingin yang lalu, ibu saya sendiri meninggal. Sering berubah pendirian dan jarang menunjukkan kasih sayang membuat hubungan kami tidak berjalan mulus selama bertahun-tahun. Tetapi dua hari menjelang kematiannya – karena ia benar-benar terlalu lemah dan lelah untuk menyuruh saya pergi, dan saya juga terlalu takut kehilangan dia ketika mengundurkan diri – saya memilih risiko yang tidak menyenangkannya dan mengasihinya “sampai akhir.” Saya menyisiri rambutnya, memperbaiki letak bantalnya, mengurut kaki-kakinya yang kram, dan mengusapkan losion ke tangannya. Saya menyuapi es krim dengan sendok dan hampir tertawa ketika ia memandang saya dengan pipi belepotan krim vanila dan berkata tegas, “Mengurus orang sekarat ini adalah pekerjaan yang tidak mudah.” Ketika ia tidak lagi bisa melihat dan mendengar saya, saya berdoa di samping tempat tidurnya, menyeka mulutnya yang kering, dan mengelus-elus dahinya, membuat tanda salib. Ketika petugas rumah sakit khusus itu menelpon dan memberitahu bahwa ia sudah meninggal, saya langsung datang bersama seorang teman dan berdiri di dekat tempat tidurnya di kamar yang hening itu menjumpai jasadnya, menggenggam tangannya yang mungil sampai semua kehangatan itu lenyap. Saya berharap saya dapat mengasihinya dengan lebih baik, lebih awal dan lebih lama. Tetapi saya selalu bersyukur karena akhirnya saya dapat mengasihinya dengan baik, setidaknya pada saat-saat terakhir hidupnya.
Budaya kita adalah budaya yang mendukung pembuangan produk-produk yang hampir kedaluarsa, yang menekankan ketidakpraktisan mengenal sesama, dan hampir tidak berkedip ketika rencana-rencana (dan komitmen-komitmen yang lebih formal) diabaikan tanpa mengenal ampun. Apakah suatu pekerjaan mengecewakan? Tinggalkan saja, dan cari pekerjaan lain. Rumahtangga gereja tidak memuaskan? Pindah saja, atau ikuti ibadah daring untuk menghindari berbagai keterlibatan. Apakah suatu relasi makin bertambah sulit untuk dipertahankan? Lepaskan saja dan mulailah relasi yang lain. Kita tentu saja dapat melakukan hal-hal semacam ini. Tidak ada yang akan mengernyitkan kening ketika kita melakukannya. Tetapi orang-orang yang rindu meniru Kristus tidak akan melakukannya. Dengan kasih karunia-Nya – dan karena Dia sudah lebih dulu mengasihi kita—kita akan terus berjuang untuk tetap mengasihi. Kita akan memilih untuk mengakhiri segala sesuatu dengan baik dan mengenal sukacita yang sulit dengan melakukannya. Sukacita yang jauh melampaui kelegaan sementara karena cepat menyerah, menutup diri dan pergi menjauh. Kita memiliki semua yang kita perlukan untuk mengakhiri dengan baik. Bagaimanapun, Dia sudah menunjukkan bagaimana cara melakukannya kepada kita.