Mengatasi Ketakutan
(Tim Rhodes)
Komunitas sangat penting untuk pertumbuhan kita sebagai orang percaya.
Saya tidak bisa menjelaskan secara memadai mengapa saya bangun satu jam sebelum weker berbunyi. Mungkin saat itu matahari terbit lebih awal. Atau mungkin saya sangat gembira karena musim semi telah tiba kembali. Atau suara menyejukkan dari tetesan salju dan es yang mencair secara perlahan tapi pasti memunculkan tanah lapang yang sudah saya lupakan sejak bulan November. Trotoar dan bangku-bangku muncul dari hibernasi salju mereka, dan ada udara sejuk yang bisa membuat orang yang paling bermuka masam pun melompat girang. Saya dan istri sudah hampir satu tahun tinggal di Moskow, Rusia, ketika kami menyadari betapa kami sudah mengabaikan sinar matahari dan udara sejuk. Pagi itu, tidak seperti orang dalam kekelaman musim dingin, saya tidak terus meringkuk di tempat tidur, menunggu sampai detik terakhir saya bisa menyelinap keluar dari selimut hangat saya. Saya praktis langsung bangun dengan sigap, dan siap melempar diri saya ke hari itu, dan sangat bersemangat memanfaatkan waktu saya untuk bersiap-siap.
Saya sudah membuat rencana dengan seorang teman untuk bertemu di dekat pusat kota. Meskipun sudah ada tanda-tanda datangnya musim yang baru dan menyenangkan, cuaca dingin yang berkepanjangan membuat persiapan ke luar rumah menjadi panjang dan rumit. Saat berhenti sejenak usai mengenakan pakaian berangkap-rangkap, saya memeriksa situs-situs berita lokal dan media sosial untuk mengisi waktu. Ketika saya menjelajahi beberapa tajuk berita, saya mulai membaca kata-kata yang muncul berulang-ulang:
Berita Terkini. Pengeboman. Kereta bawah tanah. Korban. Mimpi buruk.
Akun Twitter saya dibanjiri peringatan-peringatan membingungkan dari warga Moskow. Tampaknya semacam serangan teroris telah terjadi di sekitar pusat kota. Para korban sudah diidentifikasi, dan jumlahnya terus meningkat. Meskipun belum mendapat informasi terkini, saya menelepon teman saya. Rencana kami harus ditunda. Saya tahu kami, dan sebagian besar warga kota, tidak bisa pergi ke mana-mana hari itu. Seiring berjalannya waktu, kepanikan mulai memudar, dan keterangan yang lebih jelas bisa dikonfirmasi. Dalam rentang waktu 40 menit, dua gerbong kereta api di stasiun yang berbeda telah diserang bom bunuh diri dalam perjalanan para penumpang ke tempat kerja di pagi hari. Sebanyak 40 orang tewas, dan ratusan lainnya luka-luka dalam tragedi itu. Selain tentunya terasa memilukan, bencana ini juga sangat menohok: Serangan itu terjadi di tempat yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari semua orang Moskow. Sekitar setengah penduduk kota menggunakan kereta setiap hari. Dengan memakai laptop dan ponsel, Beth dan saya mengecek keadaan teman-teman di seluruh kota, dimulai dari orang-orang yang kami tahu bekerja di wilayah yang diserang. Teman-teman Rusia kami juga dengan panik mengecek keberadaan kami. Meskipun 40 orang itu jumlah yang sedikit di kota yang berpenduduk sekitar 12 juta jiwa ini, serangan itu terasa personal. Beth dan saya, yang tinggal di antara dua stasiun jarak dekat, menggunakan kereta setiap hari, bahkan beberapa kali sehari. Meskipun kemungkinan orang yang dikenal terkena dampak langsung sangat rendah, setiap orang di Moskow bertanya-tanya apakah orang yang mereka kenal ada yang terdampak. Pada saat seluruh dunia secara berangsur-angsur mulai mengetahui tentang berita pengeboman itu, kami menerima pesan panik dan prihatin dari para sahabat dan kerabat di Amerika Serikat. Meskipun pada awalnya mereka hanya ingin memastikan kami dalam keadaan selamat, pertanyaan berikutnya yang paling sering disampaikan adalah: apakah kami berencana meninggalkan kota itu. Bukankah di situ terlalu berbahaya? Apakah kami tidak takut? Bukankah seharusnya kami pulang saja, ke tempat yang aman? Pikiran-pikiran seperti ini tidak terlintas di benak kami. Dan anehnya, bahkan sebaliknya. Ada sesuatu tentang tragedi yang menguji dan memperkuat ikatan kasih dalam sebuah komunitas. Jika dilihat dari jauh, para penonton hanya bisa melihat resiko. Tetapi proses dan pembangunan kembali yang terjadi setelah itu membawa dampak yang mendalam—meningkatkan rasa memiliki, solidaritas dan cinta kasih. Sebuah kesempatan untuk melalui kesedihan bersama-sama. Dari pengalaman kami, bergumul bersama tetangga-tetangga kami memberi kami segala stabilitas yang kami butuhkan untuk menghadapi dan mengatasi ketakutan dan ketidakpastian. Kita semua tahu bahwa Alkitab berbicara tentang mengasihi sesama. Galatia 5:13-14 berkata, “Kamu memang telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih. Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’!” Setelah pengeboman itu, jika pikiran pertama kami di tengah semua itu adalah pergi meninggalkan ketika hidup menjadi sulit, apakah kami sudah menjadi bagian dari komunitas yang kami bangun? Serangan itu tidak membuat kami ingin pergi—kami tidak memiliki pilihan lain kecuali tetap berada di sana. Pada hari-hari berikutnya, ketika rutinitas dipaksa untuk kembali berjalan normal, kami tidak lagi menganggap remeh keselamatan kami. Kami sekarang harus menyadari tindakan-tindakan kami dengan segala risikonya. Sekarang, Beth dan saya sudah membuat keputusan yang disadari ketika kami berjalan di bawah tanah ke terowongan kereta api—hal yang sebelumnya kami lakukan tanpa berpikir. Tetapi itu adalah risiko yang kami semua tahu harus kami ambil, dan kami mengambilnya bersama-sama. Respons dan balasan kami hanyalah terus menjalani kehidupan, kebiasaan, dan tradisi kami yang tidak berubah—kecuali, mungkin, untuk menunjukkan sentuhan menantang dengan cara kami melekat pada mereka. Peristiwa-peristiwa tragis di tahun 2010 ini tertanam dalam di benak kami. Kami tidak pernah lupa pada kesedihan dan ketakutan yang kami rasakan. Tetapi yang lebih kami ingat adalah keputusan untuk tidak lari dari bahaya, tetapi untuk menemukan penghiburan bersama orang-orang yang kami kasihi dan berduka bersama dalam kabut kehilangan. Ketika kami berdoa untuk perdamaian, itu bukan sekadar gagasan yang hipotetis dan samar-samar. Itu adalah komitmen untuk bertindak.