Menghafalkan Kitab Suci
(Tania Runyan)
Menggugah Kehidupan (Sehari-hari) untuk Menghafalkan Alkitab
Saya sebenarnya akan berkata: Saya tidak pernah suka menghafalkan Alkitab. Apa gunanya keluarga kami menyimpan dua lusin Alkitab di rumah kami? Jumlah ini belum termasuk buku-buku cerita dan buku-buku renungan lain yang membagi-bagi Alkitab menjadi potongan-potongan kecil tulisan yang menginspirasi. Ditambah lagi dengan aplikasi Alkitab yang ada di ponsel, saya benar-benar memiliki Firman Tuhan di ujung jari saya 24 jam sehari.
Menghafalkan Alkitab juga membuat stres. Ketika anak-anak saya masih kecil, mereka mengikuti acara Awana—lembaga Kristen yang berdedikasi mengajarkan Alkitab pada anak-anak – dan saling beradu cepat-tepat dengan buklet-buklet hafalan mereka, dan mereka berdebat tentang siapa yang akan memenangkan permen paling banyak. Saya takut membuka Alkitab untuk semacam kontes, sekadar memenuhi kewajiban, atau sarana untuk menyenangkan orang, apalagi dengan memakai ayat-ayat yang menggantikan buah Roh yang sesungguhnya.
Namun, jika saya jujur pada diri saya sendiri, Alkitab tidak berbuat banyak di kepala saya saat ini, dan saya tak bisa berpura-pura bahwa pemahaman yang menerangi saya sudah menghasilkan banyak buah dengan sendirinya. Bagaimana jika Alkitab benar-benar menguasai pikiran saya, derap langkah-langkah saya? Bagaimana jika saya dapat langsung menyebutkan perkataan-perkataan yang kudus itu dalam percakapan-percakapan, tanpa harus membuka Alkitab?
Saya baru saja selesai membaca The Heavenly Man: The Remarkable True Story of Chinese Christian Brother Yun. (Manusia Surgawi: Kisah Nyata Luar Biasa tentang Seorang Saudara Kristen dari Cina yang bernama Yun-Red). Pemimpin gereja rumah di China ini pernah di penjara selama beberapa tahun dan mengalami siksaan yang tak terperikan ketika mengabarkan Injil di lingkungan yang sangat memusuhi pelayanannya.
Ketika baru menjadi orang percaya pada usia 16 tahun, Yun berdoa meminta Alkitab – ia bahkan berpuasa dan menangis selama beberapa bulan, sampai dua orang pria, yang hanya dikenalnya melalui penglihatan, mendatanginya dengan kitab selundupan itu. Ia kemudian dengan tergesa-gesa membaca dan mempelajari Alkitab itu dari pagi hingga malam, dan mulai menghafalkannya dengan kecepatan satu pasal per hari.
Ketika dihadapkan pada kesukaran, seperti diseret ke ruang interogasi yang dilengkapi cambuk, rantai dan colokan listrik bervoltase tinggi, Yun tidak berpikir tentang hak azasi, keadilan atau makanan yang sudah tidak disantapnya selama dua bulan. Ia memikirkan tentang Kristus, yang “dianiaya,.. . ditindas, dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian…” (Yesaya 53:7). Firman Allah tidak hanya menguasai pikirannya, tetapi sudah menjadi pikirannya, karena ia jarang memikirkan yang lain.
Meskipun saya kemungkinan besar tidak akan pernah mengalami penganiayaan sehebat itu, saya setidaknya juga akan terus bergulat dengan penderitaan, sukacita dan kebingungan sebagai manusia. Saya dapat sedikit menjadi seperti Saudara Yun.
Maka saya memutuskan untuk mulai menghafalkan Alkitab lagi, mulai dari surat Paulus kepada jemaat Efesus yang (relatif) singkat dan menyenangkan. Saya memakai Alkitab Perjanjian Baru versi Bahasa Inggris Masa Kini (The New Testament in Modern English) yang diterjemahkan oleh rohaniwan Anglikan J. B. Phillips untuk kelompok kaum mudanya sendiri pada tahun 1940-1950-an. Tujuan di balik proyek Philips ini – mengabdikan diri dalam kerumitan bahasa Yunani selama lebih dari satu dasawarsa agar dapat membangun sekelompok anak remaja – menarik saya kepada Firman dengan pandangan dan kegairahan yang baru. BibleGateway.com menjelaskan versi Alkitab ini sebagai versi “terbaru dan kuat, melibatkan pembaca dalam peristiwa-peristiwa dramatis dan pengajaran Perjanjian Baru yang penuh kuasa.” Hal ini membuat saya makin bersemangat. Dan juga, karena terjemahan ini jarang digunakan, banyak orang bahkan tidak akan memperhatikan apakah saya menghafalkannya dengan tepat.
Saya tahu usaha ini tidak akan berjalan mudah. Pikiran saya sering mengembara ke janji-janji untuk bertemu dokter gigi, proposal-proposal tulisan, dan makan-makan seadanya di gereja. Otak saya yang berusia 40-an ini sudah kehilangan ketajamannya. Terkadang saya memandang ke luar jendela dalam keadaan kembali mencari cara yang lebih mudah, mendengarkan lagu “Take On Me” berulang-ulang sambil berusaha memikirkan, dalam arti sebenarnya, apa yang seharusnya saya lakukan.
Lalu saya menulis tentang menghafalkan kitab Efesus agar saya benar-benar menghafalkan kitab Efesus. Apa yang tidak dapat saya lakukan untuk kehidupan rohani yang lebih kaya setidaknya dapat saya lakukan untuk sebuah tenggat waktu menulis. Tidak ada yang lebih memotivasi saya selain mencentang daftar proyek yang sudah selesai, apalagi jika proyek itu melibatkan orang lain sebagai bentuk akuntabilitas. Satu-satunya cara yang membuat saya dapat membaca dan mempelajari kitab Wahyu adalah dengan menulis buku puisi tentang kitab itu. Cara apa lagi yang dapat saya lakukan dengan belalang-belalang dan api? Syukurlah Tuhan mengerti cara kerja saya.
Saya kemungkinan tidak akan diborgol dan dilempar ke atas truk dalam beberapa bulan mendatang. Tetapi ketika saya menghadapi “penguasa-penguasa” saya sendiri yang mengancam akan memenjarakan saya – kecemasan, kegagalan dalam pekerjaan dan dalam menjadi orangtua, ketakutan tidak dicintai – saya akan mencari damai yang melampaui segala akal, yang sudah dijelaskan Paulus 2000 tahun yang lalu. Jadi seperti halnya yang dikatakan Paulus, saya, Tania, utusan Kristus Yesus oleh kehendak Allah, kepada semua orang Kristen setia yang sedang membaca Sentuhan Hati: Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai Anda. Saya berharap dapat bersama Anda dalam perjalanan ini.