Menjadi Gila Karena Tuhan
Mengejar haleluya yang lebih dalam
Oleh Joshua Ryan Butler
Pernahkah Anda terpesona oleh laut? Saya ingat sekali saat saya sedang berselancar, melayang di atas ombaknya yang dahsyat, dan dikejutkan oleh pikiran: Airnya begitu indah dan anggun, namun kekuatannya bisa menghancurkan saya. Sebagian keindahan lautan terletak pada luasnya, membentang luas ke cakrawala, lebih jauh dari apa yang dapat dilihat oleh mata kita. Namun gambaran ini juga mengungkapkan betapa kecilnya kita bila diperbandingkan — seperti kerikil di dasar Gunung Everest.
“Seperti halnya seorang peselancar di atas ombak, kerapuhan dan kerentanan kita di hadapan kebesaran Allah seharusnya membuat kita semua lebih bersyukur atas karakter-Nya dan atas fakta bahwa Dia mengasihi kita, memelihara kehidupan kita, dan menopang kita dengan keagungan diri-Nya.”
Penyembahan pun serupa. Kekaguman dan rasa syukur muncul ketika kita menyadari betapa kecilnya kita di hadapan keagungan Allah kita. Dalam kitab Wahyu, Allah duduk di atas takhta surgawi, dikelilingi oleh makhluk hidup dan berjuta malaikat. Dua puluh empat penatua mewakili umat Allah (12 untuk suku-suku Israel; 12 untuk para rasul gereja) secara teratur “tersungkur di hadapan Dia yang duduk di atas takhta itu, dan … menyembah Dia” (Wahyu 4:10).
Ini pemandangan yang cukup luar biasa, dan istilah Bahasa Yunani proskuneó — digunakan di sini untuk “menyembah” —merupakan kata kunci, kata yang muncul 24 kali dalam kitab Wahyu dan 60 kali dalam Perjanjian Baru secara keseluruhan. Apa yang bisa diajarkan oleh kata ini, dan pemandangan ini, tentang postur kita terhadap Allah?
Penyembahan dinyatakan secara fisik
Pertama, penyembahan melibatkan tubuh fisik. Di zaman kuno, penyembahan secara harfiah berarti berlutut, bersujud, dan mencium tangan yang Anda di hadapannya Anda bersujud. Ini adalah cara mengenali seseorang secara fisik sebagai otoritas Anda dan menunjukkan rasa hormat. Mazmur 2:11-12 menyatakan, “Ciumlah kaki-Nya supaya Ia jangan murka.” Apa yang disebut di dalam ayat ini bukanlah ciuman romantis di bibir, melainkan, penghormatan kepada seorang raja— terkadang disebut “mencium cincin” sebagai pengakuan atas kedaulatan raja.
Demikian pula, ketika orang-orang majus datang untuk mengunjungi Yesus, mereka “sujud, dan menyembah Dia” (Matius 2:11). Bisakah Anda membayangkan berlutut di hadapan seorang bayi? Bayi Yesus mungkin kecil, tetapi seperti halnya bobot samudera, harapan dunia ini ada pada-Nya. Mereka mengakui Dia sebagai Juruselamat yang dijanjikan dan yang diinginkan bangsa-bangsa.
Saat kita menyadari betapa besarnya Tuhan itu, rasa takut yang sehat akan menyertai pengetahuan itu.
Dalam kitab Wahyu, Allah disembah karena Ia “hidup sampai selama-lamanya” (Wahyu 4:10). Dia adalah Pribadi yang Kekal yang memiliki kehidupan yang tiada ada habisnya di dalam diri-Nya, tanpa awal atau akhir. Allah pun disembah karena Dialah yang “menjadikan langit dan bumi” (Wahyu 14: 7). Segala sesuatu telah datang dari-Nya dan ada bagi-Nya; kita bergantung pada-Nya untuk nafas di dalam paru-paru kita. Seluruh alam semesta berputar di sekitar Pencipta kita; keberadaan kita bergantung pada-Nya. Tidak ada yang lebih penting daripada itu.
Saat kita menyadaribetapa besarnya Tuhan itu, rasa takut yang sehat akan menyertai pengetahuan itu. Bukan karena Dia jahat dan kita takut Dia akan mengamuk bila Dia mengalami hari yang buruk, tetapi semata-mata karena agung sifat dan kekuatan-Nya. Seperti halnya seorang peselancar di atas ombak, kerapuhan dan kerentanan kita di hadapan kebesaran Allah seharusnya membuat kita semua lebih bersyukur atas karakter-Nya dan atas fakta bahwa Dia mengasihi kita, memelihara kehidupan kita, dan menopang kita dengan keagungan diri-Nya.
Penyembahan Mengakui Otoritas Allah
Pengamatan kedua dari kitab Wahyu adalah bahwa penyembahan mengakui klaim Bapa atas semua kehidupan. Allah ada di atas takhta surgawi, dan beberapa orang mungkin salah menyimpulkan bahwa hal ini berarti Dia hanyalah Tuhan di langit. Tetapi Alkitab memberi tahu kita bahwa Dia memerintah dari surga atas bumi. Sebagaimana sang pemazmur menulis, “Bermazmurlah bagi Allah, bermazmurlah, … Sebab Allah adalah Raja seluruh bumi, … Allah memerintah sebagai raja atas bangsa-bangsa, Allah bersemayam di atas takhta-Nya yang kudus.” (Mazmur 47:6-8). Dengan kata lain, otoritas tertinggi-Nya ada atas semua hal. Setiap inci persegi ciptaan diciptakan untuk menyanyikan pujian-Nya.
Sebagai pengikut Yesus, kita memberikan kesetiaan kepada Tuhan dalam segala hal — pekerjaan, romansa, sikap, keuangan, pengasuhan anak — dan segala sesuatu yang lain harus diprioritaskan dalam ketaatan kita kepada-Nya.
Sayangnya, banyak hal lain yang bersaing untuk penyembahan kita. Tuhan bukanlah satu-satunya objek pemujaan dalam kitab Wahyu. Beberapa orang tergoda untuk memuja iblis dan berhala (Wahyu 9:20), sementara yang lain memuliakan “naga” dan “binatang buas” (Wahyu 13: 4; Wahyu 13:12). Tuhan memiliki pesaing. Kita tidak dapat menghindar menjadikan sesuatu sebagai pusat dalam hidup kita; kami dirancang untuk menyembah. Seperti senandung Bob Dylan yang terkenal, “Engkau harus melayani seseorang.” Pertanyaannya adalah, Siapa?
Yesus memberi tahu kita bahwa Allah adalah yang paling layak. Ketika Iblis menawarkan kerajaan-kerajaan dunia jika Tuhan mau “sujud dan menyembah” dia, Yesus menanggapi pencobaan itu dengan mengutip Perjanjian Lama: “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Matius 4: 9-10). Kita harus menjadikan Tuhan sebagai yang terutama dalam hidup kita. Yesus mengingatkan kita bahwa mahluk ciptaan di bumi ini diciptakan untuk menjadikan Penciptanya sebagai pusatnya. Sebagai pengikut Yesus, kita memberikan kesetiaan kita kepada Tuhan dalam segala hal — pekerjaan, romansa, sikap, keuangan, pengasuhan anak — dan segala sesuatu yang lain harus diprioritaskan dalam ketaatan kita kepada-Nya.
Penyembahan memuji Keindahan
Seperti halnya lautan, Allah itu kuat dan indah. Kita menyembah Dia bukan hanya karena Dia kuat, tetapi lebih dari itu, karena Dia baik. Dalam kitab Wahyu, Allah dipuji sebagai yang mulia — kebaikan-Nya bersinar dalam kemegahan yang bercahaya. Dia menggunakan kekuatan-Nya untuk mengadakan keadilan dan keselamatan yang besar, dan pekerjaan pendamaian-Nya dengan umat manusia merupakan pengharapan dunia (Wahyu 1: 12-17; Wahyu 5: 9-10; Wahyu 11: 17-18; Wahyu 11: 17-18; Wahyu 21: 1-4 ).
Jika Anda hanya memahami kekuatan Tuhan, maka kemungkinan Anda akan sujud kepada-Nya secara fisik tetapi membenci-Nya di dalam hati Anda. Anda mungkin berpura-pura menyembah untuk mendapatkan apa yang Anda bisa dapatkan dari-Nya, dan bukannya menyerahkan segenap diri Anda kepada-Nya. Dalam Markus 7:6-7, Yesus mengkonfrontasi para pemimpin agama pada zamannya tentang hal ini, sekali lagi mengutip dari Perjanjian Lama: “Bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan” (Lihat Yesaya 29:13.)
Kita menyembah Dia bukan hanya karena Dia kuat, tetapi lebih dari itu, karena Dia baik.
Berbahaya untuk melakukan tindakan penyembahan tanpa sikap menyembah yang benar. Tuhan tidak tertipu oleh kemunafikan seperti itu. Yesus memberi tahu kita bahwa Bapa sedang mencari mereka yang akan menyembah Dia “dalam roh dan kebenaran” (Yohanes 4:23). Ini adalah penyembahan “yang keluar dari dalam hati”, dimana rasa kasih sayang kita terpikat oleh kemegahan Allah.
Dalam Perjanjian Lama, kata halal digunakan untuk jenis penyembahan dengan kekaguman semacam itu kepada keindahan hingga hal itu dapat membuat seseorang menjadi gila. Pertama kali kata ini muncul, dalam Kejadian 12:15, dimana para pangeran Mesir tercengang oleh kecantikan istri Abraham, Sara dan memuji dirinya di hadapan Firaun.
Pernahkah Anda menemukan seseorang yang begitu menakjubkan sehingga membuat Anda kehilangan akal dan merasa seolah-olah kehilangan diri Anda sendiri? (Faktanya, kata yang sama digunakan dalam I Samuel 21: 13-14, ketika Daud berpura-pura gila untuk menipu Raja Akhis.) Ini adalah respons yang tepat terhadap kemegahan Penebus kita. Ini adalah akar dari kata haleluya, yang berasal dari kombinasi kata halal dan Yahweh, nama Allah. Haleluya memiliki arti seperti “menjadi gila karena Allah.” Kata ini muncul empat kali dalam Wahyu 19 — yang semuanya terjadi setelah kemenangan Allah ditetapkan di dalam dunia. Jika Anda ingin membuat hati Anda menyala lagi dalam penyembahan Anda, maka tataplah keagungan Tuhan dan apa yang Dia lakukan.
Sama seperti laut biru yang dalam, Allah itu berkuasa dan agung, sementara pada saat yang sama kuat namun anggun. Kita diundang untuk berserah dan memberikan kepada-Nya segenap diri kita. Kita bergabung dengan orang-orang kudus dalam kitab Wahyu, terpesona dengan kemuliaan-Nya. Bagi Dia yang duduk di atas takhta, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa selama-lamanya – haleluya!