Menjadi Sempurna?

(Mason Slater)

Boleh jadi perintah Yesus untuk “menjadi sempurna” punya arti lebih dari yang kita pahami.

Menjelang akhir Khotbah di Bukit bagian pertama, Yesus meringkas pengajaran-Nya itu dengan: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:44).

Jika Anda seperti saya, perintah ini akan membuat Anda angkat tangan dan menyerah. Pengajaran-pengajaran tentang kemarahan, pernikahan dan mengasihi musuh saja sudah cukup sulit, dan sekarang kita diminta untuk menjadi sempurna? Kita ingin protes – tampaknya hampir tak adil jika Yesus menekan sampai sekeras itu. Saya mengenal diri saya cukup baik untuk berkata bahwa di kolong langit ini, kesempurnaan bukanlah hal yang saya anggap bisa saya capai. Lalu bagaimana hal itu bisa dijadikan standar?

Yesus sungguh-sungguh memanggil kita untuk hidup bebas dari dosa, dan penuh kasih terhadap orang lain. Itulah tujuan dasarnya. Seperti Allah memerintahkan bangsa Israel,“Jadilah kudus, sebab Aku ini kudus” (Imamat 11:45). Standar kekudusan dan kesempurnaan kita bukanlah tetangga di seberang jalan atau pemimpin agama yang saleh yang kita kenal, tetapi kekudusan Allah Bapa sendiri.

Tentu saja Yesus juga tahu bahwa kita bergumul dengan dosa dan hidup di dunia yang rusak, dan standar semacam itu bukanlah standar yang bisa kita capai. Tetapi hal ini tidak mengubah tujuan dasar itu. Kita dipanggil untuk makin serupa dengan Kristus, dan menjalani gaya hidup yang sesuai dengan yang diajarkan-Nya dalam Khotbah di Bukit dan seluruh kitab-kitab Injil. Dan meskipun untuk melakukan ini tampaknya di luar jangkauan kita, kecenderungan kita untuk gagal tidak membatalkan standar Allah sebagaimana kecenderungan anak-anak saya untuk melanggar tidak membatalkan aturan-aturan yang saya dan istri tetapkan bagi mereka. Standar yang dilanggar bukanlah pembatalan terhadap standar itu sendiri.

Ketika kita membaca kata “sempurna,” kita mungkin mengira itu artinya tidak bercacat, atau tidak berdosa. Namun, meskipun Allah tentu saja tidak berdosa, yang hendak dicapai dengan perkataan ini bukanlah seperti itu.

Dalam budaya kita, cara kita membayangkan kesempurnaan cenderung hanya tentang hal-hal yang tanpa kesalahan atau disusun dengan tepat dan tidak berubah, seperti rumus kimia yang rumit yang akan berantakan jika ada faktor persamaannya yang berubah sedikit saja. Tetapi dalam konteks Alkitab, kata Yunani yang diterjemahkan dengan “kesempurnaan” ini tampaknya lebih menunjukkan pemikiran tentang “ketaatan sepenuh hati” atau “kedewasaan rohani.”

Di bagian Alkitab yangparalel, Injil Lukas memakai kata “murah hati” (Lukas 6:36),yang menunjukkan bahwa Matius maupun Lukas telah menerjemahkan ke dalam bahasa Yunani kata Aram yang berarti “utuh dan lengkap” ini. Ketaatan, kedewasaan dan menjadi utuh dan lengkap adalah kata-kata yang menunjukkan kehidupan, bukan sebaliknya. Kata-kata ini menunjuk pada pengalaman dan pertumbuhan yang “sekalipun”, atau “bahkan ketika” ada kekacauan hidup.

Lalu bagaimana, haruskah kita memakai perkataan yang sulit ini, “menjadi sempurna”?

Jauh dari menjadi alasan untuk putus asa, jauh dari memberi isyarat bahwa kita menyerah saja jika menghadapi standar yang tak dapat dicapai itu, perkataan itu sebenarnya merupakan kata-kata pengharapan. Kita sudah dipanggil untuk meneladani karakter Bapa kita. Sebagai anak-anak Allah, kita harus bertumbuh dan dewasa dan menjadi makin utuh dan lengkap dalam ketaatan kita.

Ya, mungkin ada hari-hari ketika kesempurnaan itu tampak begitu jauh. Kita akan bergumul dengan dosa dan konsekuensi-konsekuensi dari kehidupan dunia yang sudah jatuh ini, tetapi semua itu bukan akhir dari cerita. Yesus sudah membayar harga setiap dan semua orang yang berdosa itu, dan Dia sekarang memanggil kita untuk menerima pengampunan dan hidup sebagai ciptaan baru. Dengan kata lain, untuk menjadi sempurna.