Mezbah Persembahan Di Setiap Buaian Bayi

(Chad Thomas Johnston)

Pengorbanan sehari-hari sebagai orangtua

Ketika saya berusia 4 tahun, ayah saya membuatkan saya sebuah pesawat ruang angkasa – dengan gunting, pita dan imajinasinya yang mengubah kardus bekaskotak peralatan rumahtangga yang ada di rumah. Ia memotong-motongjendela-jendela kokpit berbentuk empat persegi di bagian depan,menempelkan sayap-sayap karton berbentuk segitiga di setiap sisi pesawat, danmerekatkannya dengan satu sama lain di atas ujung ekor yang mengingatkan kita pada sirip di punggung ikan hiu. Pesawatitu kapal-kapalan yang bagus, dan sebagai kaptennya saya pun langsung meluncur ke ruang angkasa tak berujung di garasi orangtua saya, dengan hanya berbekalkotak-kotak kismis Sun-Maid kecil dan kasih yang dirasakan seorang anak terhadap ayahnya.

Pada waktu itu saya tak punya alasan untuk memikirkan pengorbanan yang dilakukan ayah saya untuk membuat kapal itu di tengah segala tuntutan pekerjaannya sebagai seorang pendeta. Saya tidak memikirkan khotbah-khotbah yang harus ia buat, anggota-anggota jemaat yang sakit yang menunggu kunjunganrumah sakit, atau pasangan-pasangan pernikahan bermasalah yang memerlukan konseling. Saya tidak tahu apa yang membebani pikiran ayah saya; yang saya tahu hanyalah kapten pesawat ruang angkasa ini merasa dikasihi.

Sebelum saya menjadi ayah enam tahun yang lalu, saya mengira para orangtua melakukan banyak hal untuk anak-anak mereka karena mereka menginginkannya, dan ini seringkali benar. Tetapi sejak putri saya lahir ke dunia, saya menyimpulkan bahwa menjadi orangtua lebih sering  mengutamakan keinginan dan kebutuhan anak daripada keinginan dan kebutuhan saya sendiri. Pengorbanan menjadi acara sehari-hari dalam peranan sebagai orangtua. Untuk setiap buaian bayi yang ada di rumah, ada sebuah mezbah juga – dan para orangtua dapat memilih untuk mempersembahkan diri mereka di mezbah itu setiap hari.

Saya sekarang tahu bahwa setiap kali Ayah mengalihkan perhatiannya dari kawanan domba jemaatnya kepada domba kecil yang tinggal bersamanya, ia harus mengorbankan sesuatu. Bahkan untuk sekadar menghabiskan waktu bersama saya ketika ia memerlukan istirahat, ia mengorbankan perawatan dirinya sendiri demi saya.

Kita cenderung mengabaikan pengorbanan-pengorbanan seperti ini karena pengorbanan ini tampaknya keciljika dibandingkan dengan pengorbanan yang dilakukan Kristus bagi kita di kayu salib. Tetapi kita tak boleh mengabaikan hal-hal kecil yang di dalamnya Tuhan jugasudah memberikan diri-Nya bagi manusia, selain di Kalvari. Meskipun Yesus adalah Tuhan YMK yang menjadi manusia, selama hidup-Nya di bumi ini, Dia telah “mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba yang taat” (Filipi 2:7). Alih-alih memerintahkan penyembahan melalui pertunjukan kuasa yang mencolok, Dia melayani manusia dengan rendah hati, dengan lebih mengutamakan kebutuhan-kebutuhan manusia ciptaan-Nya daripada kebutuhan-Nya sendiri.

Entah sebagai orangtua, pasangan, saudara atau dalam relasi dengan orang asing yang ada di tengah kita, ketika kita memberikan diri dan pemberian kita dengan penuh kasih agar orang lain berhasil/baik, tidakkah kita ingin mengikuti jejak Guru kita? Ketika kita memberikan secangkir air sejuk kepada orang asing yang membutuhkan, tidakkah kita ingin merelakan kenyamanan kita dan memilih untuk menjangkaunya meski merasa takut? (Baca Matius 10:42). Tidakkah kita ingin mengambil bagian dalam pengorbanan Kristus dengan memberikan diri kita melalui cara-cara ini?

Ayah telah benar-benar bertindak seperti itu ketika ia membuatkan pesawat ruang angkasa untuk saya, hal yang baru saya sadari sekarang setelah saya membuatkan hal serupa untuk anak saya pada saat saya ingin melakukan sesuatu selain menjadi orangtua yang terlibat. Tekanan-tekanan sebagai ayah yang tinggal di rumah pada musim panas membabathabis sumbu kesabaran saya yang sudah pendek. Evie sedangberada di kamarnya membangun benteng khayalan dari bantal-bantal, selimut-selimut dan kursi-kursi seperti yang seringkali ia lakukan. Benteng-bentengan ini akan memenuhi seluruh ruangan dan membuat saya benar-benar naik pitam.

Namun, sebelum saya mengeluarkan keluhan yang dapat didengar terhadap pemandangan ini, sebuah pikiran nakal memasuki benak saya: Aku dapat membantunya membuat benteng yang lebih baik. Benteng yang bisa ia ingat seperti aku mengingat kapal ruang angkasa yang dibuatkan Ayah untukku! Maka, alih-alih tidur siang atau tetap tidak terlibat ketika Evie membangun benteng sendirian di kamarnya, saya memilih memberikan diri saya di atas mezbah persembahan sebagai orangtua pada hari itu.

Kami pergi ke toko peralatan rumah tangga setempat, mendapatlan dua kardus kotak mesin pencuci piring, dan menyatukannya di kamar Evie. Saya melapisi langit-langit benteng itu dengan lampu-lampu Natal dan DVD-DVD kosong yang dipasang dengan sisi yang mengkilap di bawah, sehingga lampu-lampu pijar itu akan memancarkan warna-warna yang mempesona. Kami juga menaruhiPad miliknya menjulang di atas tembok kardus sebagai televisi kecil, dan menambahkan tempat tidur kucing agar ia dapat berbagi kamar dengan teman yang berbulu halus itu.

Selama beberapa hari berikutnya, Evie jarang meninggalkan kamarnya. Di dalam bentengnya, dengan lampu kamar yang dimatikan dan bayangan gelap, ia bertahan hidup dengan kismis berlapis yogurt, sambil bermandikan cahayalampu-lampubuatan. Saya senang karena sudah memilih untuk memasuki dunia anak saya dan membangun benteng daripada menikmati tidur siang yang sangat diperlukan. Rasanya seperti saya sudah membuatkan pos di bulan untuknya—semacam tempat yang mungkin dikunjungi seorang anak laki-laki dengan pesawat ruang angkasanya.