Misionaris Yang Tak Dinyana

 (Stefani McDade)

Carmen LaCosta tidak merasa layak untuk bergabung dalam misi Tuhan, tetapi Tuhan ternyata memakainya.

Carmen LaCosta menjalani tes daring tentang karunia-karunia rohani dan merasa terkejut dengan hasilnya: Misionaris. Ia orang percaya yang masih baru dan merasa masa lalunya akan menggagalkannya. Dua tahun sebelumnya putrinya meninggal dunia, membuat LaCosta tenggelam dalam lautan dukacita dan tergantung pada obat-obatan dan alkohol untuk melalui hari-harinya. Pada akhirnya, penjara yang dingin dan usaha bunuh diri membuatnya berlutut di hadapan Allah. Pada saat itulah ia menemukan tujuan hidup yang baru: mengabarkan Injil kepada setiap orang yang dikenalnya.

LaCosta awalnya merasa terpanggil untuk pulang ke Karibia dan bersaksi kepada keluarga dan teman-temannya. Ketika ia meminta kelompok kecilnya di gereja First Baptist Atlanta untuk mendoakan rencana perjalanannya, seorang ibu bercerita padanya tentangIn Touch Messenger. LaCosta belum pernah melakukan perjalanan misi dan merasa gelisah jika harus berhadapan dengan orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Tetapi dengan dukungan semangat dari teman-temannya, LaCosta pergi dengan membawa 150 Alkitab suara(In Touch Messenger) untuk dibagikan sepanjang perjalanan itu.

Ketika turun dari pesawat, LaCosta merasa terbebani dengan setiapMessengeryang ia bawa. Ia berdiri di bagian pengambilan bagasi dan berdoa meminta petunjuk Tuhan. Ketika ia membuka mata, ia melihat sekelompok orang yang memakai baju dengan warna yang sama —dan ia merasa Tuhan memimpinnya untuk mendekati mereka dan menjelaskan situasinya. Yang sungguh mengejutkan, mereka ternyata tim misi gereja, dan mereka dengan senang hati mengajak LaCosta untuk bergabung.

Minggu itu, LaCosta membagikan Messengerkepada orang-orang lanjut usia, para pecandu narkoba, dan keluarga-keluarga tunawisma yang terkena dampak angin topan Maria. Setiap satu alat itu berpindah dari tangannya, LaCosta merasa lebih hidup—dan ia mengenali hal ini benar-benar sebagai panggilan Tuhan atas hidupnya. Di akhir perjalanan, tim misi itu mengunjungi sebuah rumah sakit di mana ada seorang pendeta setempat sedang berdiri di samping tempat tidur putrinya yang sekarat. Pada saat itu, dengan 100 Messenger yang masih ada padanya dan tinggal satu hari perjalanan, LaCosta tahu bahwa Allah sedang menyentuhnya untuk memercayakan alat-alat yang tersisa itu ke tangan pendeta itu.

Dua minggu setelah LaCosta kembali ke Atlanta, putri pendeta itu meninggal. Tetapi pada minggu-minggu berikutnya, misionaris baru itu terus menerima pesan-pesan dari pendeta itu – foto-foto ketika ia mengabarkan Injil di jalan-jalan kota itu, di rumah-rumah, di pusat-pusat rehabilitasi, dan tempat-tempat penampungan. Setiap orang yang tersenyum sambil memegang Messengermenggambarkan hidup yang diubahkan seperti dirinya. Hal ini mengingatkan LaCosta bahwa kita tak perlu memiliki masa lalu yang sempurna untuk dapat dipakai Allah – Dia hanya perlu masa depan yang diserahkan kepada-Nya.