Negeri Surgawi
Oleh Charles F. Stanley
Saya teringat ketika orang-orang dewasa di rumah saya berkerumun di depan televisi saat Olimpiade tahun 1980, menjagoi tim hoki Amerika yang sedang bertanding melawan tim Uni Soviet. Uni Soviet yang tak terkalahkan, dengan para pemain penuh waktunya yang bersikap sebagai pemain amatir. Uni Soviet dengan senjata nuklirnya. Uni Soviet yang merupakan musuh orang Amerika. Saya tidak membutuhkan alasan-alasan untuk tidak menjagoi mereka karena, meskipun masih kecil, saya sudah tahu bahwa kita harus mendukung orang-orang dari negeri kita sendiri. Apalagi jika negara Anda adalah negara bebas dan merupakan harapan utama dunia dalam melawan Komunisme yang tidak percaya Tuhan.
Lalu, pada tahun 2014, saya dan keluarga menonton di televisi, bukan sebuah tim yang berlaga di atas es, tetapi seorang gadis Rusia— pemain ski— yang bertanding di Olimpiade untuk pertama kalinya. Salah seorang anak saya melihatnya mengenakan salib. Saya bukan penilai jiwa – syukur pada Tuhan – tetapi hal ini membuat saya berpikir bahwa selama ini saya terbiasa menilai pertalian kekerabatan saya dengan orang lain berdasarkan geografis fisik daripada rohani.
Kita mengenal banyak kekerabatan – karena hubungan darah, kebangsaan, bahasa. Kita memiliki banyak suku bangsa, dan kita ditarik setiap hari untuk bergabung dengan orang lain. Partai-partai politik, denominasi-denominasi agama, tim-tim olahraga, sekolah-sekolah, perkumpulan-perkumpulan di lingkungan tempat tinggal kita – banyak loyalitas bersaing untuk mendapatkan antusiasme kita. Sungguh menyenangkan menjadi bagian dari sebuah suku bangsa/etnis. Hal itu tidak hanya meningkatkan rasa memiliki kita, tetapi juga nilai-nilai kebaikan kita. Aku berada di dalam komunitas yang baik ini, bukan yang buruk seperti di sana itu.
Namun, hal yang mengherankan dari keanggotaan kebangsaan semacam ini adalah, meskipun di satu sisi kita diharapkan meningkatkan loyalitas tertentu, di sisi lain kita dicobai untuk mengurangi loyalitas dalam hal-hal lainnya. Perhatikan saja berapa banyak penggemar olahraga yang bersedia, misalnya, mengabaikan perilaku mengerikan dari atlet favorit mereka, bahkan ketika mereka menyetujui pandangan yang mengatakan bahwa anak-anak kita memerlukan model-model peran yang lebih baik. Sering sekali saya terjatuh dan menjadi korban kecenderungan ini. Kecintaan kita pada suatu kebangsaan bisa membuat kita melupakan kecintaan yang sudah kita serahkan untuk Kristus.
Ketika kami sekeluarga menonton pemain ski Rusia itu melakukan pemanasan, saya mendapati diri saya diam-diam berharap ia menang. Bukan semata karena salib yang tergantung di lehernya, tetapi juga karena penampilannya yang lembut, dan tekanan luar biasa yang tentunya ia rasakan ketika harus tampil di depan begitu banyak orang. Saya merasa bersalah atas keberpihakan saya kepada bukan orang Amerika, tetapi saya lalu diingatkan bahwa kekerabatan saya dengan pemain ski Rusia ini bisa jadi lebih mendalam, lebih berlangsung lama – bahkan sampai kekekalan, daripada pertalian kekerabatan saya dengan banyak orang Amerika. Sesungguhnya, dari mendengar beberapa wawancara dan kisah-kisah mereka sebelumnya, saya menyadari bahwa saya hanya memiliki sedikit persamaan saja dengan banyak atlet Olimpiade Amerika. Politik mereka bukanlah politik saya; keyakinan mereka bukan keyakinan saya; perangai mereka juga bukanlah perangai yang ingin saya tanamkan pada anak-anak saya.
Meskipun, betapa berbahayanya duduk di sofa sambil berusaha menilai keselamatan orang lain berdasarkan beberapa perkataan, cara mereka membawa diri ketika tampil sekelebat di layar kaca, atau dari berlian atau tato mereka yang menunjukkan mereka orang Kristen atau penyembah berhala. Namun saya sering sekali melakukan hal yang seperti itu, bukan saja pada waktu Olimpiade, tetapi setiap hari – ketika mengantre kopi, di pasar swalayan, atau di lampu merah.
Betapa ironisnya hal itu bagi saya, membuat saya diam-diam menjadi wasit tentang siapa yang merupakan milik kerajaan surga dan siapa yang bukan, hanya untuk mendukung hati yang keras dan suka menghakimi yang ingin memastikan dugaan saya sendiri? Surga sudah memiliki Hakim dan Raja, dengan kerajaannya yang akan datang – dan kita yang akan menjadi warganya sudah meninggalkan kewarganegaraan kita yang lama. Kita memang tetap orang Amerika, Rusia, China, Meksiko, Indonesia, yang tunduk pada otoritas pemerintah di atas kita seperti perkataan Firman (lihat I Petrus 2:13-17). Tetapi konsekuensi dari rekonsiliasi kita dengan Kristus adalah kita memiliki kewarganegaraan baru. Kita adalah “bangsa yang kudus” sehingga kita harus hidup sebagai “alien” atau orang asing di dunia ini (I Petrus 2:9-11).
Kita adalah orang asing, tetapi pada saat yang sama kita juga adalah sesama warganegeri, bukan saja dengan Kristus, tetapi juga dengan satu sama lain (Efesus 2:19). Saya dulu menganggap negara saya adalah negara yang diberkati, yang aman dari segala persoalan yang biasa dan bisa melanda umat manusia lainnya. Padahal kebenarannya adalah: keluarga saya – setiap kita yang milik Kristus – meliputi seluruh dunia. Diperkirakan ada 2,3 milyar orang yang mengaku Kristen di dunia ini, dan sekitar 11 persennya tinggal di Amerika Serikat. Negara saya secara geografis memang relatif aman di dunia yang mengerikan ini, tetapi ketika saya memikirkan tubuh Kristus sebagai bangsa dan negara saya, saya menyadari bahwa keadaan ini tidak aman sama sekali. Sesungguhnya, banyak sesama warga saya, yang menanggung penderitaan yang jauh lebih besar dari pergumulan saya sehari-hari.
Negeri surgawi saya meliputi pengikut Kristus yang dieksekusi di Suriah, anak-anak orang beriman yang disiksa di Somalia, dan keluarga-keluarga yang membentuk gereja ilegal di China. Semua ini membuat saya merasa malu saat memikirkan, betapa waktu saya sudah lebih banyak dihabiskan untuk mendukung para atlet yang mewakili almamater atau negara saya, daripada mendoakan orang-orang yang merupakan keluarga saya yang sesungguhnya ini. Berapa banyak waktu yang saya butuhkan untuk berlutut meralat ketidakseiimbangan ini?
Kita belajar kata-kata lagu ini ketika masih kecil: “Gereja bukanlah gedungnya; dan bukan pula menaranya; bukalah pintunya, lihat di dalamnya, gereja adalah orangnya.” Saya juga mengajarkan lagu ini kepada anak-anak saya sendiri, tetapi pelajarannya telah saya abaikan. Gereja adalah sesuatu yang nyata dan ada, dan gereja terdiri dari orang-orang. Orang-orang ini adalah keluarga Anda dan saya. Keluarga saya ada di mana-mana. Dan kita tak punya urusan untuk merasa puas – atau mungkin yang lebih buruk, untuk merasa dirugikan dengan gangguan-gangguan hidup yang sepele – sementara begitu banyak dari mereka yang menderita.
Saya seperti itu dahulu, pada seluruh tahun-tahun saya menganggap negara saya adalah negeri yang aman. Padahal sayalah negeri itu. Kiranya saya, dan setiap kita yang menyebut diri orang Kristen, dapat lebih menyadari pertalian kekerabatan kita yang sebenarnya, di mana pun kita tinggal dan berada.