O Rombongan Kudus

Kudus (John VandenOever)

Natal bukan sekadar dekorasI. Kelahiran Kristus adalah kisah yang hidup dan menghidupkan, yang terserah kita bagaimana menceritakannya.

Tugas favorit kami ketika masih kanak-kanak adalah membawa dus-dus lama ke lantai atas agar kami dapat mengeluarkan isinya dan menghias ruang tamu untuk Natal. Akan ada ornamen-ornamen yang rusak dari masa-masa sekolah dulu, kurcaci-kurcaci dengan topi dan jari-jari kaki yang panjang melengkung, serta perkampungan dari kardus yang disusun di atas kaca bundar yang disemprot dengan salju dari erosol kalengan.

Tetapi yang terindah dari semuanya adalah adegan pemandangan Natal kami. Perangkat dekorasi kami adalah lukisan tangan Ayah kami sendiri di usia yang tidak diketahui, dan tentu saja, dengan tulisan asli untuk kami anak-anak. Dekorasi itu menampilkan gambar-gambar yang biasa – kambing, domba, unta, gembala, malaikat, tiga orang Majus, dan satu keluarga muda di tengah panggung.

Ibu mengatur para pelakon di tempatnya, tetapi seiring bertambahnya usia kami, menjadi penting bagi kami untuk menempatkan para pemain itu dengan cara yang tampak lebih otentik. Ini berarti menarik keluar para pemeran karakter itu dari gudang kayu yang bernoda gelap, menempatkan tempat tidur jerami di bagian depan dan tengah, menjaga agar setiap tamu mendapat pemandangan yang bagus. Dan yang terpenting adalah membuat Yesus terlihat.

Tempat tidur bayi kami bukan kotak tertutup; pada kenyataannya, saya tak pernah melihat bayi yang dikungkung dalam keempat dinding tertutup. Adegan pemandangan itu tetap terbuka, setiap partisipan melingkar di sekitar Dia yang mengesampingkan kemuliaan-Nya untuk terbaring di tempat makan ternak. Ketika Tuhan mengambil rupa sebagai manusia dan turun ke dunia, Dia menarik bermacam-macam orang – termasuk para buruh/gembala dari perbukitan terdekat, orang kaya dari negeri yang jauh, dan dua orang muda Israel yang sedang berjuang dalam pernikahan baru dan Bayi misterius ini.

Tidak ada cara untuk benar-benar mengetahui berapa banyak orang yang sudah datang untuk melihat Dia dalam waktu dua ribuan tahun lebih ini, tetapi kita sebagai orang Kristen terus mengatur adegan, mengatur kehidupan batiniah kita untuk menjadikan Juru Selamat sebagai pusat, untuk menempatkan Dia di tempat yang terlihat di hadapan dunia kita. Biasanya hal itu saja tampaknya tidak cukup. Kita juga berusaha sangat keras untuk dipenuhi sukacita dan tidak malu akan Injil,  tetapi dalam semua efektivitas kita, terkadang kita mungkin hanya seperti domba dengan gips yang terkelupas yang dikeluarkan dari gudang.

Dampak yang kita buat bagi Kristus tidak banyak berkaitan dengan metode dan rekayasa kita, tetapi dengan hidup yang memancarkan terang yang muncul dari dalam diri kita. Perhatikanlah bagaimana Yesus berdoa, bahkan pada saat Dia ditangkap, diadili secara ilegal, dan menjelang kematian-Nya yang menjadi penebusan dosa. Dia meminta para pengikut-Nya menjadi satu tubuh, dipersatukan di dalam Dia. Atau seperti perkataan doa-Nya, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau” (Yohanes 17:21) – perintah yang tinggi dengan janji yang besar: Ketika orang-orang percaya menjadi satu dalam Kristus, hal itu akan menjadi kesaksian yang sangat kuat sehingga dunia akan percaya bahwa Yesus diutus oleh Tuhan.

Hal seperti itulah yang tampak jelas terjadi pada saat kedatangan Kristus yang pertama ketika Dia menarik banyak orang dari berbagai kalangan pada abad pertama itu, dari para gembala domba biasa dan orang-orang majus dari negeri yang jauh sampai orang-orang kudus yang tak kenal lelah seperti Simeon dan Hana. Mereka tidak memiliki banyak kesamaan, tetapi dalam menyembah Raja yang baru lahir, mereka menyatu dengan orang-orang yang sudah datang sebelum mereka maupun semua orang yang akan mengikuti Dia selanjutnya. Persekutuan orang kudus ini meliputi sekelompok murid rakyat jelata, gabungan dari orang-orang Yahudi, Samaria dan non-Yahudi  abad pertama serta anggota dari  “tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa” (Wahyu 5:9).

Setiap Natal kita fokus pada satu adegan kelahiran Yesus, menyusun potongan-potongannya sedemikian rupa, merenungkan tentang bagaimana hal itu harus terjadi. Namun yang mengejutkan adalah betapa cepatnya kitab-kitab Injil bergegas melewati perjumpaan ini. Lukas, ketika berbicara tentang para gembala yang terkejut dengan kedatangan sejumlah besar bala tentara malaikat menjelaskannya seperti ini: “Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan. Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu” (Lukas 2:16-17).

Lebih dari apa pun, ini adalah gambaran tentang gerakan. Langit bergemuruh dengan nyanyian, dan para gembala bereaksi dengan bergegas pergi untuk “melihat apa yang terjadi di sana” (ayat 15). Kemudian, setelah menyembah Raja yang kekal itu, mereka segera “memberitakan perkataan tentang Anak itu” (ayat 17).

Ini membuat saya bertanya-tanya, apakah kita tidak menghabiskan waktu terlalu lama dengan berada di dalam kandang dan melakukan adegan-adegan dan mengorbankan waktu untuk pergi, memberitakan, mengasihi, dan berdoa untuk kesatuan yang sempurna yang sangat Yesus harapkan  kita nikmati. Saat kita mengenali kembali diri kita dalam cahaya berkilauan dan hiasan-hiasan yang penuh nostalgia itu, marilah kita mengingat bahwa hidup itu sendiri adalah suatu masa – yang dimaksudkan untuk menarik makin dekat pada Kristus dan pada satu sama lain.