Obat Untuk Amnesia Rohani
(Jamie A. Hughes)
Kita sering lupa tentang siapa diri kita, tetapi Tuhan selalu ingat.
Ketika tinggal dan dibesarkan di Arkansas, saya banyak menghabiskan waktu sore yang bahagia bersama nenek dari ayah saya, dengan menonton opera sabun seperti General Hospital, Days of Our Lives, dan All My Children bersama-sama, dan biasanya dengan memegang segelas teh yang menyegarkan. Saya paling suka dengan cerita-cerita mengenai amnesia. Hal itu sering terjadi pada pemeran wanita: setelah suatu kecelakaan atau percobaan pembunuhan yang gagal, ia terbangun di rumah sakit (dengan rambut yang ditata rapi dan lipstik yang baru dioleskan), utuh secara fisik, tetapi tidak dapat mengingat apa-apa tentang masa lalunya. Selama berminggu-minggu kita akan menyaksikan bagaimana ia berjuang menyatukan kembali potongan-potongan hidupnya, dan kemudian, pada suatu hari Selasa yang biasa, semua ingatannya kembali kepadanya dalam sekejap. Kesalahan-kesalahan diluruskan. Penjahat yang menyebabkan semua drama itu dihukum. Cinta mengalahkan segalanya – setidaknya sampai alur cerita selanjutnya dimulai.
Amnesia—istilah yang berasal dari kata Yunani amnēsía, yang berarti “kelupaan”—merupakan keadaan yang sangat aneh. Bagaimana mungkin Anda tetap menjadi diri Anda sepenuhnya dengan segala kesukaan dan ketidaksukaan, kecenderungan dan kebiasaan Anda, namun tidak mengetahui siapa diri Anda? Namun, seiring dengan bertambahnya usia, saya sadar bahwa tidak seorang pun dari kita yang benar-benar pernah memahami diri kita sepenuhnya. Kita sering bertindak dan bereaksi dengan cara-cara yang kita sendiri tidak mengerti. Kita digerakkan oleh desakan-desakan misterius, dibujuk oleh serangkaian godaan. Rasul Paulus mengungkapkan teka-teki ini dengan sangat baik di Roma 7:15, “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.”
Bersyukur, akan tiba saatnya ketika semua kebingungan kita tentang diri sendiri akan lenyap. Paulus menjelaskan saat itu dengan ilustrasi yang menarik. Ia menulis, “Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal” (1 Korintus 13:12).
Di dalam Alkitab tidak ada yang menjelaskan gambaran ini dengan lebih menarik daripada yang ditulis Yohanes di Wahyu 2:17, “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, kepadanya akan Kuberikan dari manna yang tersembunyi; dan Aku akan mengaruniakan kepadanya batu putih, yang di atasnya tertulis nama baru, yang tidak diketahui oleh siapapun, selain oleh yang menerimanya.”
Menurut kamus Strong’s Dictionary, kata Yunani yang digunakan di dalam ayat ini adalah pséphos, yang artinya “batu kerikil.” Tetapi jangan terkecoh dengan yang tampaknya kecil atau sederhana. Ada yang lebih penting dari cerita itu. Para ahli di Museum Yayasan Penelitian Konservasi Getty telah menggunakan tembikar kuno untuk mencari tahu bahwa penggunaan batu merupakan cara yang lazim dalam memberikan suara di dunia kuno, pada zaman kertas masih langka dan banyak orang masih buta huruf. Jadi ketika tiba saatnya bagi masyarakat untuk membuat keputusan, batu merupakan cara yang paling tepat untuk membuat suara mereka didengar. Mereka akan memilih batu putih atau batu hitam dan memasukkannya ke dalam guci atau wadah penghitungan suara. Batu putih berarti “ya”, dan batu hitam berarti “tidak”. Jadi pada intinya, Kristus—dengan memberikan batu putih kepada setiap kita —memberikan suara “ya” pada setiap kita, yang menunjukkan kita diterima di dalam Dia.
Tetapi menurut Yohanes, batu putih itu bukan batu polos/kosong. Batu itu bertuliskan nama baru, yang hanya diketahui oleh penerimanya saja. Kata Yunani yang digunakan di sini adalah onoma, yang menunjukkan bukan sekadar gabungan huruf-huruf saja. Lagi-lagi menyelidiki dengan cepat kamus Strong’s Dictionary akan menolong. Menurut para penulis kamus ini, onoma secara figuratif atau kiasan berarti “manifestasi atau penyingkapan karakter seseorang … yang berbeda dari semua orang lainnya.” Nama yang tertulis di setiap batu putih kita adalah “kita” yang sebenarnya, diri kita yang sesungguhnya yang kita perjuangkan untuk dapatkan dan hidupi selama di bumi ini.
Dalam khotbah berjudul “Molded by the Master,” (Dibentuk oleh Sang Penjunan), Dr. Stanley berkata, “Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu tanpa tujuan. Tuhan menjadikan setiap kita dan terus bekerja membentuk kita. Dia memiliki tujuan tertentu untuk seluruh hidup kita. Dia tidak menyimpan rahasia.” Dr. Stanley sangat benar. Nama kita tidak akan tersembunyi dari kita selamanya; suatu hari kelak kita akan mengenal diri kita sendiri dan Tuhan kita sebagaimana kita selalu dikenal. Meskipun saat ini kita mungkin kecewa, akan tiba waktunya ketika “amnesia rohani” kita akan lenyap, saat kita melangkah masuk ke hadirat Tuhan yang mulia untuk sepanjang kekekalan.