Orang Yang Membuat Saya Berkata “Mengapa Tidak?”

(Matt Woodley)
Bagaimana percakapan dengan Leighton Ford telah mengubah jalan hidup saya.

Pada musim gugur tahun 2009, ketika saya menginjak usia 50 tahun dan telah 22 tahun melayani di bidang pastoral, saya merasa jenuh, kehilangan arah, dan kesepian. Pernikahan saya hancur. Saya tahu saya harus meninggalkan pelayanan, tetapi saya merasa sangat lelah dan bingung sampai tidak bisa berbuat apa-apa. Saya ingat ada seorang teman yang mengajukan pertanyaan sederhana ini pada saya: “Apakah kamu menyukai orang yang akan menjadi dirimu kelak?” Saya langsung tahu jawabannya: Tidak, saya tidak menyukai diri saya yang akan datang. Saya menjaga jarak dengan orang lain dan menahan diri dari keintiman sejati. Saya telah kehilangan hati untuk—yah, untuk segalanya. Di tengah kegelapan jiwa ini, seseorang memberi saran yang mengubah seluruh perjalanan hidup saya—”Kamu harus berbicara dengan Leighton Ford.”

Dengan tinggi 198 cm, rambut putih bergelombang, kacamata berbingkai kawat, dan senyum lebar, Leighton jelas sangat menarik perhatian. Saat ia memasuki ruangan, orang-orang akan menatapnya seolah-olah mereka melihat seekor singa jinak. Ia menikah dengan Jean, saudara perempuan Billy Graham, dan di awal kariernya ia menjadi pemimpin kunci dalam pelayanan penginjilan Graham di seluruh dunia. Kehidupan Leighton dipenuhi dengan pertemuan-pertemuan besar dan perjalanan keliling dunia. Namun beberapa pertanyaan terus mengusik jiwanya: Di manakah para pemimpin muda itu? Dan siapa yang akan membimbing generasi berikutnya?

Lalu, setelah kematian tragis putranya, Sandy, yang berusia 21 tahun, Leighton merasa hidupnya makin diperdalam dan entah bagaimana, difokuskan lagi pada sebuah tujuan baru. Berjalan melewati lembah kedukaan dan hidup dihantui pertanyaan mendesak tentang para pemimpin muda, Leighton akhirnya membuat perubahan. Ia kemudian menulis, “Semakin lama saya semakin menyadari panggilan saya sebagai orang yang menghubungkan dan menjadi mentor. Untuk mengenali, mengembangkan, dan mempersatukan para penginjil muda yang baru muncul di seluruh dunia … Setelah dikenal sebagai pembicara, saya sekarang lebih banyak mendengarkan. Dari berbicara di depan banyak orang, saya kini lebih bercakap-cakap secara pribadi dan intim dengan kelompok-kelompok kecil dan individu-individu.” Sejak saat itu, ia menyebut dirinya sebagai “teman seperjalanan.”

Ketika saya menghubungi Leighton pada tahun 2009, ia meminta saya untuk datang ke rumahnya di Charlotte, Carolina Utara, dan meluangkan waktu tiga hari bersamanya. Setiap pagi kami akan keluar dari pintu depan rumahnya untuk berjalan-jalan di taman atau menyusuri sungai terdekat bersama anjingnya, Wrangler. Di sepanjang jalan setapak, Leighton akan bertanya pada saya dan kemudian mendengarkan. Ia lebih menyukai pertanyaan-pertanyaan singkat yang menyelidik seperti: “Siapakah dirimu? Milik siapa dirimu? Apa yang akan kaulakukan?” Terkadang ia berhenti, mendongakkan kepala, dan mulai berdoa. Ia percaya dan hidup seolah-olah Yesus berada tepat di samping kami. Bagi Leighton, dua sahabat dalam perjalanan selalu disertai Sahabat ketiga.

Setelah malam pertama saya bersamanya, saya kembali ke kamar hotel dan menuliskan satu percakapan kami:

SAYA: Saya tak pernah punya waktu untuk bersama Tuhan atau orang lain karena saya selalu sangat sibuk.

LF: Mengapa?
SAYA: Karena harus membangun gereja dan memenuhi kebutuhan jemaat.
LF: Mengapa?
SAYA: Karena ada sangat banyak kebutuhan dan itu pekerjaan saya.
LF: Mengapa?
SAYA: Supaya orang menyukai saya dan saya akan merasa oke.
LF: Mengapa?
SAYA: Karena itulah identitas saya.
LF: Mengapa?

Ia tak perlu menekankan maksudnya dengan ceramah. Saya sudah memahaminya ketika ia bertanya “mengapa” untuk yang ketiga kalinya. 

Itulah inti pelayanan persahabatan rohani Leighton pada saya. Ia hanya mengantar saya ke hadapan Yesus agar saya merasa sedikit lebih utuh dan sedikit lebih berpengharapan dalam menapaki jalan pemulihan.

Pada suatu ketika di akhir pekan itu ia bertanya, “Apa impianmu?” Saya menghela napas dan berkata, “Dulu saya punya mimpi, tetapi sekarang tidak ada lagi. Itu akan sangat menyakitkan.” Karena ia mendesak, saya akhirnya menjelaskan impian saya yang sirna itu: Saya ingin menjadi pendeta yang sukses dan populer di sebuah gereja yang berkembang pesat.

Leighton terdiam cukup lama. Kami mengamati angin yang bertiup di antara dedaunan di halaman belakang rumahnya. Lalu ia berkata, “Matt, terkadang ada saat-saat di antara mimpi-mimpi. Apakah kamu pernah memikirkan berada di salah satu saat itu?” Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan, “Mimpi pertama hancur. Tetapi bagaimana jika Tuhan ingin memberikan mimpi yang lain? Bagaimana menurutmu?”

“Baiklah,” saya berkata, “Mungkin memang sebaiknya saya mengatakannya terus terang saja. Jika saya menjadi pendeta lagi, dan itu benar-benar ‘jika’ ya, saya ingin memulai sebuah gereja multi-etnis yang kecil, yang sedang berjuang di komunitas yang kekurangan sumber daya di Chicago.” Kejelasan dan kemantapan visi itu benar-benar membuat saya terkejut sendiri. Saya merasa malu. Apa yang kukatakan? Saya bertanya pada diri sendiri. Ada begitu banyak alasan mengapa mimpi ini merupakan ide buruk, dan aku bukanlah orang yang pantas untuk mengejarnya.

Namun Leighton tersenyum, bersandar di kursinya, dan mengucapkan dua kata: “Mengapa tidak?”

Mimpi itu tak pernah terwujud, tetapi itu tidak penting. Setelah membicarakan berbagai kemungkinan, saya merasa ada yang mengusik jiwa saya lagi—dan harapan tentang visi itu saja sudah cukup untuk menopang saya “di antara mimpi-mimpi.”

Setelah kunjungan itu, saya tidak bermaksud menjumpai Leighton lagi. Tetapi pada tahun 2010, saya pindah ke Chicago untuk bekerja di Christianity Today, dan sebagai editor, saya menghubungi Leighton untuk menanyakan kesediaannya untuk menulis beberapa artikel. Lalu, tahun lalu, kami bertemu lagi ketika ia mengundang saya ke sebuah acara yang berfokus membangkitkan lebih banyak orang untuk menjadi mentor bagi para pemimpin Kristen lainnya.

Suatu hari di tengah acara itu, Leighton—92 tahun, agak bungkuk tetapi masih dengan rambut putihnya yang bergelombang dan tubuh tinggi ramping—bergabung dengan kami untuk memimpin salah satu sesi. Ia memeluk saya dan berkata, “Matt, kamu harus datang ke Charlotte dan mengunjungi saya lagi. Bisakah kita membuat hal ini terjadi?” Saya mulai bertanya-tanya apakah Tuhan sedang memanggil saya ke dalam musim yang baru—beralih dari pelayanan yang sibuk dan luas kepada lebih banyak “percakapan pribadi dan intim.”

Jadi, 14 tahun setelah kunjungan pertama itu, saya menikmati beberapa hari lagi bersama Leighton. Istri tercintanya yang telah dinikahinya selama 70 tahun sedang sakit parah saat itu, dan Leighton menghabiskan banyak waktu untuk merawatnya. Leighton kelihatan lelah, tetapi ia memberi ruang untuk saya. Kami masih berjalan-jalan, tetapi kali ini lebih singkat dan lebih perlahan-lahan. Kami lebih banyak menghabiskan waktu kebersamaan kami dengan duduk di ruang kerjanya, dikelilingi tumpukan buku-buku teologi, pertemuan iman dan teknologi, filsafat, dan tentu saja buku favoritnya—puisi. Banyak sekali puisi.

Leighton masih mengajukan pertanyaan-pertanyaan menyelidik yang menjadi ciri khasnya. “Jadi, Matt,” ia memulai, “mengapa kamu ada di sini?” Karena bingung, saya bertanya, “Maksudnya mengapa saya ada di bumi ini atau mengapa saya duduk di kursi kantor ini?” Ia menjawab, “Bagaimana kalau dua-duanya?”

Sekarang giliran saya yang terdiam. Leighton mendongakkan kepalanya, memejamkan mata, dan menunggu. Akhirnya, saya berkata, “Saya tidak tahu, tetapi mungkin saya ada di sini karena saya ingin menjadi lebih seperti dirimu. Mungkin Tuhan memanggil saya untuk melakukan seperti yang engkau lakukan.”

Sejujurnya, saya masih belum sepenuhnya yakin dengan mimpi baru ini atau kemampuan saya untuk mengejarnya. Tetapi saat ini, setelah menerima pelatihan dan pendanaan dari lembaga pelayanan Leighton, saya sedang menjalankan acara kelompok mentoring-tiga-hari pertama saya, yang terdiri dari lima penanam gereja dan satu pekerja global dari Timur Tengah.

Di satu sisi, saya senang karena saya berharap ini akan menjadi langkah pertama saya untuk memasuki musim kehidupan saya selanjutnya. Di sisi lain, saya sangat cemas. Saya ingin semuanya sempurna—mulai dari konten sampai percakapan-percakapannya, akomodasi hingga kopi dan camilan. Tetapi kemudian saya ingat yang dicontohkan Leighton pada saya: tentang menjadi teman— mentor yang mendengarkan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang baik, dan mendengarkan lebih banyak lagi, dan selalu memberi ruang bagi Teman Ketiga dalam perjalanan itu. Jadi, ketika saya mulai merenungkan alasan-alasan saya tentang mengapa saya bukan orang yang pantas membimbing orang lain, saya bisa mendengar Leighton berkata, “Mengapa tidak?”

Bertahun-tahun telah berlalu sejak masa sulit yang terasa buntu itu. Saya kini telah menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya, tetapi saya juga belum benar-benar “sampai”. Dan, Anda tahu? Itu tidak masalah. Saya berusaha  tidak khawatir tentang di mana saya akan mendarat dan hanya fokus mengikuti panggilan Tuhan, ke mana pun Dia memimpin saya. Pada akhirnya, yang membuat saya tetap bertahan bukanlah rencana yang sempurna. Tetapi orang yang menyemangati saya di antara mimpi-mimpi —dan itu adalah anugerah yang saya harap dapat saya bagikan kepada orang lain.