Panggilan bagi yang menyimpang dan bersifat kedagingan

Ketika komunitas gereja kami hancur berantakan, saya pikir tidak ada yang bisa menyatukannya kembali. Tapi kemudian Mac meninggal.

Oleh John VandenOever

Saya berjalan dengan hati-hati menuju pintu depan gereja lama kami. Itu adalah hari terakhir di bulan Mei, dan saya mengepul mantel olahraga saya selagi saya memegang tangan istri saya dan berjalan ke depan. Tempat parkirnya penuh, rumput halaman seharusnya dirapihkan minggu lalu. Di pintu, aku mencondongkan tubuh saya untuk memeluk Keith, mencari kata-kata belasungkawa yang lebih pedih daripada sekedar saya turut berduka. Setelah lama mengalami kemunduran kesehatan, ayahnya sekarang telah beristirahat selamanya.

Sudah empat tahun sejak keluarga saya terakhir melewati pintu-pintu ini. Kami bukan yang pertama pergi, kami juga bukan yang terakhir. Sekarang, selagi kami pindah ke tempat yang lebih terang untuk ibadah penghiburan Mac, kami melihat senyum di wajah-wajah yang tidak asing, dan dimana-mana ada lengan terentang sselagi gereja dipersatukan kembali.

Ketika saya ingat siapa kami di waktu lampau, dan merasa sedih dengansituasi kami sekarang, saya menyadari bahwa bukan skandal yang memisahkan kami, tetapi buntut dari skandal itu. Setiap gereja harus berjuang melawan dosa, namun kita memiliki Roh Tuhan, kasih Kristus, dan hikmat Bapa untuk menyucikan dan mempersatukan kita. Namun betapa mudahnya kita hancur ketika kedagingan menguasai hati kita.

Gereja Korintus abad pertama tahu betul tentang perpecahan. Sejak awal suratnya, Paulus membahas pertengkaran yang terjadi di antara jemaat — ketidaksepakatan tentang pengajar yang disukai para anggota. Mereka mendirikan kamp kecil Tim Paulus, Tim Apolos, Tim Kefas, bahkan Tim Kristus. Jadi, Paulus menasihati mereka “supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir.” (I Korintus 1:10). Dia ingin mereka berkata dan berpikir sehati satu sama lain, untuk berkhotbah tentang Kristus yang disalibkan dan hanya bermegah di dalam Tuhan.

Gereja lokal saya juga hancurkarena perpecahan. Pendeta kami ditangkap, memunculkan serangkaian spekulasi. Selama satu musim, kami bersatu, menantikan hasilnya. Tetapi ketika pendeta kami mengundurkan diri dengan banyak pertanyaan yang masih belum terjawab, kami mendapati diri kami membentuk kelompok-kelompok kecil kami sendiri. Pendapat-pendapat tertentu muncul, begitu pula pendapat yang saling bertentangan. Kelompok-kelompok ini terbagi dan semakin banyak jumlahnya.

Ketika saya ingat siapa kami di waktu lampau, dan merasa sedih dengansituasi kami sekarang, saya menyadari bahwa bukan skandal yang memisahkan kami, tetapi buntut dari skandal itu.

Namun, dengan wahyu Tuhan, Paulus menetapkan standar untuk tampilan dan bentuk tubuh Kristus. Ia mengatakan kepada kita, terlepas dari keadaan kita, gereja harus mempertahankan identitas tertentu. Dalam kalimat pembuka Paulus kepada jemaat Korintus, ia menulis, “Kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita. Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.”(I Korintus 1: 2-3). Surat ini memperkenalkan beberapa prinsip yang dikembangkan Paulus di sepanjang suratnya.

Pertama-tama, sebagai anggota gereja, kita adalah milik Tuhan. Paulus dengan sangat jelas mengatakan bahwa orang tidak layak untuk diikuti hingga akhirnya diidolakan. Adalah benar dan baik bagi kita untuk mencari nasihat yang kudus dan yang akhirnya membentuk opini kita, tetapi perspektif ini seharusnya tidak pernah menggantikan identitas kita di dalam Kristus.

Paulus juga mengidentifikasi gereja sebagai yang dikuduskan dalam Kristus. Di sepanjang isi Alkitab, Allah merujuk yang dikuduskan sebagai orang atau benda yang dikhususkan untuk tujuan yang kudus — seperti hari ketujuh dalam penciptaan, nama-Nya, para imam dan anak sulung Israel, dan Kristus sendiri. Jadi, sungguh panggilan yang kudus bagi kita untuk diidentifikasi dengan cara yang sama. Tentunya seluruh ambisi kita harus diarahkan untuk menyenangkan Tuhan, bukan untuk menyenangkan satu sama lain. Dan karenanya kita harus hidup, menikmati kemurahan Tuhan, daripada mencoba mendapatkan persetujuan orang lain.

Bukan karena pergumulan kita tidak penting, tetapi di tengah-tengah mereka, kita harus merefleksikan kembali sesuatu yang lebih besar daripada perselisihan kita sendiri.

Kemudian Paulus menyatukan gereja lokal dengan gereja di seluruh dunia, mengingatkan kita bahwa kita dipersatukan dengan semua orang yang memanggil nama Yesus. Hal ini memberikan gambaran yang sangat besar tentang keluarga Allah yang ada di seluruh bumi — dan cenderung membuat kontroversi dan keluhan kita sebagai hal yang kecil dan, terkadangbahkan konyol. Bukan karena pergumulan kita tidak penting, tetapi di tengah-tengah mereka, kita harus merefleksikan kembali sesuatu yang lebih besar daripadaperselisihan kita sendiri. Karena Tuhan menyatukan kita dalam nama Anak-Nya dalam skala yang sedemikian besar, tentu saja Dia dapat menyatukan kita pada yang skala jauh lebih kecil. Dan ini seharusnya memberi kita pengharapan besar, bahkan saat Ia memulihkan kekacauan kita.

Jadi apa yang diajarkan resep ini bagi identitas, kemurnian, dan persatuan berkenaan dengan masalah yang dialami gereja terakhir saya? Satu hal yang pasti, sulit untuk menjinakkan gelombang pendapat sebagaimana sulit bagi kita untuk menampung laut. Saya adalah seorang majelis di jemaat itu, orang dalam yang lebih banyak mendengarkan sudut pandang saya sendiri daripada kepada doa atau persatuan. Kebenaran yang sulit adalah bahwa tampilan dan bentuk tubuh Kristus dimulai dari saya. Saya harus teguh tentang panggilan saya, merasa terhormat dianggap sebagai orang kudus, mengakui dengan kerendahan hati bahwa Tuhan telah menguduskan saya, dan ingin sekali bekerja demi mewujudkan persatuan. Pandangan mata saya, seperti halnya orang lain, seharusnya diarahkan pada sang Anak Manusia. Dari sana, kita bisa bergerak maju, dengan sabar, dengan hikmat yang berasal dari Tuhan.

Istri saya dan saya memiliki alasan untuk pergi, sama seperti mereka yang mendahului kepergian kami dan mereka yang mengikuti kami. Alasan utamanya adalah kami pergi demi kesehatan rohani anak-anak kami, sehingga mereka dapat bertumbuh dalam kasih mereka kepada gereja dan tidak menjadi traumadengan pengalaman mereka. Tetapi betapa menyenangkan rasanya kembali ke tempat kudus itu pada hari terakhir bulan Mei, untuk merayakan kehidupan saudara kami Mac. Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, rasanya sekali lagi seolah-olah kelompok kecil ini adalah gereja yang dari masa lalu adalah milik Allah — dikuduskan dan dipersatukan dalam Kristus.