Pengampunan Yang Hilang (Matt Woodley)

Kesenjangan antara yang dikatakan pengkhotbah dan yang didengar jemaat 

KetikaTom dudukdi depan saya sambil makan kentang goreng dan roti isi ikan di McDonald, iadengan geram menjelaskan bahwa ia akan membunuh Dave. “(…..) itusudah merebut istri saya dan mempermalukan saya. Saya membencinya selama 19 tahun. Saya sudah menyelipkan pistol berisi peluru di betis kiri saya. Jika saya bertemu Dave dalam waktu dekat ini, saya akan menarik pistol itu dan menembaknyatepat dijantungnya.”

Dengan berusaha bersikap tenang, saya mencelupkan beberapa potong kentang ke dalam saos dan menjelaskan konsekuensi dari pembunuhan tingkat pertama – seperti masuk penjara. Ia berkata bahwahal itu wajar saja. Tom belum lama menjadi orang Kristen, jadi saya membawanya ke Alkitab dan teladan Yesus. Ia agak melunak. Saya membacakan Matius 18:21-35 – perumpamaan tentang hamba yang tidak mengampuni – dan kami membicarakan bagaimana Yesus sudah mengampuni sejumlah dosa di masa lalu Tom. Kesedihan mendalam tersirat di wajahnya, ia menarik napas dan berkata, “Baiklah, tetapi bagaimana? Bagaimana Anda mengampuni orang yang sudah menghancurkan hidup Anda?”

Selama 27 tahun saya melayani di bidangpastoral/pengajaran, saya sudah mendengar dan menyampaikan banyak khotbah tentang mengampuni orang lain, yang kebanyakan berisi pokok-pokokpikiran berikut ini:

  1. Orang berdosa sering berbuat dosa kepada satu sama lain.
  2. Menurut Alkitab dan teladan Yesus, kita harus mengampuni orang lain.
  3. Mengampuni orang lain akan membawa kebaikan; tidak mengampuni akan membawa keburukan.
  4. Terkadang pengkhotbah akan menyebutkan beberapa kesalahpahaman tentang pengampunan, seperti: mengampuni bukan berarti menerimatindakandosa.
  5. Oleh karena itu, ampunilah orang lain.

Sementara saya dengan bersemangat mendukungcatatan ini, saya berpikir Tom menyoroti satu bagian yang hilang—tentang bagaimana caranya mengampuni. Bagaimana Anda beranjak dari nomorsatu (sangat terluka oleh seseorang) sampai ke nomor lima (benar-benar mengampuni)? Tentu saja sangat penting untuk belajar atau mendalami kembali nomor 2 sampai nomor 4, tetapi hal itu tidak selalu membawa orang seperti Tom (atau saya) melalui proses pengampunan yang mudah bagi orang yang benar-benar mengalami luka mendalam.

Yang Dikatakan Pengkhotbah

Saya merasa penasaran dengan bagian yang hilang ini, karena itu saya lalu melakukan eksperimen kecil. Eksperimen ini jelas bukan sebuah analisis statistik yang pasti. Saya hanya mulai berbicara dengan tiga kelompok orang: para pendeta yang berkhotbah tentang pengampunan, orang-orang Kristen yang mendengarkan khotbah tentang pengampunan, dan para konselor Kristen yang berbicara kepada klien mereka tentang pergumulan mereka untuk mengampuni. Yang saya temukan adalah: ternyata ada kesenjangan antara yang dikatakan para pengkhotbah dengan yang perlu didengar banyak orang tentang pengampunan.

Saya mengumpulkan banyak data tentang rekan-rekan sesama pengkhotbah. Saya mengirimkan isian survei kepada para pendeta di seluruh negeri, dan meminta mereka mengurutkan 10 aspek pengampunan dengan skala 1 (“tidak penting”) sampai 5 (“sangat penting”). Ada 154 responden yang mengisi survei itu. Tiga pernyataan berikut mendominasi yang ingin dikatakan para pengkhotbah itu tentang topik ini:

  • Kita mengampuni karena Allah sudah mengampuni kita (90 persen mengatakan ini “sangat penting”).
  • Yesus sudah memberikan perintah yang jelas untuk mengampuni orang lain (85 persen mengatakan ini “sangat penting”).
  • Mengampuni adalah pilihan (61 persen mengatakan ini “sangat penting”).

Tujuh pernyataan lainnya, yang meliputi“Mengajarkan tentang cara mengampuni,” “Menjelaskan sulitnya mengampuni,” dan“Memakai kisah-kisah nyata tentang pergumulan mengampuni,” semuanya berada di bawah angka30 persen yang mengatakan “sangat penting”.

Tak heran jika salah satu khotbah terbaik di situs PreachingToday.com (tempat saya melayani) benar-benar tidak menjawab pertanyaanTom. Khotbah itu memiliki pendahuluan yang mantap: “Menurut pernyataanAlkitab tentang kehidupan, kita tak bisa menghindar dari kebutuhan untuk mengampuni di dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini … dan untuk (semakin) mampu mengampuni orang lain. Tetapi bagaimana?” Namun pengkhotbah itu hampir tak menyentuh pertanyaan itu. Setelah mengupas dengan cermat teks Alkitab yang panjang, ia menutup dengan sebuah contoh nyata yang mengerikan tentang seorang wanita yang mengampuni penjahat yang sudah menganiaya dan mencoba membunuhnya. Ketika ditanya mengapa ia mengampuni, wanita itu menjawab, “Saya mengampuninya karena Allah sudah mengampuni saya. Sesederhana itu.”

Yang perlu didengar jemaat

Tetapi celakanya, bagi sebagian besar dari kita, pengampunan tidak sesederhana itu. Penulis Elizabeth O’Connor menunjukkan adanya kesenjangandi antara para pengkhotbah dengan jemaat mereka ini: “Meskipun ada ratusan khotbah tentang pengampunan, kita tidaklahmudah untuk mengampuni, atau diampuni. Kita mendapati pengampunan itu selalu lebih sulit dari yang dikatakan dalam khotbah-khotbah itu.” Seperti yang juga didapatiPhilip Yancey dengan penuh rasa sakit, “Mengampuni itu sangat sulit sekali … Pengampunan adalah sebuah tindakan yang tidak wajar.”

Saya jugamemiliki pergumulan-pergumulan sendiri dalam hal ini, dan memiliki banyak teman yang masih berada di jalan yang “sangat sulit”ini: Susan, korban sebuah “pelayanan” Kristen yang mencuri uang $25,000 yang digalang untuk proyek pembuatan film yang memuliakan Allah; John, teman dari Nigeria yang menyaksikan kelompok ekstremis memukuli penduduk yang tidak bersalah namun mendapat penghargaan; Robert, pendeta yang anaknya dibunuh; Aimee, guru yang diberhentikan dari sekolah meskipun ia adalah orang yang paling berkualitas di bidangnya; atau William, pemuda yang bersama ibunya ditelantarkan oleh ayah kandungnya. Bagaimanaorang-orang ini melakukan tindakan pengampunan yang “tidak wajar” ini?

Teman saya Sheli memiliki banyak pendukung aktif dan beragam di media sosialnya, maka saya lalu memintanya untuk membantu saya membuka dialog tertentu. Ketika ia mengunggah pertanyaan-pertanyaan sederhana – seperti, “Apakah hal tersulit tentang pengampunan?” – orang jarang mengkritik ajaran Alkitab yang jelas tentang topik itu; mereka menemukan pengajaran Yesus itu di bagian seperti Doa Bapa Kami (Matius 6:12). Tetapi, mereka menekankan bahwa perjalanan untuk mengampuni sepenuhnya itu seringkali disertai dengan kegagalan, kesakitan dan keluhan yang sangat tidak menyenangkan.

Renungkanlah komentar-komentar berikut ini  tentang hal tersulit dari mengampuni:

  • “Seringkali dibutuhkan waktu lama sekali untuk bisa melepaskan— bahkan pada saat Anda benar-benar ingin mengampuni.”
  • “Mengampuni seseorang itu ternyata lebih sulit dari yang saya bayangkan.”
  • “Sebuah proses yang terus-menerus. Bertubi-tubidan berlapis-lapis dan bisa berlangsung bertahun-tahun.”
  • “Anda perlu merasakan perasaan-perasaan yang sulit agar Anda memiliki sesuatu yang dilepaskan ketika Anda mengampuni.”
  • “Pengampunan adalah proses yang terus-menerus. Setiap hari saya datang di kaki salib dan meletakkan beban-beban saya.”
  • “Pengampunan tidak berarti kita tidak akan mengalami saat-saat … atau hari-hari … atau pikiran-pikiran kelam … yang harus kita atasi tidak hanya sekali.”

 

Bisa dikatakan bahwa banyak pengkhotbah berfokus pada perintah dankeputusan untukmengampuni—dua hal yang sama-sama krusial. Bagaimanapun Alkitab berkata jelas: “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah … sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kolose 3:13). Tetapi, banyak orang Kristen memerlukan bantuan dalam proses mengampuni yang lama, sulit dan tampaknya mustahil.

Menemukan bagian yang hilang

Kembali ke pertanyaan Tom: Bagaimana aku mengampuni? Sebagai pendeta, saya mendapati  bahwa teman-teman konselor Kristen dapat menjadi sekutu yang menolong. Mereka seringkalidapat melihat yang mungkin tidak dilihat para pengkhotbah – bagaimana orang bergumul untuk menerapkan khotbah kami yang tegas dan alkitabiah mengenai topik itu. Hal ini tidak mengejutkan, karena berdasarkan survei saya terhadap rekan-rekan saya para pengkhotbah, kami memang kurang menekankan prioritas pada penerapan khotbah kami mengenai topik ini.

Ketika saya bertanya pada seorang teman psikolog, Dr. Sandy K., tentang apa yang sudah ia temukan dalam praktiknya, ia berkata pada saya, “Orang sering bergegas untuk mengampuni. Mereka ingin ‘lakukan saja’ untuk menenangkan situasi. Padahal pengampunan yang sesungguhnya meliputi mengakui dan merasakan kesakitanakibat suatukehilangan. Orang-orang terluka, para pendeta dan jemaat gereja yang baik seringkali tanpa sengaja bersekongkol untuk menghindari proses ini karena terlalu menyakitkan.”

Dr. Jeff M., konselor Kristen lain yang saya hormati, setuju dengan pendapat ini. Jeff berkata, “Pengampunan meliputi berduka dengan baik, dan ini seringkali berarti menghadapi perasaan-perasaan yang sulit seperti kemarahan. Orang Kristen seringkali takut untuk merasa marah, sehingga mereka langsung melompat kepada kesalehan palsu dan pengampunan yang cepat tetapi dangkal, tanpa menyelesaikan kesedihan dan kemarahan.” (Namun Jeff juga mengingatkan bahwa kesombongan dan pembenaran diri dapat membuat kita terus berkanjang dalam proses berduka ini)

Saya kiraJeff maupun Sandy akan setuju dengan Dr. Robert Karen, psikolog klinis sekuler yang berkata bahwa orang Kristen seringkali “melemahkan” pengampunan dengan cara “mengabaikan perasaan manusia yang wajar.” Padahal Alkitab tidak mengabaikanperasaan-perasaan yang wajar – baca saja beberapa mazmur yang berisi keluhan (seperti Mazmur 13 atau 55) atau bahkan kutukan (seperti Mazmur 137). Dan alih-alih mengabaikan perasaan yang wajar, penulis kitab Ibrani malah berkata tentang Yesus, “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan” (Ibrani 5:7). Kesedihan, kemarahan, pengkhianatan, pengabaian dan dukacita – Tuhan kita ternyata tidak asing dengansegala “perasaan-perasaan yang wajar” ini.

Menyatukan Kebenaran

Jadi dua kebenaran Alkitab iniduduk berdampingan: Allah memerintahkan kita (bukan saran) untuk mengampuni orang lain seperti kita sudah diampuni dalam Kristus, dan Allah juga mengerti proses yang sulit untuk bergerak maju menuju pengudusan dalam Kristus. Bagaimana kedua kebenaran ini bisa berjalan bersama-sama?

Berikut ini ada kisah yang mungkin menolong. Anda mungkin tidak mengenal nama

Phan Thi Kim Phuc, tetapi Anda mungkin pernah melihatnya. Pada tanggal 8 Juni 1972, Nick Ut, seorang fotografer Amerika berusia 21 tahun, mengambil gambar Kim (masih dalam foto hitam putih) yang sedang berlari dalam keadaan telanjang dan ketakutan di sebuah jalanan kotor di Vietnam; desanya dan tubuhnyahangus terbakar akibat bom kimia. Ut kemudian menyingkirkan kameranya dan bergegas membawa bocah 9 tahun ini ke rumah sakit, dan bersyukur para dokter berhasil menyelamatkan nyawanya. Tetapi perjalanan menuju pemulihan fisik dan spiritual Kim memakan waktu puluhan tahun.

Kemudian, dalam hidupnya, Kim mulai mengenal Yesus, namun ia masih bergumul untuk mengampuni orang-orang yang sudah menyakitinya begitu dalam. Dalam catatan kenangannya yang menyentuh, Fire Road, ia mengibaratkan kepahitan dalam hatinya itu seperti cangkir yang digenangi lumpur hitam. Suatu hari ia mendengar Tuhan berkata, “Kim, kamu benar-benar harus menuang keluar lumpur hitam itu. Hari lepas hari, sedikit demi sedikit, sampai tidak ada lagi kekelaman di sana.” Setiap kali perintah itu tampaknya mustahil, ia mengingat petunjuk Tuhan: “Hari lepas hari, sedikit demi sedikit.”

Tetapi hal itu tidak mudah. “Terkadang, pada saat lemah, saya akan kembali berteman dengan kepahitan saya … saya akan merasakan lumpur paling hitam menyerbu ke dalam jiwa dan pikiran saya, Mengapa aku melakukannya lagi?” Namun pada akhirnya, ia melihat air kotor itu surut. “Saya lalu dipenuhi dengan sesuatu yang baik,” katanya. “Dan semua itu adalah dari Tuhan; Dia sedang mengisi kembali diri saya dengan air bersih yang begitu murni…. Saya tidak sajasedang berkata ingin menjadi seperti Yesus; tetapi dengan kuasa-Nya,perubahanitubenar-benar sedang terjadi.

Seperti Kim, dari pengalaman saya sendiri sebagai orang yang bergumul untuk mengampuni,dan juga sebagai pendeta yang menghadapi orang lain yang bergumul, kita jarang bisa cepat mengampuni secara langsung dan sekaligus dalam usaha pertama kita. Ketika teman saya Robert (pendeta yang anaknya dibunuh) menceritakan perjalanannya untuk mengampuni, saya perhatikan ia sering memakai kata-kata seperti “Tuhan sedang bekerja di hati saya … Tuhan masih terus bekerja di hati saya.” Dan ia kemudian berkata, “Karena pengampunan itu tidak hanya sulit, tetapi mustahil tanpa pertolongan Tuhan.”

Itulah tampaknya kuncinya. Sebagian orang terluka dan menutup hati mereka terhadap Tuhan. Bagi mereka, lumpur hitam kepahitan itu tak akan pernah hilang. Sebagian orang yang lain terluka tetapi mereka membuka hati mereka pada Tuhan. Selama yang dibutuhkan, mereka terus membawakesakitan, kemarahan dan kesedihan mereka kepada Yesus. Mereka juga membawanya ke gereja-Nya, meminta dukungan doa, membicarakannya, menjernihkanlumpur kotor itu. Hari lepas hari, sedikit demi sedikit, air kotor itu akhirnya surut dan digantikan dengan mata air pengampunan.

Tak lama menjelang wafatnya pada tahun 1963, C. S. Lewis menceritakan kisah pribadinya tentang mengampuni guru sekolahnya yang kejam dan sudah membuat kelam masa kecilnya. “Saya sudah berusaha melakukannya selama bertahun-tahun,” ia mengakui, “namun setiap kali saya berpikir sudah menyelesaikannya, saya mendapati, setelah satu minggu atau lebih, semuanya harus diusahakan lagi.” Namun kemudian, secara tiba-tiba, pengampunan itu menyentuh sesuatu yang baik. Lewis berkata,hal itu rasanya seperti ketika kita sedang belajar naik sepeda – “pada saat hal itu terjadi,semua menjadi terasamudah sekali dan Anda heran, mengapa Anda tidak melakukannyasejak dulu-dulu.”

Saya kehilangan kontak dengan Tom, tetapi Yesus sudah menolongnyauntuk menguras kebencian dari hatinya. Seminggu setelah percakapan kami di McDonald, Tom menceritakan, “Saya menyingkirkan senjata itu dan mulai meminta Yesus menolong saya melepaskan kepahitan ini. Saya kira saya menangkap pelajaran pak Pendeta.”

Saya senang mendengarnya, tetapi tentu saja itu bukan pelajaran saya. Pelajaran itu selalu merupakan pengajaran Yesus. Dialah jawaban sesungguhnya atas pertanyaan bagaimana itu.  Ya, jalan menuju pengampunan total dan kekal memang sering terasa panjang dan lengang. Tetapi Dia yang memberi perintah itu selalu menyertai kita. Sangat sulit sekali? Ya. Tidak wajar? Ya. Mutahil? Tidak, dengan Dia beserta kita.

MENGAMBIL LANGKAH AWAL

Jalan pengampunan bisa jadi merupakan jalan yang panjang, tetapi ada beberapa langkah atau tahap tertentu yang bisa dilakukan di sepanjang jalan itu. Menurut Alkitab dan nasihat bijak para pendeta dan terapis Kristen, beberapa langkah paling umum yang bisa disebutkan dalam perjalanan itu adalah:

  1. Mengatakan kebenaran tentang luka itu.Jangan mengecilkan atau menutupi Jika yang terjadi memang menyakitkan, katakan saja.
  2. Merasakan kesedihan. David Stoop menulis, “Langkah yang diperlukan dalam proses pengampunan adalah berduka menangisi kehilangan itu.” Kemarahan seringkali menyertai proses dukacita ini. Ambillah waktu untuk mengungkapkan kesedihan dan kemarahan Anda (baik melalui perkataan langsung maupun tulisan) pada seseorang yang Anda percayai.
  3. Berempati dengan penyerang Anda. Everett Worthington, yang dikenal sebagai peneliti Kristen tentang pengampunan, menyarankan agar Anda bermain peransebagai orang yang melukai Anda dan duduk di kursi kosong di depan Anda. Curahkanlah isi hati Anda kepadanya. Kemudian duduklah di kursinya. Cobalah melihat dunia dari perspektifnya dan gantilah berbicara pada diri Anda. Cara ini perlahan-lahan akan menolong Anda untuk mengerti mengapa orang itu berbuat salah kepada Anda.
  4. Memberkati yang bersalah.Temukanlan hal sederhana untuk bisa sungguh-sungguh mengharapkan kebaikan bagi orang yang bersalah itu. Jika memungkinkan, temukanlah cara sederhana untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang memberkati penyerang Anda.
  5. Memberikan anugerah pengampunan. Worthington menyebutnya “pemberian yang altruistik” dari pengampunan. Kita semua bisa mengingat saatkita diampuni seseorang. Kita merasa ringan dan lega. Ketika kita mengampuni, kita memberikan hal yang sama kepada orang lain.
  6. Bertekad untuk mengampuni.Setelah Anda mengampuni, buatlah catatan untuk diri Anda sendiri – sebuah tulisan sederhana seperti, “Hari ini aku mengampuni [namanya] yang sudah ” Ketika Anda tergoda untuk kembali merasa dendam, bacalah ulang catatan itu.

Minta dukungan doa secara teratur.Pengampunan memerlukan kekuatan ilahi. Kita memerlukan penyertaan Yesus dan juga dukungan komunitas Kristen. Tidak ada cara yang lebih baik untuk menggabungkan kedua hal ini selain mengakui kebutuhan kita dan meminta dukungan doa orang lain.