Pengharapan Besar Bagi (Joshua Ryan Butler)
Kemurahan hati Allah yang tak ada habisnya
“Saya sudah mengkhianatinya.” Airmata menyembul di pelupuk mata Jim ketika ia melirik ke arah istrinya, dan melanjutkan, “Saya orang yang berpengaruh di dunia bisnis. Kesombongan mulai menyelimutidiri saya dan saya berpikir saya dapat melakukan apa saja. Saya berdansa terlalu rapat dengan seseorang dalam suatu acara, satu hal yang mengarah kepada hal lainnya, dan … saya melakukan kesalahan terbesar dalam hidup saya.”
Itulah pertama kalinyapertemuan Jim dengan saya. Kami sedang makan malam bersama pasangan-pasangan kami, dan saya menanyakan kisahnya. Dan ia memilih untuk memakaikesempatan itu sebagai saat yang menentukan, titik balik, dalam hidupnya. Namun, yang paling mengherankan saya adalah, airmata itu sudah tidak lagi diwarnaikesedihan (perselingkuhan itu sudah terjadi dua dasawarsa yang lalu), tetapi keharuan yang mendalam, dari rasa syukur yang tak habis-habisnya tentang istrinya, cinta dalam hidupnya.
“Ia mengampuni saya. Maksud saya, ia meminta saya berhenti menjadi pecundang arogan dan membuat batas-batas yang sehat. Jadi saya melakukan tugas saya selama kurun waktu tertentu untuk menunjukkan yang mau saya buktikan, tetapi ia mengampuni saya.” Ia tampak tak dapat menahan sukacitanya ketika memandang dengan mata yang basah ke ruang istrinya. “Saya sangat mencintainya.”
Apa yang bisa membuatterjadinya halyang sangat transformatif ini dalam kehidupan Jim? Ia telah menerima kemurahan hati atau belas kasihan.
Hakikat Allah
Allah kita adalah Allah yang murah hati. Kisah Jimadalah satu terobosan tepat ke sifat ilahi ini, karena perzinahan di dalam Alkitab biasanyadigunakan untuk menggambarkan berbagai cara kita, sebagai umat Allah, mengkhianati Dia. Kita diciptakan untuk keintiman dan persekutuan dengan Bapa surgawi, tetapi penyembahan berhala dan ketidakadilan kita telah membawamalapetaka ke dalam relasi itu. Namun berulang kali, seperti istri Jim, Allah menunjukkan kemurahan hati-Nya.
Kemurahan hati bukan sekadar sesuatu yang dilakukan Allah, tetapi sifat dasar atau hakikat diri Allah sendiri. Di kitab Keluaran, Allah mengungkapkan nama-Nya kepada Musa, dan coba tebak sifat yang mana yang Dia singkapkan? Murah hati, atau penyayang dan pengasih (merciful and gracious). “TUHAN, TUHAN Allah penyayang dan pengasih” (Keluaran 34:6). Yang seperti ini belum pernah ada atau terjadi sebelumnya.
Nama Allah berbicara tentang identitas-Nya – yang lebih dalam dari tindakan atau perilaku, dan didasarkan pada hakikatatau sifat dasar-Nya. Sungguh sesuatu yang revolusioner jika kita merenungkan bahwa Raja atas seluruh bumi, di lubuk hati-Nya yang terdalam “penuh dengan belas kasihan” (Mazmur 116:5, dalam terjemahan Alkitab NIV: “full of compassion”). Seperti buyung yang meluap dan mengalirkan air anggur, identitas Allah melimpahkan kekayaan kasih setia dan kemurahan-Nya kepada umat-Nya.
Kata Ibrani di kedua ayat ini, racham, dapat diterjemahkan sebagai “mercy” (kemurahan hati, penyayang) atau “compassion” (belas kasihan). Kata ini sering dipakai dalam konteks pengampunan, seperti ketika Asaf bersukacita karena Allah “bersifat penyayang, Ia mengampuni kesalahan mereka” (Mazmur 78:38). Seperti Jim, kita paling sering mengalami karakter murah hatiyang paling dalam ketika kita menerima pengampunan. Peristiwa itu mengubah arah cerita kita dan menyatukankita kembali ke dalam keintiman dan persekutuan sebagaimana yang dirancangkan-Nya untuk kita.
Belas kasihan bagi orang berdosa
Tetapi Anda dan saya seringkali tidak berbelas kasihan. Raja Salomo menyatakan bahwa orang benar tidak hanya memperhatikan kebutuhan manusia, tetapi juga binatang, “tetapi belas kasihan orang fasik itu kejam” (Amsal 12:10). Nabi Yesaya meratapi musuh yang “panah-panah mereka akan menembus orang-orang muda; mereka tidak akan sayang kepada buah kandungan, dan mereka tidak menaruh kasihan kepada anak-anak” (Yesaya 13:18).
Manusia dapat menjadi “binatang buas” yang tak berbelas kasihan.
Tetapi syukurlah, kasih setia dan kemurahan Allah tiada berkesudahan. Daud berseru dalam kegundahan hatinya, “Janganlah aku jatuh ke tangan manusia,” karena ia tahu betapa manusia bisa tak berbelas kasihan, dan memohon yang lain, “biarlah kiranya kita jatuh ke dalam tangan TUHAN, sebab besar kasih sayang-Nya” (2 Samuel 24:14). Daud mengenal belas kasihan Tuhan yang besar, yang melampaui segalanya dan tak pernah gagal.
Demikian pula, ketika menghadapi kehancuran besar, nabi Yeremia menemukan pengharapan dalam karakter Allah yang tak pernah surut itu: “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya” (Ratapan 3:22). Ini berarti Allah kita adalah pengharapan besar bagi orang berdosa, dan kita dapat berpegang pada jaminan kasih setia-Nya sekalipun kita sudah berlaku tidak setia.
Tetapi Allah tidak dapat dipedaya atau membiarkan kasih-Nya dipermainkan. Meskipun Allah “tidak cepat marah,” menguji kesabaran-Nya dengan kedegilan hati adalah ide yang buruk. Memberontak terus-menerus adalah nasihat yang bodoh. Bangsa Israel sering mendapat hukuman dengan dijauhkan dari kemurahan-Nya. Namun meskipun mereka kemudian dibuang ke padang gurun, mereka tahu bahwa mereka tidak benar-benar ditinggalkan,dan tetap dapat menemukan pengharapan di dalam janji kasih Allah yang tak pernah gagal (Nehemia 9:17, 19, 31).
Juru Selamat Yang Berbelas Kasih
Yesus adalah puncak kemurahan hati atau belas kasihan Allah. Ketika Maria mendapati dirinya mengandung Juru Selamat, ia menyanyikan pujian sukacita, memuji Allah yang “rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia,” dan “menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya, … untuk selama-lamanya” (Lukas 1:50, 54-55).
Kemurahan hati atau belas kasihanjuga menjadi ciri utama pelayanan Yesus. Setelah mengusir serombongan setan (legion), Yesus berkata kepada orang yang sudah dilepaskan itu agar ia pulang ke rumahnya dan menceritakan bagaimana Allah “sudah mengasihaninya” (Markus 5:19). Orang sakit, orang buta dan orang menderita berseru kepada Yesus, “Kasihanilah aku!” dan Yesus dengan senang hati merespons, menyembuhkan dan memulihkan mereka (Matius 15:22; 17:15; Markus 10:47-48). Karena pengampunan Allah yang besar, Yesus mengajarkan bahwa pemungut cukai yang tidak bermoral pun dapat berseru, “Tuhan, kasihanilah aku, orang berdosa ini” dan didengarkan (Lukas 18:13).
Pada puncaknya, di kayu salib itulah kemurahan hati atau belas kasihan Allah dinyatakan secara palingmencolok. Di salib itu, Yesus memenuhi semua tuntutan keadilan agar kita dibebaskan. Di salib, kita mengalami sepenuhnya Allah yang “kaya dengan rahmat” (Efesus 2:4) yang menyatakan diri-Nya sebagai “Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan” (2 Korintus 1:3).
Kemurahan hati Allah juga membuat kita menjadi Tubuh Kristus. Sebagaimana dikatakan rasul Petrus, “Kamu, yang dahulu bukan umat Allah, … sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani … sekarang telah beroleh belas kasihan” (1 Petrus 2:10). Laksana sebuah ukiran yang dipahatoleh tangan yang terampil, kita sudah dibentuk oleh kasih Allah yang melimpah.
Kemurahan Tuhan membangkitkan penyembahan. Ketika kita menyadaribetapa besarnya belas kasihan Tuhan pada kita, api penyembahan menyaladari hati kita yang terdalam. Menurutinasihat Paulus di Roma 12:1, “demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah,” kita menyerahkan diri kita sebagai persembahan bagi Dia yang telah menyerahkan diri-Nya untuk kita.