Penyembahan di Padang Gurun
Penyembahan lebih daripada sekedar menyanyi atau membaca – penyembahan adalah reorientasi kehidupan kita kepada sang Pemberi Kehidupan.
Oleh Michael Morgan
Penyembahan tidak pernah berhenti. Penyembahan itu lebih besar daripada kebaktian Minggu atau waktu saat teduh pribadi. Dengan menyembah, kita mengorientasikan seluruh hidup kita di seputar apa yang kita cintai – suatu tindakan kasih sayang yang kita terus lakukan, bahkan sekalipun untuk seumur hidup. Namun penyembahan juga sangat praktis; kita mengorientasikan kehidupan kita di seputar apa yang kita percayai akan menopang kita.
Nah, padang gurun dapat melukiskan gambaran yang jelas bagi kita. Apakah ada yang lebih berharga disana selain air? Keseluruhan ekosistemnya, yang mencakup keanekaragaman tanaman dan mahluk hidup yang unik, mengatur dirinya sendiri di seputar rasa haus dan menantikan air untuk diberikan. Rubah gurun tidur di sepanjang siang yang terik dan aktif di malam hari. Jenis kaktus tertentu menyebarkan akarnya, seperti payung yang terbalik di bawah tanah, siap untuk menampung air sebanyak mungkin bila hujan turun. Kebiasaan-kebiasaan yang unik ini menggemakan tentang penyembahan yang sejati, tentang kehidupan kita yang berorientasi di seputar sang pemberi air kehidupan.
Saya percaya bahwa kita sebagai orang Kristen dapat memahami diri kita sendiri sebagai orang padang gurun, namun untuk melakukannya, kita harus menghadapi sedikit dilema. Gambaran hutan lebat yang disegarkan oleh hujan dan aliran sungai yang jernih mungkin menghantui kita seperti suatu memori yang ingin kita wujudkan, namun ini bukanlah dunia kita pada saat ini. Sekalipun kita telah dibangkitkan secara rohani (Roma 6:4), sekalipun saat ini kita hidup dan terikat dengan suatu kerajaan setelah kita meninggal, namun kita masih hidup di dunia ini, terikat dengan maut dan kerja keras, dan masih akan seperti demikian untuk beberapa waktu. Akhirnya kita menjalani kehidupan Kristiani yang membingungkan. Kita telah merasakan air kehidupan, namun rasa duka dan kehilangan masih mengintai hidup kita, bersiap untuk menjadi kenyataan dan mengingatkan kita bahwa kita belum sepenuhnya meninggalkan padang gurun.
Akhirnya kita menjalani kehidupan Kristiani yang membingungkan. Kita telah merasakan air kehidupan, namun rasa duka dan kehilangan masih mengintai hidup kita, bersiap untuk menjadi kenyataan dan mengingatkan kita bahwa kita belum sepenuhnya meninggalkan padang gurun.
Kerinduan saya akan kerajaan Allah datang kepada saya seperti rasa dahaga. Kesadaran itu datang beberapa waktu yang lalu ketika saya merasakan sengatan transisi dari pekerjaan yang menurut saya menjanjikan dan bermakna kepada pekerjaan yang hanya mampu untuk membayar tagihan. Saya merasakannya di setiap pemakaman dan setiap kunjungan ke orang yang sakit. Namun, rasa dahaga itu paling sering mengunjungi saya saat saya hendak tidur dan saya terus terjaga dan bertanya, “Apakah hanya segini saja?” Pertanyaan ini datang kepada saya di akhir hari-hari yang membuat saya frustasi, tetapi juga datang di akhir hari-hari yang baik. Perasaan kering kerontang ini mengingatkan saya bahwa, sama seperti padang gurun, saya hidup tetapi juga menantikan saat untuk hidup kembali.
Rasa dahaga itu paling sering mengunjungi saya saat saya hendak tidur dan saya terus terjaga dan bertanya, “Apakah hanya segini saja?”
Selagi menanti, saya tergoda untuk mengejar khayalan yang ada, setiap janji “kehidupan baik” yang saya temui. Dan di dalam dunia ini yang berusaha keras untuk menjadi taman impian yang abadi, khayalan itu begitu banyak, sekalipun ujungnya maut. Bila saja saya dapat dikagumi oleh orang-orang yang saya kagumi, bila saja saya dapat mencapai sesuatu yang hebat, maka mungkin saya tidak akan pernah haus lagi. Saya harus diingatkan bahwa saya memiliki kehidupan, karakter dan hubungan yang Tuhan telah berikan kepada saya – dan saya pun harus bersyukur untuk setiap anugerah ini, mengelolanya dengan setia sekalipun saya dipuji atau tidak. Kesetiaan kepada apa yang telah diberikan kepada kita, oleh karena kita mengasihi sang pemberi: ini adalah praktek misterius penyembahan Kristiani, suatu ikatan setia yang menopang sekalipun kita tidak merasakan apapun, kecuali ingin menyembah-Nya. Saat kita merasa kering, kita harus mengingat: Dahaga kita yang sesungguhnya adalah dahaga yang disebut Yesus sebagai berbahagia dalam khotbah-Nya yang terkenal.
Oleh karena penyembahan kita sebagai pengikut Kristus harus dapat bertahan di masa-masa sulit (atau di saat kita berada di padang gurun), maka penyembahan itu harus memiliki satu komponen penting. Bukan kenyamanan dan bukan kebahagiaan, sekalipun hujan kecil kenyamanan dan kebahagiaan memang datang dan pergi. Bagi kita, saat ini, penyembahan harus memiliki iman. Bunga liar di padang gurun, menyimpan benihnya di dalam tanah yang terkena terik matahari, bertindak dengan iman, percaya bahwa hujan akan turun, sekalipun penantian itu bisa sepanjang satu generasi atau bahkan lebih. Ia tidak membuat jadwal dan menghitung mundur sampai hujan turun, melainkan ia membuat benih terbaik yang ia dapat sediakan dan menanti dengan sabar hingga hujan turun. Ia sabar menanti, karena hujan pasti turun, sekalipun terlambat.