Perangkap Produktivitas

(John Koessler)

Bersibuk-sibuk bagi Tuhan tidaklah cukup.

Saya orang yang sulit tidur. Jika saya tidur, tidur saya sangat sedikit. Saya sering terbangun di tengah malam, terganggu oleh suara bangunan yang berderit di atas pondasinya, atau dikejutkan oleh bunyi semak-semak yang berdesir di luar jendela. Napas istri di samping saya yang tenang dan berirama terdengar seperti air pasang yang sedang naik. Dan dari kejauhan, saya mendengar sirene ambulans dan saya bertanya-tanya kemalangan siapa yang meraung-raung. Saya memutar kembali kejadian-kejadian hari itu di pikiran saya, meninjau percakapan-percakapan yang terjadi, dan mengembangkannya dengan imajinasi saya. Saya mengerami masa lalu. Saya gelisah tentang masa depan. Jam berdentang menghitung mundur waktu yang tersisa, dan saya terbaring dalam gelap, menanti jendela menjadi terang oleh cahaya fajar yang menyingsing. Saya bukanlah satu-satunya orang yang terbaring dengan terjaga dalam gelap. Menurut National Sleep Foundation, lebih dari separuh orang Amerika mengaku memiliki masalah tidur pada malam hari. Kami adalah masyarakat yang kurang-tidur.

Gereja menderita masalah yang sama. Bukan akibat kurang tidur, tetapi kurang beristirahat. Gereja saat ini sudah menjadi tempat yang hingar-bingar. Ibadah kita ditandai dengan kebaktian yang hiruk-pikuk, di mana mendapat partisipasi penuh dari jemaat menjadi tujuan utamanya. Pemain drum melantunkan tempo lagu pertama, dan kita pun bangkit berdiri untuk menyanyi. Kita tetap berdiri  sepanjang lagu demi lagu dinyanyikan dalam ibadah. Kita diminta mengangkat tangan atau bertepuk tangan dalam melakukan ibadah yang tampaknya merupakan pengalaman seluruh tubuh. Di antara nyanyian-nyanyian itu, pemimpin pujian meminta kita menyebar dan menemukan seorang yang akan kita ajak berkenalan. Pendeta juga mengingatkan kita untuk singgah di meja informasi dan mendaftarkan diri dalam proyek jemaat terbaru, dan setelah itu meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan seseorang sambil minum kopi di ruang ramah-tamah.

Di gereja-gereja lainnya, pembukaan ibadah masih ditandai dengan panggilan persiapan lewat permainan organ. Meskipun tidak memakai alat musik drum, aktivitas yang ada sama banyaknya. Di gereja-gereja ini, penekanan difokuskan pada kehadiran di gereja dan keterlibatan dalam program-program. Orang-orang yang mengasihi Yesus harus hadir setiap kali pintu gereja dibuka. Terlibat dalam pekerjaan Tuhan berarti ikut serta dalam kegiatan-kegiatan gereja. Para anggota didorong untuk melayani dalam kepanitiaan-kepanitiaan, mengajar Sekolah Minggu dan mendengarkan anak-anak menghafalkan ayat Alkitab pada hari Rabu malam. Sedikitnya sekitar 20% anggota gereja melakukan hal ini. Yang lainnya merasa tidak nyaman, dan berusaha tidak melihat mata pendetanya ketika ia mengumumkan seruan terbaru agar ada lebih banyak yang melayani di ruang anak-anak.

Gereja masa kini yang sangat bersemangat selalu berusaha melebihi level aktivitasnya yang sekarang. Jika pengunjung bertambah, aktivitasnya juga harus bertambah. Jika program-programnya berkembang, mereka juga harus lebih mengembangkannya lagi. Setiap tahun gereja meluncurkan prakarsa-prakarsa baru seperti perusahaan-perusahaan mobil meluncurkan produk-produk barunya. Dan seperti mobil model terbaru, proyek baru gereja itu harus lebih mengesankan dari yang sebelumnya. Padahal, ketika para anggota gereja diletakkan di bawah tekanan untuk berproduksi seperti ini, komunitas orang percaya menjadi kehilangan pandangan tentang dirinya sebagai imamat yang rajani, dan lebih menjadi seperti industri jasa yang tugas utamanya menyediakan barang-barang dan acara-acara rohani bagi orang banyak. Mereka memperlakukan pengunjung seperti konsumen, dan para anggota seperti karyawan yang tugas utamanya mempromosikan merek produknya. Pesan yang tersirat adalah, sebagai anggota jemaat, kita tidak cukup hanya datang ke gereja untuk beribadah. Kita harus membawa sesuatu yang lain untuk dipersembahkan. Kita harus menambah nilai. Kita harus  menghasilkan.

Tenggelam dalam budaya semacam itu, kita akan terkejut saat mendengar nada lain dalam undangan Tuhan Yesus. Di Matius 11:28-30, Yesus berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” Demikian pula, gambaran yang diberikan Yesus tentang hidup yang berbahagia/diberkati dalam Ucapan Bahagia tidak berfokus pada nilai yang kita tambahkan bagi Kerajaan, atau seberapa baik/banyak kita berbuat bagi gereja, melainkan pada yang tidak kita miliki. Yang dikatakan Yesus dalam Ucapan Bahagia ini tidak terbayangkan. Berkat macam apa yang bisa diperoleh dari menyadari yang tidak ada pada kita? Seperti kata pepatah, “Tidak ada yang ditolong oleh yang negatif, sekalipun itu hal yang benar.”

Tetapi, Ucapan Bahagia bukanlah tinjauan kinerja atau bahkan target yang hendak dicapai. Ucapan-ucapan ini adalah pengecekan realitas. Saat kita membacanya, secara intuitif kita tahu di mana semua tanda centang itu akan dibubuhkan. Semuanya akan masuk ke kotak yang bertuliskan “Perlu perbaikan.” Ucapan Bahagia adalah sebuah diagnosa yang juga menunjukkan kekurangan mendasar pada pola pikir produktivitas gereja. Orang yang melihat persediaan-persediaan mereka sendiri untuk memperhitungkan apakah mereka cukup kudus untuk mendapatkan penerimaan Tuhan tak pelak akan kedapatan kurang. Jika Anda menginginkan kebenaran, Anda tak bisa merebutnya dengan paksa. Sebagaimana dikatakan oleh Yesus sendiri, hanya orang sakit yang perlu dokter (Matius 9:12). Inilah yang disebut Alkitab sebagai anugerah atau kasih karunia, dan dalam hal kasih karunia, kosong pun sudah cukup.

Kita ragu-ragu dengan pesan semacam ini. Bukan saja karena budaya gereja masa kini yang berorientasi pada kinerja, tetapi karena natur kita sendiri. Cara berpikir alami kita adalah bertentangan dengan Injil. Seperti dikatakan ahli filsafat Josef Pieper, “Manusia tampaknya mencurigai segala sesuatu yang tidak memerlukan usaha; ia hanya dapat menikmati, dengan hati nurani yang baik, apa yang dicapainya dengan kerja keras dan kesukaran; ia menolak memiliki apa pun yang merupakan anugerah.” Yang dibutuhkan gereja adalah beristirahat. Tetapi istirahat dalam arti yang khusus – bukan sekadar yang berupa hari libur, tetapi sesuatu yang hanya dapat diberikan oleh Kristus saja. Pemulihan dan sekaligus kelegaan, yang Dia berikan sebagai anugerah. Inilah juga kunci kebahagiaan yang dijelaskan Yesus dalam Ucapan Bahagia. Berkat-berkat ini bukanlah bayaran atas pelayanan yang diberikan, tetapi pemeliharaan Kristus yang indah bagi orang-orang yang memiliki kekurangan. Seperti kata Martin Luther, “Sebelum Anda menerima Kristus sebagai teladan, Anda menerima dan mengakui Dia sebagai anugerah, sebagai hadiah yang diberikan Tuhan kepada Anda dan menjadi milik Anda.”

Observasi Luther juga menjadi jawaban atas pertanyaan yang sering ditanyakan pada saya mengenai beristirahat: “Bagaimana tepatnya orang melakukan hal itu?” Ketika saya menjawab, saya tidak berbicara tentang kehidupan yang hanya bisa dijalani oleh beberapa orang pilihan. Undangan Yesus di Matius 11:28-29 ditujukan bagi semua orang yang letih lesu dan berbeban berat. Tetapi di dunia yang terdiri dari para pekerja ini, istirahat itu sendiri merupakan pemikiran yang radikal. Dan di gereja yang percaya bahwa orang yang datang beribadah juga harus menjadi pekerja untuk membenarkan kehadiran mereka, pengalaman ini tidak lazim. Meskipun ada beberapa disiplin – seperti melakukan sabatikal, keheningan dan menyepi – yang dapat membantu kita menata kembali hidup kita dan memusatkan kembali pikiran kita, istirahat bukanlah persoalan metodologi semata. Kita begitu berorientasi pada kinerja sampai kita kemungkinan akan mengganti pengalaman sebagai kewajiban lainnya. Kita menambahkan disiplin untuk beristirahat ke dalam daftar hal-hal yang harus kita lakukan bagi Yesus, dan melupakan tujuannya sama sekali. Seperti pernah dikatakan seseorang pada saya, “Semua pembicaraan tentang istirahat ini hanya membuat saya lelah!”

Pada saat yang sama, sekalipun beristirahat bukan persoalan metodologi atau disiplin tertentu, hal ini harus dikejar dan diusahakan. Alkitab menggambarkannya sebagai anugerah dan juga tujuan. Itu sebabnya penulis kitab Ibrani mendorong kita untuk “berusaha masuk ke dalam perhentian itu” (Ibrani 4:11).

Pengejaran yang kudus ini juga tidak membebaskan kita dari kewajiban melayani Kristus. Bahkan, pelayanan kita bergantung pada hal yang hanya dapat diberikan oleh Kristus ini: kita melayani bukan untuk bisa beristirahat (mendapat perhentian/kelegaan), tetapi sebaliknya. Kita melayani karena sudah beritirahat (mendapat perhentian/kelegaan). Dan salib Kristuslah yang memampukan kita untuk melakukan pelayanan kita. Kuk untuk beristirahat/mendapat kelegaan yang ditawarkan Yesus ini dapat diterima, tetapi tidak dapat direbut dengan paksa, diperoleh dengan tawar-menawar, atau bahkan dicapai dengan disiplin.

Sepintas, beristirahat/tempat perhentian mungkin terdengar seperti sesuatu yang berada di luar atau terpisah dari Kristus – seakan-akan Yesus adalah orangtua yang sekadar memberi uang receh kepada anak kecil. Tetapi Yesus adalah subyek dari kata kerja di Matius 11:28, dan kita adalah obyeknya. Perkataan Yesus bisa diterjemahkan bebas kira-kira seperti ini “Aku akan melegakan kamu” atau “Aku akan menyegarkan kamu” – sebuah janji yang menunjukkan relasi dan juga pengalaman. Kita datang pada Kristus, dan Dia menyegarkan kita. Kita tidak datang pada Kristus, menerima anugerah-Nya dan kemudian pergi. Dengan memberi kita kelegaan, Kristus memberikan diri-Nya sendiri. Dan inilah yang seringkali tidak bisa kita mengerti: istirahat/kelegaan/tempat perhentian itu sinonim dengan Anak Yahweh sendiri, yang merupakan penyokong dan sekaligus pencetus utamanya. Langkah yang pertama adalah juga langkah yang terakhir: mencari Yesus. Karena jika beristirahat/tempat perhentian merupakan tujuan, saya harus disokong untuk mencapainya.

Entah kenapa, kita yang telah menerima Injil kasih karunia ternyata juga percaya bahwa pemeliharaan  kehidupan Kristen semata-mata bergantung pada kita. Kita sudah terprovokasi bahwa nilai kita di mata Tuhan berkaitan dengan apa yang kita lakukan bagi Dia. Akibatnya, kita diruntuhkan oleh ambisi-ambisi kita sendiri, meskipun ambisi-ambisi itu bersifat rohani. Padahal, ada yang lebih dari sekadar bekerja untuk gereja dalam kehidupan Kristen.

Saya orang yang sulit tidur. Tetapi jika saya menunggu cukup lama, pada akhirnya tidur akan datang menghampiri saya, hampir selalu sebagai kejutan, yang menyambut saya seperti kekasih yang datang mengendap-endap dari belakang dan menutup mata saya. Demikian pula halnya dengan Kristus. Ketika kita menemukan Dia, kita masuk ke tempat perhentian – hal yang Dia maksudkan sejak pada mulanya. Seperti pengakuan Agustinus, Tuhan menciptakan kita untuk diri-Nya. Dan kita akan terus gelisah sampai kita beristirahat di dalam Dia.