Perkataan Yang Jujur
(Heather Caliri)
Jika kita menghindari kesakitan masa lalu, kita menghindari pemulihan.
“Ingat gambar wortel di dapur itu?” Steve, kakak saya, bertanya. “Ingat lubang di dinding di belakangnya?” Katie, si anak tengah, mengangguk. Matanya terbuka lebar.
Kami sedang berada bersama dua kakak sepupu di ruang keluarga mereka. Tak jauh dari kami, semua orangtua kami juga sedang berkumpul dan berbincang-bincang.
Tengkuk saya merinding. Saya ingat gambar itu, tetapi sebelum Steve menyebutkannya – dan apa yang ada di belakangnya – saya sudah meyakinkan diri saya untuk tidak akan mengingatnya. Saya sudah memutuskan untuk tidak mengingat lubang itu, atau bahwa lubang itu sesuai dengan bentuk kepala Steve yang saat itu berusia 12 tahun. Saya sudah menetapkan bahwa ibu kami tidak mungkin menciptakan lubang yang tidak ada.
Saya berusia 12 tahun ketika Steve mengungkapkan hal itu; dan ia saat itu berusia 19 tahun. Saya bisa saja mengelak, tetapi ia mengatakan hal itu kepada orang-orang yang tidak tahu, dengan orangtua kami yang berada tidak jauh dari situ.
Teganya kau? Saya membatin.
Saya tak habis pikir mengapa saya marah kepada kakak saya, padahal dialah yang mendapat perlakuan kasar. Saya kini mengerti bahwa kita membenci sejarah ketika hal itu memaksa kita untuk meragukan saat ini, keberadaan kita, atau perasaan kita sendiri. Ini terjadi terutama ketikakita tidak mengalami sendiri sejarah itu. Meskipun ingatan tentang lubang di dinding itu menakutkan saya, hal itu berada di kejauhan—mudah disingkirkan, dilupakan dengan senang hati. Tetapi bagi kakak saya, kekerasan itu bukan hanya teori. Ia tidak memiliki kemewahan untuk menyangkali pengalamannya jika itu membuatnya tidak nyaman.
Bertumbuh sebagai anak terkecil yang dilindungi dalam keluarga yang kasar, saya belajar sejak dini untuk menutup mulut. Tetap bungkam rasanya seperti menjaga keselamatanorangtua kami – selamat dari telinga-telinga yang menghakimi dan dari tangan-tangan CPS (semacam Komnas Perlindungan Anak-Red).
Melindungi orangtua itu terasa urgen, sebagaimana yang juga mungkin dirasakan semua anak. Orangtua yang kasar pun tidak sepenuhnya kejam. Mereka biasanya gabungan antara kelebihan dan kekurangan, kasih dan perlakuan buruk, maksud baik dan keputusan jelek.
Ibu membawakan kami waslap basah untuk menyeka wajah kami ketika kami menangis. Ibu membuatkan kami kue-kue putih cantik dengan stroberi segar di hari ulangtahun kami. Hampir tanpa bantuan, Ibu mengorganisir lingkungan tetangga kami untuk pergi berkemah ke Ngarai Havasu Canyon; dan karena Ibu, keluarga kami merasakan komunitas di salah satu tempat terindah di dunia.
Ibu penuh dengan energi kreatif, ambisi untuk anak-anaknya, dan hasrat untuk menjadi dan menjadikan yang terbaik. Namun seperti semua orangtua – dan semua orang – kekurangan-kekurangannya tak dapat dipisahkan dari kelebihan-kelebihannya. Ketika saya masih kecil, saya mengira saya harus memilih antara menerima keindahan atas kehebatannya atau menolaknya sama sekali. Dan sebagai akibatnya, lebih mudah mengabaikan kemuraman daripada menatap wajah ibu atau kakak saya sepenuhnya. Namun, meskipun pengabaian diam-diam ini menolong saya untuk melalui masa kanak-kanak saya, sikap seperti itu ternyata kurang baik ketika saya menjadi dewasa.
Ketika saya sudah di sekolah menengah, saya heran mengapa saya sulit sekali untuk menangis. Dulu saya adalah anak yang perasa, tetapi sekarang saya seperti tak punya perasaan atau mati rasa. Saya merasa tidak terhubung dengan saudara-saudara dan orangtua saya, dan pernah merasa lebih sendirian lagi ketika saya pindah rumah, menikah dan melahirkan anak-anak saya. Tetapi masa lalu tidak akan terus terkubur. Ia seperti lubang hitam yang menarik saya ke bawah.
Dalam satu sesi terapi, ketika saya menceritakan betapa takutnya saya pada percakapan-percakapan yang jujur dengan keluarga saya, terapis saya berhenti sejenak dan kemudian mengajukan satu pertanyaan yang mengubah hidup saya.
“Apakah Anda setuju bahwa relasi yang jujur itu adalah relasi yang lebih baik?” Ia bersandar ke depan. “Dapatkah Anda cukup memercayai mereka untuk mulai mengatakan kebenaran kepada mereka?”
Sepanjang hidup saya, saya berpikir saya sudah melindungi semua orang dengan menutup mulut. Sekarang saya jadi bertanya-tanya, apakah itu benar. Bagaimana jika kebungkaman saya berarti saya menjaga jarak dengan orang lain? Bagaimana jika hal itu berarti saya tidak mau berbagidiri dengan keluarga saya?
Pada hari saya ingin kakak saya tutup mulut, saya sebenarnya takut ia akan menjelek-jelekkan orangtua kami. Ikatan keluarga sangat erat; menolak mereka berarti melukai diri kita sendiri. Bagaimana pun, ada alasan di balik perintah untuk menghormati orangtua. Tetapi kejujuran tidak sama dengan menjelek-jelekkan. Dan berdukacita tidak sama dengan penolakan.
“Berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihiburkan,” Yesus berkata di Matius 5:4. Mati rasa terhadap keluarga akan memisahkan kita dari orang-orang terkasih. Dan mengasingkankita dari diri kita sendiri juga. Kita berdukacita hanya atas orang-orang yang berarti bagi kita. Berdukacita menegaskan kemanusiaan kita, membantu kita untuk tetap jujur. Itulah yang didefinisikansebagai bukti cinta sejati.
Tak lama sesudah sesi terapi itu, saya menghubungi kakak saya. Dengan ragu-rasu saya memintanya mengatakan pada saya, seperti apa saat bertumbuhdewasa itu baginya.
Steve menceritakan kisah-kisah yang menyakitkan pada saya. Sungguh menyakitkan melepas mati rasa saya untuk kekerasan dan rasa malu yang ia alami. Tetapi keterus-terangannya juga menolong saya untuk memahami semangatnya, berdukacita bersamanya, dan dengan demikian makin mengasihinya.
Sesungguhnya, sejarahnya memberkati saya. Saya kira saya akan sulit menerima kejujuran kakak saya. Ternyata, dengan ia bermurah hati menceritakan tentang dirinya pada saya, yang dikatakannya justru akhirnya terdengar seperti kasih.
Kita memang gemetar ketika menghadapi perkataan yang jujur tentang masa lalu. Hal itu membawa kita ke dalam persekutuan dengan para nabi, yang dibenci karena berbicara terus terang. Sebagai imbalan atas kejujuran kita, Tuhan tidak menjanjikan keselamatantetapi kebenaran yang memerdekakan kita.
Di Efesus 5:11, Paulus juga memerintahkan kita untuk “[menelanjangi] perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa.” Dan beberapa ayat sesudahnya, ia melanjutkan: “Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati, dan Kristus akan bercahaya atas kamu.”
Tanpa perkataan profetik yang jujur tentang kemuraman masa lalu, kita seperti orang-orang yang tidur dalam menjalani hidup kita. Saya telah mendapati bahwa pada akhirnya, berani menghadapi mimpi-mimpi buruk masa lalu—dan mengatakan kebenaran dengan kasih karunia—adalah satu-satunya cara untuk membuka mata kita terhadap kasih.