Saat Anda Berpuasa

(Sunita Theiss)

Puasa adalah bagian yang esensial dan bersejarah dalam iman Kristen – tetapi apakah kita mengerti mengapa kita berpuasa?

Saya dan suami memutuskan sudah waktunya untuk memiliki anak, tetapi tubuh saya tampaknya mengatakan yang sebaliknya: saya didiagnosa memiliki masalah-masalah kesehatan yang akan memengaruhi kemampuan saya untuk mengandung, dan saya khawatir saya tidak akan bisa hamil.

Saya berdoa. Dengan bercucuran air mata saya mencari jawaban-jawaban dari Kitab Suci. Dan saya mulai berpuasa satu atau dua kali seminggu.

Seiring berjalannya waktu, doa-doa saya menjelma menjadi seruan keputusasaan dan tawar-menawar dengan Tuhan —dengan berjanji akan lebih banyak berpuasa, lebih sering membaca Kitab Suci, dan apa pun yang diperlukan agar saya bisa hamil. Secara akal budi, saya tahu ini bukanlah tujuan berpuasa, tetapi sebagian diri saya berharap ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk melancarkan terjadinya intervensi, atau setidaknya sebuah jawaban. Sekarang, jika saya menoleh ke belakang, saat saya berbaring malam-malam untuk menidurkan anak saya, saya melihat sebuah pola. Pengalaman mendambakan (dan menantikan) kehamilan ini adalah satu dari sekian banyak kali saya berusaha mengubah latihan-latihan rohani yang dimaksudkan untuk pertumbuhan menjadi menuntut Tuhan untuk bertindak menuruti rencana-rencana saya.

Mengapa Berpuasa?

Tak heran jika ketika pertama kali Yesus berbicara tentang puasa di Perjanjian Baru, Dia tidak memberikan jadwal waktu tertentu atau daftar makanan yang harus dihindari kepada para pengikut-Nya; Dia lebih memperhatikan motivasi mereka (Matius 6:16-18). Ketika kita berpuasa, hal itu bukan karena Tuhan tidak ingin kita makan, atau Dia ingin kita menderita. Puasa itu dimaksudkan untuk menjadi bagian dari pengejaran kita akan kebenaran dan menolong kita memiliki fokus tunggal pada kerajaan Tuhan – dan memusatkan kembali hidup kita di sekitar Dia, yang lebih berarti dari segala hal lain. Seperti halnya pada nabiah Hana, berpuasa harus menjadi bagian dari ibadah/penyembahan kita (Lukas 2:37).

Pertama kali Tuhan memanggil untuk berpuasa, Dia memerintahkan Adam dan Hawa untuk tidak memakan buah dari pohon tertentu (Kejadian 2:16-17). Itu bukan karena pohon itu buruk – tidak ada yang buruk di Taman Eden (Kejadian 1:31) – tetapi karena buah itu dimaksudkan hanya untuk dimakan pada waktu dan dengan cara yang tepat. Demikian pula, dalam kehidupan kita sendiri, “hidup yang tanpa…” bertujuan untuk membantu kita mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dengan menikmati hal-hal yang diciptakan pada waktu dan dengan cara yang Tuhan maksudkan.

Juru Selamat datang untuk memutarbalik akibat ketidaktaatan manusia pertama – menjadi “kebangkitan dan hidup” bagi semua orang yang percaya pada-Nya (Yohanes 11:25). Ketika Yesus berpuasa di padang gurun di awal pelayanan-Nya, Kristus memilih untuk mengosongkan diri-Nya bagi kepenuhan dunia. Dalam kisah itu, kita melihat ada persamaan-persamaan yang menarik dengan kisah di kitab Kejadian: Hawa dicobai dan kalah/terpedaya oleh ular, tetapi Yesus – yang dicobai oleh Iblis – setia dan menang (lihat Kejadian 3 dan Lukas 4).

Beberapa Pedoman

Puasa paling baik dilakukan dalam pengejaran akan Allah yang penuh doa (dan idealnya dengan dukungan dan akuntabilitas dari seorang mentor yang bijaksana). Seperti disampaikan ahli gizi Julie Brake, “Puasa dalam Alkitab dilakukan untuk tujuan berdoa yang intens, seperti yang dilakukan Ester sebelum ia mengajukan permohonan kepada raja, atau [Yesus] sebelum dicobai Iblis. Budaya kita saat ini memakai puasa sebagai pembersihan diri atau yang lainnya, tetapi itu bukan yang diajarkan Alkitab.”

Dan meskipun puasa merupakan latihan rohani, puasa itu dilakukan dengan dan pada tubuh kita. Brake menegaskan bahwa penatalayanan yang baik atas kesehatan kita termasuk menjauhi perilaku-perilaku yang secara intensional akan membahayakan kita. “Secara nutrisi, tidaklah aman untuk berpuasa jika Anda memerlukan nutrisi secara terus-menerus,” katanya. Sepanjang sejarah, gereja sudah membuat pengecualian-pengecualian yang jelas tentang puasa untuk orang-orang yang tidak dapat melakukannya karena akan membahayakan – seperti pada anak kecil, orang berusia lanjut, wanita hamil atau ibu-ibu menyusui, dan orang-orang dengan penyakit diabetes atau situasi-situasi medis lainnya. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial-religius dapat berperan memperburuk atau memicu masalah-masalah gangguan makan, meski berbeda-beda pada tiap orang. Jika Anda memiliki masalah atau pertanyaan, Anda perlu berbicara dengan dokter Anda.

Bagi orang yang dapat berpuasa dengan aman, Brake memberikan dua nasihat. Pertama, perjelas alasan berpuasa. Dan kedua, tetapkan rencana untuk berapa lama puasa akan dilakukan, makanan apa yang akan tercakup, dan bagaimana buka puasanya. Idealnya, disiplin ini akan diakhiri dengan semacam perayaan, tetapi yang terukur dan disesuaikan dengan perjalanan rohani yang baru saja diselesaikan.

Meskipun tampaknya mungkin sudah jelas, kita perlu mengingatkan diri sendiri selama berpuasa bahwa tujuannya bukanlah untuk menunjukkan kekuatan niat, meningkatkan kesehatan, atau mengubah fisik kita. Kita berpuasa agar dapat menjadi lebih dekat dengan Tuhan.

Ingatlah bahwa berpantang makanan bukanlah syarat puasa rohani – Anda dapat melepaskan hal-hal lain untuk dapat memberi tempat yang lebih bagi Tuhan. Tetapi jika Anda ingin berpantang dari makanan, mulailah dari hal kecil – mungkin dengan menghindari makanan tertentu seperti daging atau susu, atau dengan makan hanya sekali atau dua kali selama 24 jam. Kebijakan tradisi Kristen tentang topik ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Berpuasalah yang Anda bisa, bukan yang Anda tidak bisa.

Ketika saya bergumul untuk bisa hamil, saya berpuasa karena saya ingin Tuhan melakukan segala sesuatu dengan cara saya. Saya, secara tidak perlu, telah menghukum diri saya sendiri karena memiliki tubuh yang lemah — karena tidak dapat bergantung pada diri sendiri sebagaimana yang dikatakan oleh budaya kami. Saya telah melupakan hal yang penting, bahwa: Berpuasa dimaksudkan untuk mengingatkan kita tentang kebergantungan kita sepenuhnya pada Tuhan – untuk menolong kita menerima kelemahan kita, agar kita hanya bermegah dalam kekuatan Tuhan, yang mengasihi kita lebih dari semua cara mengasihi yang kita kenal.