Saat Kita Tersesat – Selama 40 Tahun
(Chad Thomas Johnston)
Mudah sekali menghakimi bangsa Israel yang menghabiskan waktu empat dasawarsa di padang gurun. Padahal mungkin ada yang lebih parah dari itu.
Ketika masih kecil, saya sering pergi belanja bersama ibu saya dan tersesat dalam perjalanan kami ke sana. Dengan mobil Plymouth Champ dua pintu yang mungil, kami akan mencari sebuah toko kelontong di Blue Springs, Missouri, hampir seperti Pelancong Penakhluk dari Spanyol mencari El Dorado. Kemudian, setelah menjadi orang dewasa, saya bisa mengerti bagaimana rasanya tersesat di jalan selama 40 menit di era sebelum ada GPS. Namun, sebelum saya membaca Alkitab secara keseluruhan, saya tidak bisa mengerti bagaimana mungkin bangsa Israel sampai mengembara di padang gurun selama 40 tahun sebelum akhirnya mereka menemukan Tanah Perjanjian.
Ketika saya membaca Bilangan 14, saya tahu bahwa bangsa Israel berputar-putar di padang gurun selama empat dasawarsa bukan karena mereka memiliki – hemm… – keterampilan menjelajah seperti ibu saya, tetapi karena Allah memang membuat mereka seperti itu sebagai hukuman atas ketidakpercayaan dan pemberontakan mereka. Di dalam Bilangan 14:29, Tuhan berkata, “Di padang gurun ini bangkai-bangkaimu akan berhantaran, yakni semua orang di antara kamu yang dicatat, semua tanpa terkecuali yang berumur dua puluh tahun ke atas, karena kamu telah bersungut-sungut kepada-Ku.”
Namun, bisakah bangsa Israel menghabiskan waktu 40 tahun itu bukan dengan mengembara, tetapi dengan menunggu saja sampai orang-orang yang bersalah karena telah bersungut-sungut itu mati? Kalimat yang suram ini sulit dikenakan pada Allah yang disebut “pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setia-Nya” (Mazmur 145:8).
Lebih dari apa pun, saya sulit menerima bahwa orang-orang yang tidak bersalah di antara bangsa Israel harus ikut juga menanggung hukuman itu. Mengapa mereka juga harus dipaksa mengembara tak tentu arah selama 40 tahun, menunggu penggerutu terakhir mati di padang gurun, sebelum mereka bisa masuk ke Tanah Perjanjian? Sebetulnya Allah tidak perlu sekeras itu terhadap bangsa Israel, pikir saya. Apakah Dia benar-benar mengharapkan mereka percaya pada-Nya secara mutlak setelah Dia membiarkan bangsa Mesir memperbudak mereka selama 400 tahun?
Tetapi bangsa Israel memiliki semua alasan untuk memercayai Pencipta mereka. Di dalam Bilangan 14:11 Allah mengeluh, “Berapa lama lagi bangsa ini menista Aku, dan berapa lama lagi mereka tidak mau percaya kepada-Ku, sekalipun sudah ada segala tanda mujizat yang Kulakukan di tengah-tengah mereka!” Maksud saya, bagaimana mungkin mereka tidak memercayai Dia setelah Dia membelah Laut Merah dengan begitu mudahnya seperti tukang cukur membelah rambut seseorang?
Saya juga mulai melihat pendar kasih karunia di perikop ini, setelah sebelumnya yang saya lihat hanyalah penguasa yang kejam. Sekalipun Allah melarang orang-orang yang bersalah itu melihat Tanah Perjanjian, Dia tidak pernah membuang orang-orang tidak percaya itu dari kawanan-Nya – Dia tetap bersama para pemberontak itu sampai akhir.
Tetapi kemudian ada masalah dengan waktu 40 tahun itu. Usia saya sekarang 38 tahun, jadi saya hampir memiIiki acuan pengalaman tentang lamanya waktu pengembaraan bangsa Israel itu. Bagaimana rasanya menjalani hidup tanpa tujuan selama empat dasawarsa?
Orang-orang yang tidak bersalah di antara mereka – yang berharap Tangan yang membelah Laut Merah menyediakan tempat bagi mereka – mungkin memandang setiap hari baru sebagai kelanjutan dari relasi perjanjian mereka dengan Allah. Mungkin mereka berhubungan dengan Yahweh seperti pasangan suami istri dalam pernikahan yang sehat, yang memilih tetap saling mengasihi meski menghadapi berbagai kesukaran.
Meskipun bangsa Israel menderita setiap hari selama 40 tahun, saya kira pandangan Allah tentang penderitaan sangat berbeda dengan pandangan kita. Renungkanlah Yesaya 48:10: “Aku telah menguji engkau dalam dapur kesengsaraan.” Pandangan bahwa penderitaan bisa jadi ada maksudnya – bahkan merupakan bagian dari rencana Allah – jelas bertentangan dengan kecenderungan kita yang menganggap penderitaan sebagai hal yang harus disingkirkan daripada dialami. Meskipun demikian, saya bertanya-tanya apakah Allah memang memakai waktu 40 tahun itu sebagai dapur ujian untuk memurnikan umat-Nya.
Saya juga bertanya-tanya apakah Allah bermaksud memakai waktu 40 tahun itu sebagai masa penangguhan hukuman bagi para pemberontah yang tidak akan pernah melihat Tanah Perjanjian itu. Allah bisa saja langsung menghapuskan orang-orang yang bersungut-sungut itu dari muka bumi, tetapi Dia membiarkan mereka tetap hidup sampai akhir hayatnya – sebuah tindakan kemurahan yang juga bisa dianggap keliru sebagai kekejaman dunia.
Ketika saya menulis bagian ini, saya akan mengajak putri saya yang berumur 5 tahun pergi belanja – dan berkat ada GPS, kami jarang tersesat. Saya bertanya-tanya apa yang akan dilakukan putri saya kelak dengan ayat-ayat Alkitab yang lebih membingungkan. Tidak pernah ada suara mengejutkan dari surga yang akan berkata padanya – atau saya, bahwa – “Kamu sudah sampai di tujuan” dalam hal memahami isi Alkitab tertentu. Lebih dari apa pun, saya ingin mengajarkan padanya bahwa ia bisa berharap mengembara seumur hidup dalam Firman Tuhan. Tetapi perjalanan itu akan menjadi suatu petualangan yang akan dijalaninya bersama Allah sendiri.