Saya Tidak Memiliki “Anting” (Dan Kebenaran Lainnya)

(Joseph E. Miller)

Melepaskan kebutuhan untuk selalu benar

Dalam hal yang berkaitan dengan kenangan-kenangan masa kecil dalam keluarga, saya harus memastikan agar istri saya tidak bergabung dengan “tim lain” yang terdiri dari ibu dan saudara perempuan saya. Mereka berdua selalu mengingat hal-hal yang tidak saya ingat – sedemikian rupa sampai “mengingat waktu itu” menjadi lelucon keluarga. Sebagai contoh, belum lama ini mereka berkata pada saya, “Kamu itu dulu orang yang sangat gotik (mistis, misterius),” padahal faktanya saya hanya memiliki satu baju hitam!

Dari semua kenangan sumbang yang mereka tujukan pada saya, ada satu yang paling saya tentang dengan keras: yaitu bahwa saya, sebagai anak di era tahun 80-an, memiliki anting. Tidak mungkin, bagaimana mungkin.

Ada satu fakta yang kami semua setuju—bahwa saya punya “rattail.” (Bagi yang belum tahu, “rattail” atau “buntut udang” adalah seuntai rambut panjang yang tumbuh dari tengkuk). Ibu saya suka sekali dengan aksesori yang tak biasa itu; ia pikir itu hal yang paling elok di dunia. Baru-baru ini istri saya menemukan foto saya ketika saya berusia 8 tahun, dan memang betul, bulu tengkuk yang indah dan lebat menghiasi belakang leher saya. Saya bahkan mengirim foto itu ke sekelompok teman untuk menunjukkan bahwa terlepas dari seperti apa saya sekarang ini,  di tahun 80-an saya ini “keren.” Namun ketika saya melihatnya dari komputer saya, saya menemukan sesuatu dan memperbesarnya. Empat piksel emas aneh tampak di bagian belakang telinga saya.

Ya emas. Di kulit saya yang pucat. Bagian belakang anting.

Ketika saya mengakui penemuan saya kepada ibu dan saudara perempuan saya, mereka berdua langsung tertawa terpingkal-pingkal. Saya pada akhirnya mengakui, bahwa saya telah berbuat salah selama tiga dasawarsa ini. Bersyukur, mereka tidak terlalu mempermasalahkannya.

Meskipun ini hanya cerita ringan, saya harus akui bahwa saya berjuang keras untuk berpikir bahwa saya selalu benar.  Mengherankan juga mengapa saya tidak pernah mengikuti acara debat atau mempertimbangkan untuk masuk sekolah hukum karena saya suka berdebat. (Hmm, saya suka memenangkan argumen). Saya sering begitu yakin dengan pendapat saya sampai saya tak mau mengalah sedikit pun. Saya pikir, saya sudah menghabiskan banyak waktu untuk sampai pada kesimpulan ini, melihat dari berbagai sisi, dan ini sepertinya jawaban yang benar. Tuhan memberkati istri saya yang luar biasa yang sudah bertahan dengan keadaan ini selama 13 tahun.

Baru-baru ini saya menemukan tulisan Dr. Stanley, The Most Unappreciated Virtue (Kebajikan yang paling tidak dihargai) yang agak membuka hati dan pikiran saya. Tulisan itu berbunyi:

“Yang Tuhan kehendaki dari kita adalah kerendahan hati. Tuhan sudah menunjukkan sikap yang perlu kita miliki jika kita ingin setia mengikut Dia. Terlalu sering kita berfokus pada yang kita inginkan – perlindungan, pemeliharaan, petunjuk, kasih, jaminan, dan berkat-berkat – yang semuanya baik, tetapi Dia ingin mengembangkan kerendahan hati yang seperti Kristus di dalam diri kita. Ini berarti kita harus melakukan evaluasi-diri yang jujur dan meminta Dia menunjukkan di mana kesombongan kita. Kita mungkin akan menemukan hal-hal tentang diri kita yang tidak kita sukai, tetapi Dia yang mengungkapkan hal-hal itu pada kita juga berkuasa untuk mengubah kita.”

Pemikiran itu tidak menyenangkan, tetapi saya harus bertanya pada diri saya sendiri, Apakah kebutuhan saya untuk selalu benar berasal dari suatu kesombongan? Dengan kata lain, Dapatkah saya benar-benar sekeras kepala ini dan hidup dalam kerendahan hati yang dikehendaki Tuhan —bukankah orang yang rendah hati akan berpikir, Barangkali saya salah?

Akhir-akhir ini, saya berusaha melakukan evaluasi-diri ini. Di satu sisi, saya kira keinginan saya untuk benar terkait dengan keterbebanan saya akan kebenaran dan keadilan. Tetapi saya juga mau terbuka untuk menyelesaikan hal-hal di mana kebutuhan saya untuk selalu benar bisa jadi merupakan kesombongan tersembunyi. Kerendahan hati seperti Yesus adalah sikap yang ingin saya hidupi. Jika dipikir-pikir, seringnya Yesus berdebat dengan orang-orang Farisi adalah karena menentang kesombongan mereka. Yesus tahu keadaan hati mereka bahkan sebelum Dia berkata-kata. Namun dengan datang pada Yesus malam-malam, yang menunjukkan dirinya terbuka terhadap pengajaran Yesus, Nikodemus sedang menunjukkan kerendahan hati tertentu. Dan Yesus berbicara lembut dengannya.

Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya sudah mendapat pewahyuan hebat bahwa kesombongan bisa menghalangi tergenapinya kehendak Tuhan dalam hidup saya. Tetapi saya terbuka. Setidaknya, saya lebih terbuka dengan keluarga saya sekarang ini daripada sebelum saya memperbesar foto yang sudah lama hilang.