Tanggapan Ganda: Integritas
(C. Lawrence, Aline Mello)
Nilai diri yang utuh
Setiap bulan ada dua penulis yang akan menanggapi kutipan artikel Dr. Stanley. Bulan ini kita akan membahas tentang integritas, dan bagaimana hidup kita dalam Kristus bukan sekadar tentang melakukan yang benar. Berikut ini adalah kutipan dari artikel Dr. Stanley “The Undivided Self,” dengan tanggapan dari Aline Mello dan C. Lawrence. “Dalam bahasa Ibrani, kata yang diterjemahkan sebagai ‘berintegritas’ berarti ‘lengkap, suci, utuh, sehat, polos, lurus’ dan juga termasuk jujur dan tulus. Meskipun kita biasanya menganggap integritas hanya sebagai moral dalam kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu, kata ini ternyata mengandung arti yang jauh lebih dalam. Menjadi diri yang utuh. Dengan kata lain, siapa kita yang tampak di luar di mata orang lain sama dengan siapa kita yang sebenarnya di dalam diri kita yang paling dalam.”
Tanggapan 1 oleh Aline Mello
Ketika saya bertumbuh dewasa, saya mengikatkan identitas saya pada berbagai hal eksternal —keluarga, angka-angka, dan segala penghargaan yang bisa saya capai. Hal-hal ini adalah pelabuhan yang aman bagi saya, mendefinisikan saya dengan cara yang tak perlu saya perjuangkan. Dan semua hal itu tidak buruk. Angka-angka saya yang tinggi adalah hal yang positif, dan dekat dengan keluarga adalah hal yang baik. Bernyanyi membuat saya memenangkan beasiswa untuk kuliah; tulisan saya membuat saya menerima penghargaan-penghargaan. Hal-hal itu membentuk saya menjadi seseorang, dan saya senang dengan semua itu. Namun ketika saya meninggalkan bangku sekolah (termasuk di dalamnya kelompok-kelompok tertentu yang sudah mendefinisikan saya), saya mulai menyadari bahwa saya tidak tahu siapa saya. Hal ini tampak sangat jelas pada hari ulang tahun saya, ketika saya harus memilih kelompok teman yang mana yang akan diundang ke pesta itu. Apakah teman-teman gereja? Teman-teman sekolah? Teman-teman kegiatan sukarela? Saya orang yang berbeda di dalam tiap kelompok itu, dan jika mereka semua bersama-sama, saya pasti akan merasa malfungsi.
Saya kira yang dikatakan Dr. Stanley tentang integritas bisa membantu saya dalam kesulitan saya. Siapa saya ketika saya sendirian? Apa yang akan terjadi pada rasa diri saya jika keluarga atau komunitas saya tidak ada? Dan apa yang akan terjadi jika saya melepas semua topeng? Barangkali, dengan tidak terikat, saya akan menjadi utuh. Inilah yang saya coba lakukan sejak di awal usia 20-an. Saya memutuskan untuk sepenuhnya menjadi diri saya sendiri, melakukan apa saja yang terasa benar—bahkan jika hal itu tidak terasa sepenuhnya benar—dalam segala situasi. Saya mulai mengucapkan nama saudara perempuan saya dalam bahasa Portugis, seperti yang selalu kami lakukan, meskipun sedang berbahasa Inggris. Saya melakukan hal yang sama untuk ibu saya, dan memanggilnya Mamãe di depan orang lain, seperti yang saya lakukan ketika kami berada di ruang pribadi. Saat wawancara kerja, saya adalah diri saya sepenuhnya, bukan versi yang lebih profesional dan lebih menarik yang saya pikir ingin dilihat oleh tim perekrutan. Perlahan-lahan, hal itu menjadi lebih alami, meskipun kadang masih merupakan hal yang saya usahakan. Sekarang saya bisa akui bahwa cara saya dulu membatasi diri dengan definisi-definisi eksternal adalah hal yang saya pikir akan membuat saya tetap aman. Tetapi sekarang hal itu sudah tidak cocok lagi. Dan selama dasawarsa terakhir, saya memang belum menjadi orang baru. Tetapi, semua versi diri saya mulai menyatu. Saya sedang menjadi orang yang benar-benar baru, yang penekanannya pada keutuhan.
Tanggapan 2 oleh C. Lawrence
Saya telah menghabiskan banyak waktu di dalam gereja—dari sekolah Alkitab liburan, acara-acara perkemahan remaja hingga ibadah Minggu dan retret-retret pemuridan orang dewasa. Dan melalui semua pengalaman ini, diskusi-diskusi tentang integritas cenderung mengarah ke hal yang sama: Jangan lakukan apa pun di ruang pribadi yang tidak akan Anda lakukan di depan publik, dan demikian juga sebaliknya. Meskipun perumusan itu ada benarnya, saya lebih menghargai cara Dr. Stanley yang mendorong kita memahami integritas tidak hanya sebatas moralitas. Ini bukan berarti ia menyangkal—karakter moral yang kuat, imajinasi, dan latihan adalah aspek-aspek integritas yang mendasar. Masalahnya adalah, moralitas saja tidak cukup. Moralitas saja tidak akan bertahan lama—dan terlalu kecil untuk menolong kita menjadi orang yang Tuhan rancangkan untuk kita. Kita bahkan bisa mengatakan bahwa perilaku moral hanyalah bukti dari menjadi utuh sebagai pribadi, bukan substansi.
Dengan demikian, menjadi orang yang berintegritas pada dasarnya bukan tentang perilaku tetapi tentang cara menjadi: Pikiran dan tindakan kita semuanya muncul dari pemahaman apa pun yang kita miliki tentang siapa kita, mengapa kita ada, dan apa artinya hal-hal ini untuk kita bergerak di dunia ini. Pada akhirnya, bagi orang Kristen, berbuat dosa bukan sekadar “melakukan hal buruk” melainkan gagal menjadi diri sendiri—yaitu, anak Bapa yang terkasih, penyandang gambar ilahi yang menjadi terang, tangan dan kaki Kristus di bumi. Seperti yang dituliskan rasul Paulus kepada jemaat di Kolose, “Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Tuhan” (Kolose 3:1-3). Tersembunyi bersama Kristus di dalam Tuhan—kata-kata yang mendalam dan misterius ini adalah cara yang memperbaiki sikap saya; yang memberikan pertolongan di setiap pencobaan yang saya rasakan dalam membangun identitas diri saya di luar hal-hal dunia ini. Mungkin Anda bisa mengerti.
Dr. Stanley berkata bahwa menjalani hidup yang berintegritas berarti “menjadi orang yang penuh dan utuh. Dengan kata lain, siapa kita di luar di mata orang lain sama dengan siapa kita sebenarnya di dalam diri kita yang paling dalam.” Tetapi untuk mengetahui dengan tepat apa artinya ini diperlukan perjalanan panjang dan sulit—perjalanan yang harus kita lakukan bersama Roh Kudus dan rekan-rekan seperjalanan yang secara nyata menunjukkan kasih Kristus pada kita. Karena pada kenyataannya, banyak dari kita sering merasa seperti sedang menjalani hidup yang tersandung-sandung di medan yang remang-remang, di mana mudah untuk berpikir bahwa lampu paling terang ada di belakang kita, di masa lalu, bukan di depan. Terkadang kita mungkin merasa sangat tersesat, bahkan seperti sedang berjalan menuju malam yang tak berujung. Ini adalah perjalanan yang sulit, yang akan menjadi semakin menyusahkan dengan adanya desakan untuk menunjukkan identitas diri. Kita melapisi diri demi diri kita seperti melapisi kostum. Kita memakainya, satu demi satu, sampai kita tak bisa lagi mengingat siapa diri yang sebenarnya yang ada di dalamnya.
Jalan yang lebih baik untuk menjadi diri kita yang sebenarnya tidak lain adalah jalan pertobatan—jalan yang harus kita tapaki sepanjang hidup kita. Ini adalah satu-satunya cara mengatasi jenis delusi yang mengatakan bahwa kita tidak diciptakan menurut gambar Sang Pencipta tetapi untuk “menciptakan” diri kita sendiri. Diri yang sejati ada di bawah setiap lapisan ego dan kebanggaan, di bawah setiap kekhawatiran, ketakutan dan keinginan untuk diakui dunia. Patut diingat juga bahwa pertobatan adalah cara hidup kembali kepada Tuhan, bukan menyalahkan diri sendiri. Sebuah keputusan untuk terus maju—apa pun yang terjadi—menuju cahaya terang cinta Tuhan yang mengubah hidup.