Tanggapan Ganda: Mendengarkan
(Renee Oglesby, John VandenOever)
Kita bisa melayani orang lain paling baik ketika kita membiarkan mereka berbicara dari hati.
Setiap bulan kami meminta dua orang penulis untuk menanggapi kutipan dari tulisan Dr. Stanley. Bulan ini kami belajar tentang bagaimana cara yang paling baik dalam menyikapi kesulitan orang lain – dan bagaimana cara yang paling menolong justru kurang diperhatikan. Berikut adalah kutipan dari buku Dr. Stanley yang berjudul Surviving in an Angry World, dengan tanggapan dari Renee Oglesby dan John VandenOever:
“Dalam banyak kasus, kemarahan seseorang tidak ada hubungannya dengan perkataan atau perbuatan Anda. Ia bereaksi karena merasa kecewa, tertekan, tidak aman, cemburu, lelah atau hal lainnya yang sama sekali tidak berkaitan dengan interaksinya dengan Anda. Bukan hal aneh jika seseorang menjadi marah ketika dirinya menjadi terlalu lapar, terlalu kesepian, atau terlalu lelah.
Pada tahun-tahun awal saya menjadi pendeta, saat saya harus mendengarkan cerita orang lain, saya hampir tidak memiIiki kesabaran seperti sekarang ini. Saya berpikir – seperti halnya banyak orang lain, dan tentu saja banyak pendeta juga – saya harus menjadi penyelesai masalah. Setiap kali seseorang mulai menceritakan kebutuhan atau persoalannya pada saya, saya ingin cepat-cepat memberikan solusi, apalagi jika saya melihat jawabannya jelas-jelas berkaitan dengan kebenaran Kitab Suci. Saya tidak menyadari pentingnya membiarkan orang itu menceritakan seluruh kisahnya. Tetapi sekarang saya tahu betapa sangat bermanfaat jika mereka dibiarkan menceritakan kisah mereka seluruhnya. Saya juga mendapatkan manfaat dengan mengetahui bahwa Tuhan sudah, sedang dan akan bekerja dalam hidup seseorang.
Ketika saya masih kecil, ibu saya sering berkata, ‘Ceritakanlah apa yang kamu mau Ibu tahu.’ Ibu saya tak pernah memaksa saya untuk mengatakan yang ingin ia dengar… Ibu saya membiarkan saya mengatakan dengan tepat apa yang saya ingin katakan pada waktu saya sendiri. Dan tentu saja, saya akhirnya akan menceritakan semuanya kepadanya. Saya merasa cara ibu saya itu sangat bijak dalam berbagai relasi.”
Tanggapan 1 oleh Renee Oglesby
Selama bertahun-tahun pekerjaan saya yang tidak biasa adalah membaca surat-surat dan membalasnya dengan sebanyak mungkin nasihat yang berdasarkan Alkitab. Surat-surat itu seringkali sampai berlembar-lembar, yang menuntut kesabaran dan kejelasan – atau beberapa surat elektronik yang ditulis dengan huruf berukuran kecil, dengan spasi dan tanda baca yang kecil juga – yang menunjukkan banyak sekali rincian kehidupan yang menyakitkan dan rumit.
Seorang wanita menulis dengan sangat putus asa tentang suaminya yang kejam. Strategi yang ia gunakan untuk mengalihkan perhatian suaminya dari anak-anak mereka yang masih kecil – supaya frustasi suaminya hanya ditujukan kepadanya – benar-benar memilukan.
Seorang pria lanjut usia menulis bahwa ia sangat berduka atas kematian mendadak istrinya yang berusia 65 tahun. Puluhan tahun bersama-sama membuatnya tidak siap untuk menghadapi tantangan hidup sehari-hari sendirian, dan ia merasa benar-benar kewalahan bahkan untuk mengambil keputusan-keputusan paling sepele sekalipun. Pakaian apa yang harus dikenakan, bagaimana menyiapkan makanan, bagaimana harus menyibukkan diri, semuanya tampak di luar kemampuannya untuk menjalaninya.
Beberapa narapidana menulis hanya untuk memperdebatkan kasus kejahatan mereka, tetapi yang lainnya menyatakan bahwa penjara telah mendapatkan perhatian penuh mereka melebihi segala hal lainnya. Dikelilingi setiap saat oleh konsekuensi-konsekuensi dosa, beberapa orang mulai memahami pengampunan atau merasa perlu untuk menerimanya. Benang merahnya adalah para penulis itu merasa mereka tidak memiliki siapa-siapa untuk diajak bicara tentang masalah mereka, dan mengirimkan kata-kata lewat kertas atau layar tampaknya merupakan satu-satunya kesempatan untuk mereka didengarkan. Bukankah kita semua juga bisa merasa terjebak dalam situasi-situasi yang membuat kita tak berdaya untuk berubah—ketika Bapa surgawi dan semua orang yang kita kasihi atau percayai, terasa begitu jauh?
Namun ada perbedaan antara merasa jauh dan benar-benar jauh. Berikut ini adalah salah satu cara untuk memikirkannya: Galatia 6:2 mengatakan bahwa hukum Kristus dipenuhi ketika kita saling bertolong-tolongan menanggung beban orang lain. Sekarang pikirkanlah bahwa secara statistik, kemungkinan ada orang di lingkungan sekitar kita yang telah mengalami suatu pelecehan. Dan pasti juga ada orang-orang yang menjadi janda/duda di gereja dan lingkungan sekitar kita—yang kebutuhan-kebutuhannya, menurut Yakobus 1:27, kita dipanggil untuk memenuhinya. Dan meskipun kita mungkin tidak mengenal secara pribadi orang yang dipenjarakan, kita mungkin juga harus mengingat mereka seperti nasihat Ibrani 13:3, karena kita sendiri juga adalah orang hukuman? Banyak orang memiliki pergumulan yang lebih berat dan jauh lebih rumit daripada yang terlihat dari luar. Dan bagi kita yang saat ini tidak terkena (masalah), saat untuk menjadi terlalu lapar, terlalu marah, terlalu kesepian, atau terlalu lelah mungkin hanya masalah menunggu waktu saja. Bagaimanapun, perlu diingat bahwa kesepian dan ketidakberdayaan adalah dua perasaan yang wajar pada saat-saat sulit. Itulah sebabnya Yesus meyakinkan kita, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau, dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani 13:5). Mungkin Dia berharap dapat menjangkau seseorang—melalui tangan Anda yang terulur dan pendampingan yang tenang dari telinga Anda yang mendengarkan.
Tanggapan 2 oleh John VandenOever
Bertahun-tahun yang lalu, saya memiliki rekan sepelayanan di kelas Sekolah Minggu yang sama di gereja saya. Saya memiliki kedudukan yang menonjol di kedua bidang pelayanan itu dan, terus terang, saya terlalu mengandalkan kemampuan-kemampuan saya sendiri daripada kasih karunia Tuhan. Rekan saya ini berani menunjukkan kesombongan saya dan kekurang persiapan saya. Meskipun tidak mudah untuk mendengarnya, Tuhan dengan kebaikan hati-Nya menenangkan saya pada saat itu sehingga saya dapat mendengarkan dan melihat hal-hal yang perlu diubah. Beberapa waktu kemudian, saya bekerja di sebuah organisasi yang pihak manajemennya membuat serangkaian keputusan yang memberatkan salah satu kolega saya. Hal itu membuatnya merasa tidak didengar dan sakit hati. Meskipun saya tidak dapat berbuat apa-apa, saya pergi ke kantornya dan duduk bersamanya. Dengan segera menjadi jelas bahwa yang paling ia butuhkan adalah seorang teman yang mau mendengarkan kegelisahan-kegelisahannya dan harapannya yang pudar. Pada akhirnya, keadaan kolega saya itu membaik, bukan karena hikmat dan kebijaksanaan saya dalam memecahkan masalah. Dengan menundukan diri kepada Tuhan, ia akhirnya juga dapat menunjukkan sikap tunduk di tempat kerja dengan cara yang menghormati atasannya.
Sekarang saya sudah menjadi orang tua dengan anak-anak yang beranjak dewasa. Dan nasihat Dr. Stanley agar mendengarkan yang orang lain ingin Anda ketahui—bukan yang ingin Anda dengar—terbukti merupakan nasihat terbaik dalam menjaga kepercayaan dan harga diri keluarga saya. Saya bersyukur atas kasih karunia dan damai sejahtera Tuhan yang telah menolong saya melalui begitu banyak kekecewaan sehingga saya dapat mengasihi orang lain sebagaimana Dia telah mendengarkan dan mengasihi saya melalui semua itu. Konflik, kekecewaan, frustrasi, dan stres ada di sekitar kita setiap waktu. Tetapi sebagai orang percaya, kita memiliki kuasa dari Roh Kudus untuk mencegah kehancuran dan mengejar kesalehan melalui kebaikan, kesabaran, dan kasih. Tanpa hal-hal ini, kita akan dengan mudah dan cenderung menyerah pada setiap kekecewaan. Seperti dituliskan oleh Petrus, “Kiranya anugerah dan damai sejahtera melimpah bagimu di dalam pengenalan akan Allah dan Yesus, Tuhan kita. Kuasa-Nya yang ilahi telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berkenaan dengan hidup dan kesalehan” (2 Petrus 1:2-3).