Tata Bahasa Iman
(Jen Pollock Michel)
Apa yang dapat kita pelajari dari kata sederhana “with”(bersama)
Ketika saya memasuki usia 20-an, saya dipekerjakan untuk mengajar bahasa Prancis di sebuah sekolah lanjutan di Pantai Utara Chicago. Saya lalu belajar untuk menemukan cara-cara agar dapat membuat pelajaran tatabahasa menjadi menarik – bahkan untuk materi yang membuat orang mengantuk seperti tentang preposisi, yang saya ajarkan dengan menaruhboneka landakdi kelas dan meminta para siswa menjelaskan posisinya. Para siswa mulai mengerti bahwa preposisi bukanlah jenis kata yang menunjukkan tindakan (itu adalah kata kerja), bukan pula jenis kata yang menyebutkan tentang orang, tempat dan benda (ini adalah kata benda). Tetapi preposisi adalah jenis kata yang menunjukkan hubungan atau posisi. Di dalam, di samping, di belakang.Hal ini lalu membuat saya bertanya-tanya, Seberapa banyak dari hidup kita bersama Tuhan dapat dipahami berdasarkan preposisi-preposisi? Mungkin bukan pemikiran yang lazim, bahwa mempelajari tatabahasa dapat membuat kita memahami tentang puisi dan prosa iman. Namun sebagaimana yang saya temukan, memahami kata-kata sederhana justru dapat membuat perbedaan besar.
Preposisi-preposisi Iman
Di dalam Alkitab, semua jenis preposisi atau kata depan menunjukkan tentang posisi-posisi kita saat berelasi dengan Tuhan. Ketika saya baru menjadi orang percaya, preposisi dari adalah kata depan yang mendominasi pemahaman saya tentang kehidupan Kristen. Di usia 16 tahun, ketika bertemu dengan Kristus yang bangkit, saya memahami – minimal sebagian – tentang kasih karunia Tuhan yang tidak terkira. Saya diselamatkan dari kenistaan dan hukuman dosa dan juga (menurut perkataan rasul Paulus di Roma 5:9) “dari murka Tuhan.” Keselamatan dapat dilihat paling jelas melalui cermin yang menghadap ke belakang, yang menunjukkan semua yang menghilang dari pandangan.
Pada waktunya, dari melihat ke belakang atau hal-hal yang telah lalu ini, kita akan terarah kepada urgensi untuk dan kewajiban-kewajibannya yang mendesak saat ini. Seperti dijelaskan Paulus di Titus 2:14, Tuhan sudah mengaruniakan Kristus “untuk membebaskan kita dari segala kejahatan,”tetapi ini bukanlah akhir cerita. Tidak, dari barulah suatu permulaan. Tuhan bukan saja benar-benar sudah menyelamatkan saya dari dosa, tetapi Dia juga menyelamatkan saya untuk tujuan-tujuan-Nya yang baik, agar saya menjadi bagian dari “suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik.” Untukadalah kata yang menunjukkan cita-cita ilahi untuk memasukkan tangan saya ke dalam bajak kerajaan Tuhan dan mendorong dengan kekuatan besar. Untukadalah preposisi yang memanggil saya untuk menunjukkan rasa syukur saya atas kasih karunia Tuhan dan kejutannya yang tak terduga. Jika dari membuat saya menjadi penerima sesuatu dari Tuhan, untuk menjadikan saya seorang pemberi.
Namun beberapa tahun kemudian, untuk juga akan menghadapi batasnya sendiri, terutama ketika beban-beban mesianisnya terlalu berat di bahu saya. Saya tidak cukup bijak, cukup setia, cukup kuat untuk melakukan semua kebaikan yang saya cita-citakan. Tangan saya tidak dapat menjangkau seluruh dunia untuk menahan perdarahannya. Untuk adalah kata tentang aspirasi kerajaan yang penting, tetapi saya masih membutuhkan tatabahasa iman yang lebih lengkap, yang dapat mencakup jangkauan kabar baik Injil yang lebih luas – bahkan (dan mungkin terutama) visi tentang kehidupan dunia yang akan datang.
Akhirnya, saya sampai pada janji dari kata bersama (with).
Kehidupan “bersama Tuhan”
Mengatakan bahwabersama (with) adalah preposisi yang sangat penting dalam tatabahasa iman berarti mengingat bahwa seluruh kisah keselamatan mengarah kepada Wahyu 21:3: “Kemah Tuhan di tengah-tengah (bersama) manusia.” Tuhan mengorbankan Yesus bukan sekadar untuk melaksanakan tugas penebusan dosa yang sadis dan tak berperasaan, tetapi sebagai tindakan kasih yang dinyatakan secara terbuka—Dia sebagai suami, dan gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Di dalam kekekalan, yang akan terus berlangsung abadi untuk selamanya adalah persekutuan kita dengan Tuhan.
Penulis John Ortberg sering berbicara tentang kehidupan “bersama Tuhan,” suatu gambaran yang lebih sedikit tentang yang kita terimadari Tuhan atau lakukan untuk Tuhan, dan jauh lebih banyak tentang persahabatan yang kita nikmati bersama Dia—persahabatan yang sudah dimaksudkan sejak semula. Kehidupan “bersama Tuhan” merupakan tema cerita Alkitab, yang dimulai dari Taman Eden, dan kemudian dimulai lagi di sebuah kota. Bahkan dengan semua hal yang darinya kita sudah diselamatkan dan semua pekerjaan baik yang untuknya kita perlu bertekun, bersama menunjukkan debar jantung Injil. Tuhan rindu bersama umat-Nya dan berbagi meja perjamuan bersama mereka. Menerima anugerah keselamatan berarti menerima Pemberinya, menerima tawaran untuk bersama Dia selama-lamanya.
Di taman Eden, Adam dan Hawa adalah tamu-tamu perjamuan Tuhan yang pertama, yang diundang untuk menikmati semua karunia yang Dia sediakan bagi mereka. Bumi adalah rumah tempat kediaman manusia, dan bumi ini dipenuhi dengan kehadiran Tuhan. Tuhan tidak jauh atau terpisah dari umat-Nya, tetapi ada bersama dengan mereka. Suara langkah kaki-Nya terdengar ketika Dia mendekat, napas-Nya berkabut dalam percakapan di pagi hari. Para ahli sudah menemukan perbedaan antara kisah penciptaan di kitab Kejadian dengan mitos-mitos penciptaan seperti Enuma Elish. Dalam bukuA Dictionary of Creation Myths, David dan Margaret Leeming menulis, “Seperti dalam Enuma Elish, manusia di kitab Kejadian diciptakan dari tanah liat, dan manusia bekerja untuk Tuhan – manusia merawat taman itu dan menamai tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang. Namun tidak seperti dalam Enuma Elish, Tuhan menciptakan surga secara khusus untuk manusia, untuk berelasi dengannya dan untuk memperlakukannya seperti allah.” Keserupaan manusia dengan Tuhan memungkinkan kita untuk memiliki hidup yang serupa dengan Dia (Baca Mazmur 82:6; Yohanes 10:31-39; 2 Petrus 1:3-5).
Tragisnya, pesta manusia bersama Tuhan itu harus berakhir tiba-tiba ketika tamu-tamu-Nya menerima undangan makan yang lain. Mereka lebih suka menjadi seperti Tuhan daripada bersama Tuhan. Tetapi Tuhan tidak melepaskan kerinduan-Nya untuk bersahabat dengan umat-Nya. Dia lalu memanggil seorang bernama Abraham dari negerinya dan memimpinnya ke negeri penuh berkat, dan memberinya janji yang mengikat: “Inilah perjanjian-Ku dengan engkau: Engkau akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa” (Kejadian 17:4). Berabad-abad kemudian, orang ini menjadi bangsa yang akhirnya Tuhan pimpin keluar dari perbudakan Mesir, dan berjanji akan selalu bersama mereka seperti Dia selalu bersama Abraham. Setelah Keluaran, ketika murka Tuhan menyala-nyala karena bangsa itu menyembah patung anak lembu emas di padang gurun, dan Tuhan mengancam akan memberikan Tanah Perjanjian tanpa kehadiran-Nya, Musa berdoa dengan permohonan yang tegas: “Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini. Dari manakah gerangan akan diketahui, bahwa aku telah mendapat kasih karunia di hadapan-Mu, yakni aku dengan umat-Mu ini? Bukankah karena Engkau berjalan bersama-sama dengan kami, sehingga kami, aku dengan umat-Mu ini, dibedakan dari segala bangsa yang ada di muka bumi ini?” (Keluaran 33:15-16). Musa tahu bahwa berkat apa pun jika tidak disertai Pemberinya bukanlah berkat sama sekali.
Tuhan menjawab doa Musa di tengah teriknya panas padang gurun dengan bermurah hati bersedia berjalan bersama umat-Nya yang berdosa itu dalam tiang awan yang menggantung di atas kemah suci. Ketika bangsa itu akhirnya menetap di Kanaan, Tuhan memakai bait suci yang dibangun Salomo sebagai simbol tempat kediaman-Nya di tengah-tengah bangsa itu. Dan meskipun semua orang tahu bahwa bait suci itu tidak akan cukup untuk menampung Tuhan, bait suci itu menyatakan janji kehadiran Tuhan yang tak dapat disangkal. Karena inilah yang dimaksud dengan menjadi umat Tuhan, bahwa Dia tak pernah jauh; bahwa meskipun umat-Nya melakukan pemberontakan terus-menerus, Dia selalu akan menyertai/bersama mereka.
Tragisnya, dosa umat Tuhan ternyata susah sembuhnya, dan seperti Adam dan Hawa, mereka akan mengalami keterpisahan dengan Tuhan lagi sebagai akibatnya. Bait suci Salomo hancur dan terbakar, dan berabad-abad kemudian, sesuai kesaksian para nabi, umat Tuhan mulai bertanya-tanya tentang Dia, mempertanyakan ke-bersama-an-Nya. Berapa lama lagi? Tanya mereka, menuntut kepastian tentang kedekatan-Nya. Setelah empat abad yang hening antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, seakan menjawab dengan suara petir yang dramatis, Tuhan mengutus Anak-Nya menjadi manusia dan menamakan-Nya Imanuel: “Tuhan beserta kita” (Matius 1:23). Yesus tinggal di antara orang-orang sakit, dirasuk setan, sekarat, dan banyak orang berusaha menjamah ujung jubah-Nya. Tuhan sudah datang begitu dekat. Dan setelah Yesus disalibkan dan dibangkitkan, Dia meyakinkan para murid bahwa sekalipun Dia tidak hadir secara fisik, janji ilahi tentang ke-bersama-an/penyertaan-Nya tetap ada: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:20).
Penyertaan inilah yang kita nikmati sekarang dan akan terus kita nikmati di sepanjang waktu yang bergulir tanpa akhir dalam kehidupan yang akan datang.
Meskipun kita juga nyatanya lebih menyukai berkat-berkat daripada Pemberinya, cerita Alkitab meyakinkan kita bahwa Tuhan tidak membatalkan undangan perjamuan yang sudah Dia berikan kepada manusia pertama/nenek moyang kita. Seperti dikatakan Yesus dalam sebuah perumpamaan-Nya, suara Tuhan masih terus berkumandang di seluruh alam semesta: “Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah orang-orang yang ada di situ untuk masuk, karena rumahku harus penuh” (Lukas 14:23). Tuhan selalu ingin mengundang orang-orang untuk masuk ke dalam lingkaran kasih tritunggal-Nya sendiri. Semua yang darinya dan untuknya kita sudah diselamatkan memiliki satu tujuan: untuk bersama kita.
Inilah tatabahasa iman yang kekal.
Pokok Anggur dan Ranting
Selama banyak kali musim panas, kami pergi ke wilayah utara New York untuk mengadakan kemah keluarga bersama dua keluarga lain. Ketika kendaraan kami mulai memasuki Taman Adirondack, sinyal ponsel kami makin melemah, dan keterikatan kami dengan dunia luar mulai terurai. Pada saat kami tiba di pintu masuk perkemahan, melihat sinar matahari memantul dari danau, kami bersyukur bisa terlepas sementara dari segala tanggung jawab yang menekan kami tanpa ampun sepanjang tahun itu. Selama kurun waktu satu minggu, setiap hari akan diakhiri dengan mengelilingi api unggun, percakapan yang tidak tergesa-gesa, waktu yang lebih longgar dan bahkan hampir tak dibatasi. Satu-satunya undangan kami adalah menjaga kebersamaan dengan satu sama lain dan memperdalam relasi-relasi yang sudah terjalin selama ini.
Ketika saya memikirkan tentang ke-bersama-an (with-ness) dalam kekekalan, saya bertanya-tanya apakah rasanya akan seperti kebersamaan dalam minggu itu – saat yang tidak ada yang perlu diburu-buru selain kesenangan-kesenangan karena mengenal Tuhan dan dikenal oleh-Nya.
Meskipun jika saya jujur, bersama (with) adalah preposisi yang bagi saya paling sulit dalam kehidupan saya dengan Tuhan. “Bersama” dalam segala kelambatannya yang tidak tergesa-gesa tidak menunjukkan langkah “dari” dan “untuk” yang jelas. Sesungguhnya, saya tampaknya lebih mengenal diri saya sendiri ketika saya terus menyibukkan diri, menyelesaikan segala sesuatu, memeriksa daftar tugas yang harus dikerjakan, membuat Tuhan berkesan dengan efisiensi dan produktivitas hari-hari saya. Kehidupan rohani dapat menjadi semacam daftar panjang tanda pengingat yang bising – hal-hal yang harus dilakukan, daripada menjaga kebersamaan. Saya melakukan segala sesuatu – berdoa, melayani, beribadah, belajar – tetapi secara preposisi, saya sering melupakan kedekatan Tuhan, yang tak pernah jauh, kebersamaan dengan-Nya. Saya lupa bahwa kuasa rohani dan damai sejahtera diperoleh pertama-tama dan terutama dari kehidupan “bersama Tuhan” yang menurut Yohanes merupakan hidup kekal yang sudah dimulai dari sekarang (Yohanes 17:3).
Ketika Yesus mengumpamakan persekutuan kita dengan-Nya seperti kemelekatan ranting pada Pokok anggur, Dia sedang berbicara tentang pentingnya bersama Tuhan. Di Yohanes 15 sangat jelas bahwa ranting hanya memiliki satu tugas sederhana, yaitu tinggal di dalam/melekat. “Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yohanes 15:4). Kita tidak mungkin hidup untuk Tuhan tanpa hidup bersama Tuhan, dan di dalam Tuhan. Setiap ranting yang menghasilkan buah yang keluar adalah ranting yang mendapatkan nutrisi dari dalam. Dengan kata lain, Yesus tidak memerintahkan ranting untuk condong ke buah, tetapi condong ke akar. Dan ke preposisi-preposisi yang benar.
Perhatian yang kita berikan dalam kehidupan rohani seharusnya menyehatkan dan menguatkan relasi kita dengan Tuhan. Secara paling praktisnya, hal ini seperti mengatur hari-hari kita untuk bersama Tuhan sebelum kita merencanakan berbuat sesuatu untuk Tuhan. Tuhan tidak memerlukan tindakan saya yang “habis-habisan” untuk kerajaan-Nya, betapa pun banyaknya orang yang meyakinkan bahwa saya bisa dikagumi, bahkan ditiru. Tuhan ingin Dia menjadi yang pertama yang ada di pikiran saya ketika tanda waktu berbunyi dan Dia membangunkan saya kepada rakhmat hari yang baru. “Selamat pagi, Tuhan,” saya akan menyapa-Nya, masih linglung dan bersyukur, sebelum saya perlahan-lahan menuju ke dapur dan menyalakan kompor. Saya akan membaca sekilas berita-berita utama dan mengingat janji kebersamaan/penyertaan-Nya yang tak pernah jauh. Ketika saya menangisi keadaan manusia yang hancur, saya akan menggemakan kembali kata-kata dari Mazmur 82:3: “Berilah keadilan kepada orang yang lemah dan kepada anak yatim, belalah hak orang sengsara dan orang yang kekurangan!” Sebuah Alkitab terbuka di depan saya. Saya akan memulai hari saya bersama Tuhan, menyerahkan persoalan-persoalan dunia ini dan kehidupan kecil saya sendiri ke dalam tangan-Nya yang besar dan berkuasa.
Siangnya, tentu saja, saya sudah mengembara seperti domba yang hilang. Panggilan untuk hidup “bersama Tuhan” terdengar lemah dan samar-samar di tumpukan tugas-tugas mendesak hari itu. Tetapi saya akan berusaha mengambil preposisi yang benar lagi, untuk diingatkan, sebagaimana yang diajarkan Paulus, bahwa di dalam Tuhan kita hidup, kita bergerak, dan kita ada.
Dan ketika malam tiba, saat saya berbaring dan memejamkan mata, saya berdoa agar saya selalu ingat bahwa sebelum dasar bumi diletakkan, bersama adalah preposisi yang digerakkan oleh kasih karunia-Nya—janji yang pasti Dia genapi sampai selamanya. Janji yang akan menggugah kita untuk mengalaminya sendiri.