Terhilang Dan Ditemukan
Iman yang Perkasa
Bagaimana seorang anak yang tak punya apa-apa dan siapa-siapa dipertemukan Tuhan dengan sebuah keluarga yang berkecukupan.
Bangunan tua itu terletak di jalan yang ramai, dengan pintu-pintu terbuka yang langsung menghadap jalan yang tanpa pepohonan, penuh lubang dan ban-ban bekas serta deretan toko-toko. Tetapi Hogar San Jeronimo Emiliani, panti asuhan Katolik di wilayah “Zona 1” yang sangat miskin di Guatemala City ini tampak bersih dan sangat terawat. Suster-suster yang mengabdikan dirinya untuk anak-anak yatim piatu dan ditinggalkan, mencurahkan kasih sayang mereka kepada setiap dan semua orang di situ. Tak terkecuali Edy.
Lahir dari seorang ibu yang masih remaja pada tahun 2003, Edy sebenarnya adalah tipe anak laki-laki kecil yang sehat. Celakanya, ia jatuh ke tangan seorang yang memperlakukannya dengan sangat kejam sampai ia mengalami cidera otak dan membuatnya menderita cacat mental permanen yang parah. Neneknya, yang sedang membesarkan anak-anaknya sendiri, akhirnya menemukan Edy. Namun karena tidak banyak yang dapat dilakukannya untuk anak itu, sang nenek membawanya ke rumah sakit dan meninggalkannya untuk dirawat oleh suster-suster San Jeronimo.
Yang menyedihkan, kisah Edy bukanlah pengecualian. Di antara empat negara tropis lainnya di Amerika Tengah, Guatemala adalah wilayah yang sedikit lebih kecil dari Pennsylvania. Negara ini pada abad 20 banyak mengalami perang saudara, terorisme dan kekerasan. Sungguh situasi yang sulit – terutama bagi anak-anak – yang diperkirakan ada 370.000 anak yatim piatu di negara ini, termasuk 5000 anak gelandangan yang berkeliaran di jalan-jalan Guatemala City.
Ketika Edy datang, ada sekitar 100 anak di panti asuhan San Jeronimo. Dan meskipun panti asuhan itu miskin, anak-anak di situ mendapatkan kasih sayang. Mereka dimandikan dan diberi makan setiap hari, sering diajak bermain dan diberi kue-kue pada sore hari.
Ribuan mil dari situ, keluarga Nelson—Steve, Ellen, Cate, Lucy, dan Josh—tinggal di Belmont, daerah pinggir kota Boston yang tenang. Steve bekerja di sebuah universitas lokal. Istrinya, Ellen, sudah menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk membesarkan ketiga anak mereka – yang sudah mendekati saat meninggalkan rumah. Meskipun mereka tidak mengakuinya secara terang-terangan, Ellen dan Steve, sudah menantikan saat-saat mereka bisa bebas menikmati “sarang yang kosong.”
Pada tahun 2006, anak sulung mereka, Cate, lulus SMA. Dan meskipun ia diterima di universitas Harvard, Cate memutuskan untuk mengambil “jeda” satu tahun untuk pergi melakukan pelayanan komunitas sebelum memulai kuliah. Cate menyukai kotanya tetapi ia merasa bosan dengan kehidupan di pinggir kota dan ingin mencari sesuatu yang lain. Jadi, ia bergabung dengan temannya Jesse yang menjadi sukarelawan di Guatemala bersama organisasi yang bernama Cross Cultural Solutions. Pada mulanya mereka ditugaskan mengajar di Sekolah Dasar, tetapi dalam waktu dua minggu mereka akhirnya sampai di San Jeronimo.
Cate ditugaskan di kamar balita, sebuah ruang terbuka yang besar, dengan tembok dan jendela berwarna hijau yang menghadap ke lapangan luas di luar rumah. Dua puluh buaian putih sederhana terletak di satu sisi, sementara di hadapannya terhampar sebuah arena bermain. Ketika Cate pertama kali tiba di tempat itu, saat itu adalah waktunya tidur siang. Meskipun saat itu anak-anak diharapkan beristirahat, tetapi Cate dapat melihat wajah-wajah manis mereka tersembul dari buaian, dan ia pun lalu mendekati, menyentuh dan menyapa setiap anak. Pada buaian terakhir, Cate menjumpai seorang anak laki-laki gemuk bercelana pendek putih dan berkaos biru, terbaring telentang. “Ia kelihatan seperti peselancar kecil,” kata Cate. Cate akhirnya tahu bahwa di situlah Edy menghabiskan sebagian besar hidupnya karena ia tak dapat duduk atau berdiri.
Cate jatuh hatipadanya dan memanggilnya “Edy Grande” (Edi Gede) karena ia jauh lebih besar dari anak-anak lainnya di ruangan itu. Setiap hari Cate akan mengangkat anak itu dari buaiannya dan mendudukkannya di atas pangkuannya, sehingga ia dapat bermain-main dengan anak-anak lainnya yang berkeliaran di sekitarnya. Pada awalnya Edy cenderung jatuh karena otot-ototnya yang lemah, tetapi lama kelamaan, Cate dapat menolongnya untuk duduk tegak, dan punggungnya semakin kuat. Ia sulit makan, sering tergigit, tetapi ia senang makan bersama Cate dan tak lama ia pun menunjukkan kemajuan dalam hal ini. “Edy makan dengan baik bersama kamu!” kata suster-suster, dengan wajah berseri-seri. Orangtua dan teman-teman Cate langsung melihat betapa sering anak ini muncul dalam email-email yang dikirimkan Cate.
Pada hari ulangtahun Cate ke-19, Edy tertawa untuk pertama kalinya, dan Cate mengirim email:
“Hari ini aku menggendong Edy dengan kepalanya bersandar lekat dan damai di dadaku. ‘Aku tak menginginkan apa pun selain engkau dekat di hatiku’. Sementara kata-kata ini tebersit di hati dan pikiranku, aku menyadari bahwa lebih dari menginginkan Edy bisa berjalan, berbicara atau memiliki keluarga, aku ingin ia selalu dekat di hatiku, di hati Yesus dan mengenal kasih.”
Cate merasa sedih mengingat ia akan meninggalkan panti asuhan itu, dan ia mulai mempertimbangkan untuk melanjutkan kuliah sambil mengadopsi Edy. Ketika ia menyampaikan hal ini kepada ibunya melalui telepon, ia menangis, “Siapa yang akan mengasihinya kalau saya pergi?” tanyanya.
Ellen awalnya melihat kekuatan adopsi itu, tetapi ia menanggapi permohonan Cate dengan nada negatif. “Ada satu ayat dalam kitab Yesaya,” kenang Ellen. “Allah bertanya, ‘Siapakah yang akan Kuutus?’ Dan Yesaya menjawab, ‘Ini aku, Utuslah aku.’ Hmm, tapi saya jelas tidak memiliki jawaban seperti Yesaya. Saya memiliki jawaban Ellen. Alih-alih berkata, ‘Utuslah aku!’ hati saya malah berteriak, ‘Jangan aku!’”
Ellen mengunjungi putrinya di Guatemala. Hari pertama, ia tidak langsung merasakan apa-apa terhadap Edy. Tetapi keesokan harinya, anak itu tertidur di pangkuannya, dan ia pun tersentuh seperti putrinya. Ia hampir menangis saat meninggalkan panti asuhan itu, tetapi ia tidak memberitahu Cate tentang perasaannya, karena takut akan mengecewakannya jika mereka tidak dapat melakukan sesuatu untuk Edy. Ketika Ellen bertemu Steve di bandara Boston, ia berkata, “Kupikir aku bermasalah. Sesuatu terjadi dalam hatiku.” Tanpa ragu Steve tersenyum dan berkata pada istrinya, “Ellen, mari kita bawa Edy ke rumah kita.” Sarang itu tidak akan kosong lagi.
Jalan untuk mengadopsi tidak mudah. Sementara Cate melanjutkan masa jedanya dengan bekerja di Mozambique, temannya Jesse tetap tinggal di Guatemala. Ellen meminta Jesse untuk mencari informasi tentang status Edy, dan ia lalu tahu bahwa halangan pertama untuk membawa Edy pulang adalah bahwa Edy dinyatakan tidak pernah ditinggalkan secara resmi. Meskipun keluarganya tidak pernah tampak atau mengunjunginya sejak ia sampai di panti asuhan itu, Ibu Kepala percaya bahwa mereka tidak mau ia diadopsi. Dari situ muncul kesulitan-kesulitan lain. Panti asuhan itu sendiri tidak memiliki lembaga kemitraan dengan AS, sehingga proses adopsi harus melalui perubahan-perubahan peraturan yang makin mempersulit.
Tahun 2006, hampir 5000 anak Guatemala diadopsi oleh orangtua Amerika. Namun tindakan-tindakan yang tidak etis terungkap, dan ketika negara menandatangani Konvensi Hague AS tentang Adopsi pada tahun 2007, pelaksanaan adopsi di negara ini pada dasarnya sedang terhenti. Selama mengikuti kursus persiapan adopsi selama dua tahun, Ellen sudah keluar masuk Guatemala sebanyak tujuh kali, dan perjalanan terakhirnya membuat ia harus berada di negara itu selama tiga bulan. Steve dan yang lainnya juga melakukan perjalanan, menghabiskan waktu bersama Edy dan berusaha mencari kesempatan untuk bertemu dengan para pejabat pemerintah. Ratusan orang – petugas lembaga, penerjemah, pengacara – sudah terlibat. Namun seluruh proses ini tampaknya sama sekali sia-sia.
Namun, di setiap ketidakberuntungan ada mukjizat-mukjizat kecil: suster-suster yang menyerahkan Edy untuk dibawa ke rumah barunya; para pejabat di AS dan Guatemala yang turun tangan pada waktu yang tepat; orang-orang di Amerika yang bekerja melalui lembaga-lembaga adopsi dan mendoakan keluarga Nelson; seorang ibu di Guatemala yang menyediakan kamar dan makan gratis ketika ia kehabisan uang karena harus tinggal selama tiga bulan di sana. Keluarga Nelson terus berdoa. Mereka percaya pada Tuhan. Mereka tak pernah kehilangan harapan.
Dan pada tanggal 17 Desember 2008 — dua tahun lebih setelah Cate pertama kali memeluk Edy di panti asuhan itu — visanya disetujui. Dua hari kemudian, Ellen dan Edy yang sudah berusia 5 tahun terbang dari Guatemala ke Boston, dan ke dalam pelukan keluarga yang akhirnya ia temukan. Mereka tiba di tengah musim badai salju. Dan di rumah Belmont itu, Edy tidur di kamar Steve dan Ellen di dalam buaian yang sama yang pernah digunakan untuk Cate, Josh, dan Lucy.
Kehidupan berubah dramatis bagi semua orang di keluarga Nelson. Edy yang menghabiskan hampir empat tahun pertamanya di panti asuhan yang padat, kini pulang ke rumah yang indah dan menjadi pusat perhatian. Ellen sendiri yang mendampingi belajarnya di rumah, bersama beberapa ahli terapi yang dipanggil untuk menolongnya bertumbuh secara fisik dan mental. Edy kini suka naik kuda, berenang dan memainkan alat musik drum, perkusi dan tamborin. Ia dapat minum dengan sedotan dan bahkan menunjukkan isyarat tertentu untuk kebutuhan-kebutuhan mendasar. Ia manis dan ceria, dan Ellen suka sekali mengatakan bahwa ia memunculkan yang terbaik dari setiap orang yang ada di sekitarnya.
Edy sudah menjelang remaja sekarang – dengan rambut hitam dan mata berbinar. Namun, meskipun seluruh keluarga Nelson sudah mendoakannya, ia masih belum dapat berjalan atau berbicara. Ia juga sering mengalami serangan, kadang berkali-kali dalam sehari, dan baru-baru ini harus menjalani operasi pinggul karena kondisi cacat fisiknya. Namun jika Anda berbicara dengan keluarga Nelson, mereka akan mengatakan bahwa Edy lebih banyak tersenyum, ia lebih kuat, lebih terlibat. Mereka tak pernah menyerah untuknya atau untuk mengasihinya, sekalipun hal-hal yang mereka doakan belum terwujud.
Ellen dan Steve baru saja memberi rumah baru di Hamilton, di kota North Shore, Massachusetts. Rumah ini lebih besar dan memiliki halaman yang lebih luas, dan mereka pun sibuk menjadikannya sebagai rumah “siaga Edy” dengan menambahkan banyak akses ke setiap ruangan. Mereka memikirkan sekolah untuk Edy di ruangan itu, dan mencari gereja yang baik yang memiliki acara bisbol musim panas bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Kehidupan awal Edy Nelson penuh penderitaan. Ia terhilang di mata dunia, meskipun tidak demikian di mata Penciptanya. Ia terluka dan ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya dapat dipercaya untuk memberinya perlindungan di dunia ini.
Namun Edy juga merupakan jawaban atas pertanyaan setiap orang. Ia adalah anak lelaki kecil yang membuat Cate jatuh hati. Ia adalah saudara Josh dan Lucy. Ia adalah anak Steve dan Ellen. Rumah mereka kini adalah rumahnya juga, dan meskipun seluruh keluarga Nelson sudah banyak berkorban, mereka memperoleh sesuatu yang lebih besar – kasih, kekeluargaan, dan perspektif yang tak akan pernah mereka miliki tanpa “Edy Grande”.
Oleh John Coleman