Teriakan Kesepian
(Joseph Miller)
Pada saat-saat sendirian, yang paling berharga bukanlah apa yang kita temukan, tetapi Siapa.
Tuhan tahu bahwa Anda dan saya akan mengalami saat-saat perpisahan, pengabaian atau penolakan. Kita akan merasakan kesepian. Dan apa yang diteriakkan kesepian itu di atas segalanya, kalau bukan kehadiran? Kesepian membutuhkan kehadiran. Apa yang diteriakkan ketakutan di atas segalanya? Pertolongan—berikan pertolongan sekarang juga. Jika Anda merenungkannya, di sepanjang Kitab Suci, hamba-hamba Tuhan juga berseru kepada Tuhan, meminta pertolongan-Nya atas satu dan lain hal. Dan Tuhan berulang kali membuat kehadiran-Nya dikenali.
Langit-langit metal bergelombang itu tingginya 12 meter, tetapi terlihat jauh lebih tinggi. Saya berbaring di ranjang atas, benar-benar cukup tinggi untuk melihat melampaui bubungan dinding pembatas yang memisahkan area-area ruangan menjadi jalur simpang siur manusia yang padat di dalam sebuah gudang berukuran beberapa lapangan sepak bola itu. Sepanjang yang saya tahu, di sinilah pada tengah hari, ketika ratusan sukarelawan bersiap mengikuti konferensi penginjilan sedunia yang terbesar dalam sejarah, saya benar-benar merasa sendirian.
Saya datang ke konferensi di Belanda ini, siap bergabung dengan staf media sebagai jurnalis yang mengikuti pelatihan. Tetapi ketika saya tiba, mereka tidak memiliki catatan tentang penerimaan saya; rasanya seolah-olah surat resmi di tangan saya hanya sebuah olokan. Selama waktu makan dan istirahat, saya bisa mendapatkan teman-teman dari seluruh dunia. Namun ketika tiba waktunya untuk bekerja, mereka semua bergegas melakukan tugas-tugas penting, sementara saya mengembara ke sana ke mari, menanyakan apa yang bisa saya bantu. Hal ini berlangsung selama tiga hari, dan merupakan salah satu momen kesepian paling akut yang pernah saya alami — terhanyut di tengah lautan manusia, tanpa tujuan dan jauh dari rumah.
Dr. Stanley mengingatkan kita bahwa kesepian tidak dapat dihindari; tak seorang pun dari kita dapat melepaskan diri dari kondisi manusiawi itu. Tetapi ketika ia berkata “kesepian membutuhkan kehadiran”, hati saya tersentuh. Dalam pengalaman saya, saya membutuhkan kehadiran yang membuat saya bisa bekerja dekat dengan sebuah tim, bersiap untuk melayani lebih dari 10.000 orang. Saya berdoa banyak selama tiga hari itu, bertanya pada Tuhan apakah semua ini hanya sebuah kesalahan—apakah saya harus melakukan perjalanan sejauh ini hanya untuk suatu kesia-siaan. Saya berseru meminta semacam jawaban, bukan ketidakpastian yang menggelisahkan ini.
Tepat pada titik puncaknya, ketika saya sudah merasa tidak tahan lagi dan siap terbang untuk pulang, saya menerima undangan untuk bergabung dengan tim katering, suatu hal yang saya sama sekali tidak tahu apa-apa. Tugas-tugasnya tidak berupa meliput acara dengan sesama jurnalis muda; tetapi membantu menyajikan makanan untuk ribuan penginjil setiap hari. Itu bukan hal yang awalnya membuat saya mendaftar, tetapi saya mendapatkan beberapa pelajaran berharga tentang melayani orang lain, sambil menjalin persahabatan dengan teman-teman baru dari seluruh dunia. Hal yang bagi saya awalnya merupakan beberapa hari kesepian lalu menjadi kenangan seumur hidup dan pemahaman baru. Terutama, bahwa di semua tempat kosong yang mengelilingi saya di sebuah gudang di Belanda itu, ada Seseorang yang duduk di ranjang di bawah saya sepanjang waktu.