Tidak Berhak Masuk Surga
(Stefani McDade)
Meskipun tempat kita bersama Tuhan terjamin, kerajaan-Nya adalah hal yang kita terima sebagai anugerah, bukan hak.
Di usia kebanyakan anak-anak perempuan tinggal di rumah danbermain “putri-putrian”, saya dan tiga saudara perempuan saya menuju ke halaman belakang untuk bermain sebagai “anak yatim.” Saya ingat ketikasaya dengan hati-hati meletakkan harta milik saya yang paling berharga – buku harian, dompet Polly, dan beberapa perhiasan kecil lainnya – ke dalam kotak boneka Barnie sebelum menuju pintu belakang. Kami berempat akan bersama-sama melakukan perjalanan sepanjang pagar, pura-pura melintasi jarak berkilo-kilometer melalui kota-kota khayalan menuju suatu destinasi yang tidak jelas namun mulia. Terinspirasi oleh kisah-kisah sepertiA Little Princess dan The Boxcar Children, kami mengembara di negeri asing tanpa membawabekal apa pun selain benda-benda yang bisa kami pegang. Pada waktu petang, kami mengakhiri perjalanan panjang kami dengan mengetuk pintu rumah seorang asing yang baik hati (ibu kami) yang mengundang kami masuk untuk menyantap hidangan yang sudah ia sediakan.
Ketika kami diajar untuk menjadi seperti anak kecil untuk masuk ke dalam Kerajaan surga, saya teringat kembali pada permainan pura-puraitu. Hanya seorang anak kecil yang akan memikirkan barang kepunyaannya yang paling berharga yangcukup sedikit dan cukup ringan untuk dapat iagenggam dengan tangannya. Anak-anak lahir ke dunia tanpa membawa apa-apa selainsederetan kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi orang lain. Oleh karenanya, mereka memiliki sifat miskin yang alami- ketergantungan bawaan, yang seiring dengan berjalannya waktu, akan menjadi jalan untuk belajar mandiri di masa dewasa.
Di dalam Ucapan Bahagia Khotbah Tuhan Yesus di Bukit, panggilan untuk “miskin di hadapan Tuhan” tampaknya paling kontroversial. Bukankah kita, sebagai para ahli waris bersama Kristus dan anak-anak Bapa surgawi, dianggap kaya di hadapan Tuhan? Seorang rekan misionaris pernah memberitahu saya terjemahan ayat ini dalam bahasa Thai: “Berbahagialah orang-orang yang merasa kurang dalam roh mereka, karena merekalah yang empunya kerajaan surga.” Menyadari kekurangan yang mendalam pada diri kita tampaknya merupakan prasyarat untuk memasuki, atau bahkan mengenali, kerajaan Kristus yang “terbalik.”
Ketika Yesus memerintahkan seorang muda yang kaya untuk menjual semua miliknya dan membagikannya kepada orang-orang miskin, saya membayangkan keberatan-keberatan yang berkecamuk di pikirannya. Saya merasa ia bukan saja tidak rela melepaskan baju-baju kesayangannya atau kendaraanfavoritnya. Saya kira ia juga menghitung-hitung harga yang harus dibayarnya untuk mengikuti seorang Pemimpin baru—yang prinsip ekonomi-Nya akan membuat semua yang dimilikinya diberikan kepada orang-orang yang tidak memilikinya dan tidak pantas memilikinya. Yesus berusaha membangkitkan kemiskinan rohani pada orang yang tak pernah mengalami kekurangan secara jasmani itu, dan pada akhirnya, orang itu pun pergi dengan sedih.
Ketika saya berusia duapuluhan, saya melakukan perjalanan panjang ke Eropa bersama adik perempuan saya. Di salah satu hari, kami naik kereta bawah tanah menuju Menara Eiffel; namun meskipun perjalanan ituterasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan, kami dipenuhi kecemasan. Hari itu adalah hari kelima dari perjalanan kami yang kurang direncanakan dengan baik, dan kami tidak tahu akan tidur di mana malam itu. Reservasi kami via Airbnb (jaringan pemasaran daring) gagal dan setiap losmen yang kami hubungi penuh. Sambil mencengkeram ponsel yang tak berfungsi dan merasakan gemuruh perut kosong dan kelaparan, saya ingat malam itu saya memandang ke luar jendela kereta dengan keheningan yang mencekam, membayangkan kemungkinan kami akan tidur di luar. Kekecewaan berganti dengan kemarahan yang menggelegak di dalam diri saya.Ini tak bisaditerima, pikir saya pahit, sementara butiran airmata hangat menggenang di pelupuk mata.
Ketika kami memasuki stasiun bawah tanah, saya melihat sebentuk manusia kepompong dalam buntelan selimut di bawah bangku besi di dekatrangka beton yang berserakan sampah. Saya sudah sering melihatbanyak gelandangansebelumnya, tetapi pada saat itu, sebuah pertanyaan dengan mulus menyelinap masuk ke bawah sadar saya, seperti sehelai daun yang jatuh di atas permukaan air: Apa bedanya kamu dengan dia?
Saya dan adik saya akhirnya bermalam di satu-satunya kamar yang masih ada di sebuah hotel kumuh, dan ketika saya berbaring danberusaha mengendurkan otot-otot leher saya yang tegang, saya memikirkan tentang pertanyaan itu. Saya dan orang itu sama-sama tidak tahu di mana kami akan tidur pada malam itu. Mengapa saya menganggapdiri saya harus mendapatkan tempat untuk tidur, sementara orang itu tidak? Menerawang jauh melampaui yang sederhana dan nyata, pertanyaan ini berkembang menjadi lebih mendalam dan filosofis. Saya seakansedang berdiri di samping Tuhan, dan dari ketinggian surga-Nya kami sama-sama memandang ke bawah kepada orang yang hidup menggelandangitu—dan setiap jawaban yang saya sampaikan kepada Tuhan terdengar hampa dan tak bermakna. Saya berusaha lebih keras. Saya menghasilkan lebih banyak uang daripada orang itu. Sayasudah membuat pilihan-pilihan yang lebih baik dalam hidup ini. Saya memiliki keluarga yang mengasihi di rumah saya. Saya bukan orang yang hidup di jalanan. Setiap dan semua jawaban itu mengerucut pada kesimpulan yang sama: Saya merasa pantas mendapatkan hal itu, atau setidaknya memiliki nasib yang lebih baik dalam kehidupan ini dibandingkan orang itu.
Lebih sulit bagi “orang kaya” untuk masuk ke dalam kerajaan surga karena,semakin banyak kekuasaan, harta dan hak-hak yang dimiliki, akan makin sulit untuk menghitung semuanya itu sebagai kerugian akibat salib. Padahal panggilan menjadi murid Yesus adalah undangan untuk menyerahkan segala sesuatu – untuk “tidak memiliki” apa-apamengingat pengorbanan yang sudah dilakukan-Nya. Seberapa pun banyaknya yang kita miliki atau tidak miliki, setiap kita adalah “orang kaya” itu dalam hal tertentu, dan kita juga harus ditantang dan dibuat bingung oleh kerajaan yang “terbalik” ini. Kita adalah orang yang disebutkan dalamWahyu 3:17: “Engkau berkata: aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan … engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang.” Atau seperti yang dikatakan oleh Brennan Manning, “Kita semua adalahsama-sama pengemis yang diberi hak namun sebenarnya tidak berhak mendapat belas kasihan Tuhan!”
Jika saya melakukan permainan masa kecil itu sekarang, saya bertanya-tanya, barang-barang apa yang akan saya masukkan ke kotak saya untuk sebuah perjalanan yang tanpa jalan kembali. Ponsel saya? Dompet dan kunci-kunci? Dokumen-dokumen penting? Benda kenangan yang sangat berharga? Tidak sukar membayangkan diri saya sebagai anak yatim ketika dunia saya kecil dan hidup saya sederhana. Tetapi sekarang, saya memiliki suami, anjing, mobil dan rumah – serta polis-polis asuransi yang memproteksi saya dari kehilangan semuanya itu selain anjing. Dan jika saya sudah melakukan berbagai macam tindakan untuk melindungi kekayaan jasmani saya, hal-hal apa saja yang saya bersedia lakukan agar tidak menjadi “sok kaya” di hadapan Tuhan?
Pikiran-pikiran berharga tentang harga diri apakah yang saya simpan di tempat-tempat terdalam hati saya – hal-hal yang sedemikian berharganya sampai saya tidak rela melepaskannya ketika Tuhan memerintahkan saya untuk pergi dan mengikut Dia? Anda lihat, jauh lebih mudah untuk menempatkan diri kita di antara orang baik, orang benar, orang suci dan berkata, “Aku bersyukur karena aku tidak seperti orang berdosa itu,” daripada menganggap diri kita sebagai orang yang paling berdosa. Namun, kita harus memutuskan sekali dan untuk selamanya, apakah kita benar-benar percaya bahwa Kristus datang untuk orang sakit yang tak punya harapan, dan bukan untuk orang yang mengobati diri sendiri atau diasuransikan dengan baik – untuk orang yang benar-benar sudah mengibarkan bendera putih dan merendahkan diri sepenuhnya, dan bukan orang yang membentangkan karpet ucapan selamat datang di depan makam yang putih bersih.
Jika ada, pelayanan Yesus di bumi tentuakan memberitahu kita tentang jenis orang yang akan menemukan pintu terbuka – dan juga orang yang baginya pintu akan selalu tertutup. Keselamatan Kristus tidak membuka kemungkinan sekecil apa pun untukharga diri kita dapat menyelamatkan diri kita sendiri. Dan jika tidak ada cara yang dapat mengurangitindakan kasih karunia-Nya yang luar biasa pada kita, maka tidak ada ukuran yang dapat mengukur jarak yang bisa direntangkan untuk menutupi dosa-dosa lainnya. Kita harus berhati-hati agar tidak bertindak sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan-Nya, yang tampak indah dalam segala bentuk kesalehan kita sendiri namun menyangkali kekuatan yang disempurnakan dalam kelemahan. Dan begitu kita tidak lagi berdiri di pintu gerbang-Nya sebagai penjaga, kita akhirnya dapat duduk sebagai tamu di meja perjamuan perkawinan-Nya.