Tirulah Hal-Hal Ini, Bukan Hal-Hal Itu
Tidak semua budaya gereja itu baik untuk kita. Bagaimana kita menunjukkan perbedaan antara pemuridan yang otentik dengan tekanan lingkungan yang tidak kudus?
Katie memiliki silsilah Kekristenan yang kuat. Ia dibesarkan di gereja, sudah menyerahkan hidupnya kepada Yesus pada suatu acara kaum muda, kuliah di perguruan tinggi Kristen, dan menikah dengan Jeff, kekasihnya semasa kuliah, segera setelah mereka lulus. Di gereja yang baru mereka kunjungi, mereka melayani sebagai guru Sekolah Minggu. Katie juga menyediakan waktu di sela-sela jadwalnya yang padat untuk menjadi sukarelawan yang melayani para tunawisma di komunitas baru mereka. Namun, setelah hampir tiga tahun bergabung di gereja itu, Katie berkata pada saya bahwa ia sering merasa ragu apakah ia akan cocok di sana. “Saya masih diperlakukan sebagai orang luar oleh ibu-ibu di situ, dan itu bukan karena saya orang yang masih relatif baru, tetapi karena saya adalah ibu yang bekerja penuh waktu di luar rumah.” Ia menjelaskan bahwa hampir semua wanita seusianya di jemaat itu adalah ibu-ibu yang tinggal di rumah dan mengasuh sendiri anak-anak mereka, dan beberapa ibu yang lebih senior memusatkan sebagian besar perhatian mereka untuk merawat kelompok ini. Selain bertemu untuk mempelajari Alkitab tentang menjadi istri dan ibu yang lebih baik, mereka sering mengadakan acara-acara santai dan melakukan perjalanan-perjalanan. Karena Katie memiliki jam kerja,berarti ia dan anaknya sering tidak bisa ikut bergabung dengan mereka. Tetapi yang mengganggu Katie bukanlah karena ia tidak sering diajak oleh ibu-ibu lain itu.
“Ketika pertama kali kami datang ke gereja itu, Jeff dan saya tahu bahwa pekerjaan saya akan membuat saya menjadi minoritas di antara ibu-ibu yang tinggal di rumah itu, tetapi pendeta gereja saat itu meyakinkan kami bahwa hal itu tak jadi masalah selama kami sama-sama mencari Yesus. Kami menghargai penekanannya pada pemuridan. Namun setelah tahun-tahun berlalu, saya perhatikan para wanita itu kebanyakan saling meniru dalam gaya hidup, keyakinan dan panggilan mereka. Rasanya jadi seperti kelompok eksklusif daripada sebuah gereja,” Katie berkata dengan sedih. Ia dan Jeff mempertimbangkan untuk meninggalkan jemaat itu.
Alkitab menggambarkan pemuridan sebagai situasi di mana orang percaya yang dewasa menghidupi imannya dalam hubungan dengan murid yang lebih muda setiap hari dan secara terus-menerus. Kedewasaan dikaitkan dengan usia, pengalaman dan kesetiaan. Situasi ini menggambarkan proses pertumbuhan rohani yang berlangsung terus-menerus, bukan sampainya pada suatu titik kesempurnaan rohani (Ulangan 6:4-9). Almarhum Dallas Willard menyebut model pembelajaran seluruh-hidup ini sebagai apprenticeship (belajar dengan sistem magang), kata yang menolong dalam menerjemahkan konsep kuno ke dalam konteks modern.
Seperti teman saya Katie, saya mendapati bahwa bentuk peer presure (tekanan teman sebaya atau lingkungan sosial/sekitar) yang “dikristenkan” sering mengambil tempat pemuridan/ pemagangan yang benar. Jika budaya gereja Anda menyatakan secara tidak langsung bahwa semua orang percaya sejati akhirnya akan melihat, bertindak, memilih atau mengatakan hal yang sama, berhati-hatilah. Mungkin Anda sedang menghadapi peer presure di lingkungan itu. Dan meskipun versinya benar-benar lebih canggih dari yang mungkin pernah Anda alami waktu di sekolah menengah, tekanan sosial untuk menjadi serupa dengan standar-standar kelompok dapat sama kuatnya. Beberapa contohnya:
- Kita mengatakan kepada jemaat (atau simpatisan) bahwa mereka perlu belajar untuk “berlaku seperti orang Kristen” agar bisa sesuai dengan gereja.
- Kita secara halus (atau tidak begitu halus) mengatakan kepada para jemaat muda agar tidak mengejar karier di bidang akademi atau seni, karena jalur pekerjaan itu “terlalu sekuler.”
- Kita menghindari atau mempermalukan orang yang tidak mau ikut berbagi opini umum – tentang suatu hal yang tidak esensial secara teologi, seperti soal politik – di jemaat kita.
Tantangan bagi yang lebih dewasa dalam relasi pemuridanadalah mengingat bahwa pembelajaran terjadi dengan berbagai cara di berbagai tahap pertumbuhan rohani kita. Ada saat dan waktu untuk meniru dalam kehidupan rohani kita. Sama seperti anak-anak kecil yang menirukan suara-suara dan kata-kata ketika mereka sedang belajar berbicara, kita belajar berjalan dengan Yesus juga dengan mencontoh hidup orang-orang yang sudah berjalan lebih dulu dari kita. Jadi, meniru memiliki tujuan instruksional.
Peer presure, atau dalam hal ini tekanan lingkungan sekitar, memiliki “rasa takut ketinggalan” pada akarnya, dan tidak sesuai dengan kelompok dipandang sebagai dosa besar. Jika Anda merasa semua orang di sekitar Anda bersaing dalam kontes yang tak terucapkan untuk menjadi serupa dengan standar-standar kelompok, kemungkinan besar Anda sedang melihat pengaruh dari tekanan lingkungan ini. Padahal, meniru orang-orang saleh akan mengajarkan pada kita pola-pola dan tindakan praktis yang esensial dengan menghargai panggilan dan karunia-karunia tiap individu.
Rabi-rabi pada abad pertama akan menilai calon muridnya melalui hidup dan belajar bersama dalam waktu yang lama: mereka akan mencari orang yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk dibentuk menjadi seperti gurunya. Penulis Doug Greenwold menjelaskan, “Di dalam kitab-kitab Injil, perkataan ‘ikutlah aku’ adalah ungkapan orang Yahudi yang dipakai para rabi yang artinya, “Datang dan tinggallah bersamaku sebagai muridku, dan tunduklah pada otoritas pengajaranku.” Perkataan Yesus “ikutlah Aku” tidak sekadar berarti “bergabunglah dengan tim-Ku.” Perkataan ini menunjukkan bahwa Dia percaya kita akan berusaha meniru setiap aspek kehidupan kita dari Dia.
Namun, tujuan-Nya bukanlah supaya kita tetap seperti bayi selamanya, mengulang-ulang terus pelajaran-pelajaran dasar seperti kalau kita sedang bermain “Simon Berkata” dalam putaran lingkaran yang tak ada habisnya. Sebaliknya, karena Tuhan ingin kita terus maju kepada kedewasaan, Dia memberi kita kuasa dan kemampuan untuk kemudian memuridkan orang lain lagi yang juga akan senang meniru Dia sebagaimana kita sedang belajar melakukannya (Matius 28:18-20). Penulis kitab Ibrani mengungkapkan kekecewaannya terhadap para pembacanya yang tampaknya tidak maju-maju dalam pertumbuhan rohani mereka: “Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah” (Ibrani 5:12).
Kita melihat pola ini diterapkan dalam nasihat Paulus kepada jemaat Korintus. Ia mendorong gereja baru itu untuk meniru dirinya ketika mereka belajar mengarungi hidup sebagai pengikut Yesus yang belum dewasa:“Jadilah pengikutku sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1 Korintus 11:1). Dengan kata lain, “Tirulah aku sebagaimana aku meniru Kristus.” Tetapi dalam ucapan-ucapan salam pribadi yang ia tuliskan di akhir surat pertamanya kepada jemaat Korintus – perkataan-perkataan yang cenderung kita lewati karena tampaknya merupakan urusan-urusan pribadi—kita melihat Paulus merayakan keberagaman karunia dan pelayanan dari orang-orang yang sudah menjadi para pemimpin yang dewasa di antara orang-orang percaya itu.
Ia meminta jemaat Korintus memperlakukan anak didiknya, Timotius, dengan penuh hormat, karena meskipun ia berbeda dari Paulus, pemuda itu juga sedang melakukan pelayanan yang sama yang melengkapi pelayanan rasul itu (1 Korintus 16:10-11). Tanpa menjelek-jelekkan Apolos, Paulus menulis bahwa rekan sekerjanya dalam Kristus ini pada awalnya tidak mau mengunjungi jemaat itu, tetapi kemudian ia mulai mempertimbangkannya kembali – suatu pengakuan bahwa Apolos adalah satu pribadi tersendiri, dengan pikiran dan imannya sendiri (1 Korintus 16:12). Paulus kemudian menyebutkan nama Stefanus, Fortunatus, dan Akhaikus. Pelayanan mereka kepada Paulus adalah dalam bentuk memberi bantuan keuangan secara praktis (1 Korintus 16:15-18). Akhirnya, Paulus menyebut para pemimpin gereja yang dewasa, Priskila dan Akwila, yang membangun jemaat di rumah mereka, mendidik orang-orang percaya baru dalam iman (1 Korintus 16:19; Kisah Para Rasul 18:24-26).
Pola mengikuti pemimpin dirumuskan pada dasawarsa-dasawarsa awal gereja. Didache,sebuah dokumen yang berasal dari sekitar tahun 100 Masehi adalah satu contoh dari katekismus yang mula-mula—serangkaian pertanyaan dan jawaban yang harus dipelajari dan dihafalkan orang percaya baru sebagai bagian dari proses keanggotaan mereka di jemaat setempat. Didachedan akhirnya bentuk-bentuk katekisasi lainnya menjadi materi Pemuridan utama bagi gereja mula-mula, yang berfokus pada pengajaran-pengajaran pokok Tuhan Yesus dan juga praktik-praktik dasar tentangpengakuan iman bersama, persekutuan, dan struktur otoritas yang ditetapkan Allah dalam kehidupan bersama. Orang-orang Kristen muda belajar mengikut Yesus dengan mengikuti para pemimpin mereka.
Tetapi, meniru tidak boleh menjadikan keseragaman. Musisi Steve Taylor dalam lagu satirnya tahun 1983 yang berjudul“I Want to Be a Clone” menyebutkan ketakutan pada tekanan lingkungan orang Kristen: “They told me that I’d fall away / unless I followed what they say.” (Mereka bilang aku akan jatuh jika aku tidak menuruti perkataan mereka). Meniru keyakinan dan perilaku orang-orang yang berpengaruh di gereja mungkin tampaknya menjanjikan semacam kebijakan jaminan rohani yang akan memateraikan keselamatan mereka – atau setidaknya kedudukan mereka dalam kelompok itu. Tetapi kehidupan yang dibentuk oleh rasa takut akan Allah yang sehat akan menghasilkan buah yang sangat berbeda dari kehidupan yang dibentuk oleh rasa takut dikeluarkan dari kelompok. Takut akan Allah membawa kemerdekaan. Takut pada orang akan memperbudak.
“Program pemuridan” yang lebih baik tidak akan memperbaiki keadaan ini, karena masalah ini sudah berakar di dalam diri setiap kita sekuat ketakutan kita pada kemungkinan diabaikan atau ditinggalkan. Ketakutan tidak-dimuridkan yang tidak jelas ini membuat kita rentan terhadap tekanan lingkungan sekitar, entah kita orang Kristen yang masih baru maupun pemimpin yang sudah berpengalaman. Ketika teman saya Katie dan suaminya menilai pengalaman mereka di gereja itu, mereka terlebih dahulu meminta Allah menyingkapkan ketakutan-ketakutan mereka pada kemungkinan ditinggalkan atau dilupakan, dan kemudian memastikan bahwa keluarga mereka taat dalam melayani Tuhan melalui pekerjaan, menjadi orangtua dan keputusan-keputusan tentang gaya hidup.
Jeff dan Katie memiliki pertanyaan-pertanyaan yang baik. Dan pertanyaan-pertanyaan itu mendorong mereka untuk meminta dukungan doa dan nasihat dari orang-orang percaya dewasa lainnya – pendeta mereka, teman-teman mereka di gereja maupun di jejaring sosial mereka, termasuk saya dan suami. Proses ini memperjelas panggilan mereka sendiri pada tahap kehidupan mereka saat ini. Dan juga membuat merekalebih mengenali berbagai dinamika ketergantungan pada lingkungan sekitar yang tidak sehat di antara banyak keluarga muda di gereja itu. Alih-alih merasa ditolak atau dihakimi oleh mereka, Katie berkata pada saya bahwa ia justru merasakan belas kasihan yang baru terhadap mereka. Jeff dan Katie akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal dan mengungkapkan keprihatinan mereka kepada pendeta jemaat, yang ternyata mengatakan melihat hal yang sama juga seperti mereka.
- Oswald Sanders berkata, “Tidak ada makhluk hidup yang menjadi dewasa secara instan. Untuk mencapai kedewasaan intelektual, tidak ada alternatif lain bagi pelajar selain mempelajari sungguh-sungguh pelajaran-pelajaran yang diberikan. Dalam kehidupan rohani juga demikian. Pertumbuhan menuju kedewasaan rohani memerlukan usaha moral, disiplin, penolakan, dan kegigihan dalam mencapai tujuan. Tidak ada jalan pintas.”
Tekanan sesama orang Kristen adalah jalan pintas yang kontraproduktif. Dan mengenalinya akan menjadi langkah yang penting dalam perjalanan seorang murid menuju kedewasaan.