Tuhan dengan Kepribadian yang Terpisah
Merekonsiliasi Perjanjian Lama dan Baru
Oleh Chad Thomas Johnston
Dalam musim ketiga drama politik yang populer di Netflix, House of Cards, Presiden Frank Underwood berbicara dengan seorang pendeta tentang Yesus. “Saya memahami Allahnya Perjanjian Lama, yang kuasa-Nya sangat mutlak, yang memerintah melalui rasa takut, tapi… dia?” kata Underwood, sambil menunjuk pada Kristus yang tersalib.
Bagi Underwood, yang diperankan dengan apik oleh Kevin Spacey, Allah di Perjanjian Lama dan Baru memiliki sifat yang berbeda, dan ia tidak dapat memahami yang di Perjanjian Baru. Bahwa Anak Allah menahan diri untuk tidak menggunakan kuasa-Nya demi menyelamatkan diri-Nya sendiri dari maut di atas kayu salib tampak tidak masuk akal bagi politikus yang haus kekuasaan dan egois ini.
Underwood bukanlah satu-satunya orang yang tidak dapat merekonsiliasi Yahweh yang maha kuasa dengan Kristus, hamba yang menderita. Para psikolog yang memiliki pendapat yang sama dengan perspektif Underwood mungkin mendiagnosa Allah dengan gangguan identitas dissosiatif atau kepribadian ganda.
Ini adalah aspek karakter Allah yang mendefinisikan lintasan busur narasi dari Alkitab: Dia mengasihi dan rindu untuk hidup bersama anak-anak-Nya.
Saya pun telah menemukan bagian-bagian Alkitab yang membuat Perjanjian Lama dan Baru nampak seperti bagian representatif dari kepribadian ilahi yang berbeda. Namun semakin saya membacanya, semakin saya menemukan kesinambungan dalam karakter Allah yang terus ada sejak perjanjian sebelumnya hingga sesudahnya.
Ada satu bagian Firman – yang saya sebut sebagai “Perjamuan Pertama” – yang berkontribusi secara unik terhadap pemahaman saya akan kontinuitas ini. Di dalamnya, Musa dan lebih dari 70 orang Israel mendaki gunung Sinai. “Lalu mereka melihat Allah Israel; kaki-Nya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam dan yang terangnya seperti langit yang cerah. Tetapi kepada pemuka-pemuka orang Israel itu tidaklah diulurkan-Nya tangan-Nya; mereka memandang Allah, lalu makan dan minum” (Keluaran 24:9-11).
Makan malam dengan Allah. Di atas gunung? Saya berpikir. Terdengar seperti makan malam segitiga ilahi, bukan begitu?
Awalnya, apa yang saya baca ini terkesan anomali bagi saya: Dalam Perjanjian Lama, Yahweh menampakkan diri kepada umat-Nya — tetapi bukankah Dia lebih suka mengambil bentuk yang lebih misterius? Semak duri yang terbakar dalam Keluaran 3. Tiang awan di siang hari dan tiang api di malam hari dalam Keluaran 13. Namun dalam momen yang langka di Keluaran 24 ini, Allah membuat diri-Nya terlihat bagi manusia, dan mereka berada di dalam hadirat-Nya.
Allah yang muncul di pasal ini tidak cocok dengan pemahaman Frank Underwood tentang Allah di Perjanjian Lama. Pencipta yang memiliki kekuasaan mutlak dan memerintah melalui rasa takut tidak memiliki kebutuhan untuk bersekutu dengan ciptaan-Nya. Allah yang panjang sabar, iya – tapi itu kisah yang berbeda. Dari yang saya bisa pahami, inilah aspek karakter Allah yang mendefinisikan lintasan busur narasi dari Alkitab: bahwa Dia mengasihi dan rindu untuk hidup bersama anak-anak-Nya.
Dalam Kejadian 3:8, tertulis bahwa Allah “berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk”, memasuki dunia Adam dan Hawa, dan mendapati mereka telah menyimpang. Sekalipun ketidaktaatan mereka menandai permulaan keterpisahan manusia dari Allah, namun tidak menandai berakhirnya kasih sang Pencipta terhadap mereka.
Saat bumi yang kita tinggali saat ini berlalu dan bumi yang baru lagir, Allah dan manusia pada akhirnya akan hidup bersama.
Saat Tuhan membuat perjanjian dengan Abraham, dan kemudian dengan Musa, Ia menggapai ke seberang jurang yang ada antara diri-Nya dan para pembawa gambaran Allah (Imago Dei) yang telah menyimpang. Perjamuan perjanjian yang tertulis dalam Keluaran 24 tidak dapat dipahami sebagai insiden tersendiri, melainkan sebagai contoh lainnya dimana sang Pencipta menyingkapkan kerinduan-Nya untuk bersama dengan para pemberontak yang dikasihi-Nya.
Dalam Perjanjian Baru, Allah bersemayam diantara bangsa Israel di dalam pribadi Yesus – di dalam Immanuel, “Allah beserta kita.” Pada Perjamuan Terakhir, para ciptaan Allah memakan makanan perjanjian lainnya, dan Ia pun mengambil bagian pada saat ini. Perjamuan ini, sama seperti yang terjadi di kitab Keluaran, adalah bagian dari busur narasi yang lebih besar tadi, yang mencapai puncaknya di dalam kitab Wahyu. Saat bumi yang kita tinggali saat ini berlalu dan bumi yang baru lahir, Allah dan manusia pada akhirnya akan hidup bersama.
Dalam Wahyu 21:3, rasul Yohanes menulis, “Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka.” Apa yang akan dilakukan Frank Underwood di tempat semacam itu? Saya bayangkan hal itu akan membuatnya sakit. Bagaimana pun juga, kekuasaan yang ia miliki di bumi tidak ada harganya disana.