Yang Tidak Anda Ketahui
(Kayla Yiu)
Apakah Allah Benar-benar Memakai Kita?
Saya menempatkan dirisecara strategis di depan pintu gereja, mengenakan pakaian “sukarelawan” yang cerah, menunjukkan semangat untuk membantu, dan memperhatikan orang-orang yang berdatangan dari mana-mana. Seorang pemudi melihat saya dan dengan halusmencari jalan di antara orang yang bergegas-gegas.
“Jadi, bagaimana hal ini sebenarnya?” ia bertanya dengan lembut.
Pendatang baru klasik. Saya menyebutnya demikian—kamisedang menyandingkan wanita-wanita yang berada pada tahap kehidupan yang sama ke dalam wilayah-wilayah yang ada didaftar, dan setelah semua orang berkenalan, mereka bisa memutuskan apakah mereka mau menjadi kelompok kecil.
“Saya hanya tidak yakin saya akantinggal lama.” Ia memainkan tangannya sambil menunduk. “Saya baru saja putus dengan pacar saya dan …” Airmata menggenang di pelupuk matanya. Hati saya tersentuh dan ingin sekali menghiburnya.
Paat saat itulah pikiran itu menyelinap di kepala saya: Allah sedang memakai saya saat ini.
Setiap kali saya mendengar orang berkata Allah “memakai” mereka, saya membayangkan tubuh-tubuh yang “dikosongkan.”Allah akan memerintahkan jiwa mereka untuk mengevakuasi pikiran-pikiran yang ada dan Dia akan memerintah secara langsung. Kulit, mata, rambut mereka menjadi saranayang dipakai Roh Kudus, dan kemudian keajaiban yang sesungguhnya pun dimulai.
Saya berpikir jika Allah mengambil alih, Dia pasti akan membuat saya kelihatan seperti orang Kristen superdan membuatnya mau bergabung dalam kelompok. Jadi percakapan kami berlanjut dengan agenda ini dan belas kasih yang tulus. Saya mendengar diri saya menjelaskan bahwa saya dulu juga datang ke gereja dalamsituasi seperti ini, bahwa wanita-wanita dalam kelompok saya sekarang menjadi sahabat-sahabat sejati, bahwa saya tahu itu menakutkan. Sementara saya juga bertanya-tanya, Apakah saya sedang melakukan mendengarkan dengan baik? Bagaimana penampakan wajah saya saat ini? Apakah ia merasa nyaman? Atau merasa terpaksa? Apakah ini saya yang berbicara, atau Allah?
Ia tetap tinggal, tetapi kemudian saya bertanya-tanya apakah ia harus melakukan hal itu. Saya begitu yakin bahwa bergabung dalam kelompok wanita-wanita seperti dirinya adalah langkah berikutnya yang terbaik, tetapi bisa jadi teman-teman yang sudah dimilikinyajuga akan mendukungnya dengan sangat baik. Ia sudah merencanakan untuk merayakan ulang tahun bersama mereka pada malam itu dan bisa saja mengalami perjumpaan dengan Tuhanjuga dalampendampingan mereka. Mungkin saya terlalu ingin berperan dalam hidupnya sampai-sampai saya menyalahartikan kerinduan-kerinduan saya sebagai kerinduan Allah.
Tetapi Alkitab berkata pada saya bahwa tidak ada rencana Tuhan yang gagal (Ayub 42:2). Lalu, apakah Dia bekerja di luar kita? Tanpa kita? Sulit menerima bahwa Allah tidak memerlukan bantuan kita dalam menyatakan kasih-Nya, tetapi hal itu juga sama membingungkannya dengan berpikir bahwa Dia melibatkan kita. Andai saja kita tahu kapan harusmenyingkir dan tidak menghalangi langkah-Nya.
Saya tahu cara berpikir seperti ini merupakan hal yang lazim—apalagi di antara orang-orang seperti saya yang sering merasa cemas dan tertekan – tetapi jarang akurat. Paradigma hitam-putih, semuanya atau tidak sama sekali,sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan diri (yang disebut splitting atau memisah-misahkan) yang kita gunakan untuk memastikan. Jenis makanan tertentu bisa baik dan bisa juga tidak baik untuk saya. Seseorang bisa aman atau bisa juga tidak aman dalam relasi percintaan. Situasi tertentu bisa dikendalikan oleh Allah danbisa juga saya. Tetapi situasi-situasi kita seringkali tidak segamblang itu, apalagi yang berkaitan dengan pekerjaan Roh Kudus.
Dalam hal ini, gambaran yang lebih baik dari Allah yang datang – memakai saya seperti wayang yang dikendalikan, lalu menghilang – adalah gambaran tentang Allah dan saya dalam permainan Play-Doh (permainan mencampur adonan warna-warni). Dia biru, saya kuning, dan seorang anak kecil di Taman Bermain mencampurkan kami. Kami tidak dapat dipisahkan – bukan karena kami tidak bisa mengatakan siapa yang menguasai siapa, tetapi karena penyatuanitu tak bisa dibatalkan.
Allah hadir ketika saya mendengarkan wanita itu di depan gereja, dan Dia hadir bertahun-tahun yang lalu ketika saya belajar bahwa kasih itu mendengarkan, dan Dia hadir setiap kali ibu saya mencontohkan hal itu di masa kanak-kanak saya. Allah ada bersama saya. Warna biru-Nya bergerak bersama warna kuning saya; terkadangDia terlihat lebih jelas, dan terkadang kurang jelas. Tetapi kekudusan-Nya selalu tertutupi oleh kekotoran saya seperti batu pualam, yang tetap eksis dengan ataupun tanpa saya.
Jadi, saya tidak tahu bagaimana atau seberapa banyak Tuhan terlibat dalam interaksi-interaksi saya. Bisa jadi Dia menyesuaikan kontribusi-Nya dengan keadaan saya – siapa tahu? Tetapi saya tidak percaya bahwa Dia pernah absen atau Dia ingin saya keluar atau bahkanDia ingin saya merisaukan hal itu. Saya berharap saya bisa menggantiperkataan “Allah memakai saya”, yang selalu bergema dalam budaya Kristen kita, dengan kebenaran“Allah beserta saya”—janji yang sudah Dia ucapkan sejak semula.