Meneruskan Iman Kepada Generasi Berikut
Oleh Charles F. Stanley
Apa yang harus kita lakukan agar dapat meneruskan iman kita kepada generasi berikutnya?
Sebagai orang Kristen, salah satu perhatian terbesar kita adalah keluarga. Selama lebih dari satu abad terakhir ini, tatanan dan stabilitas keluarga sudah berubah drastis. Tantangan-tantangan yang sebagian besar dari kita hadapi ketika masih kanak-kanak kini sudah berubah sifatnya dan tingkatan intensitasnya. Bagaimana kita harus menghadapi semua yang disodorkan masyarakat kepada anak-anak kita yang membuat mereka terhasut untuk menjauhi keluarga dan gereja? Apa yang harus kita lakukan agar dapat meneruskan iman kita kepada generasi berikutnya?
Kabar baiknya adalah di antara segala pengaruh yang bersaing menarik perhatian anak-anak kita, orangtua tetap memiliki pengaruh yang paling kuat dan menentukan dalam hidup mereka. Ketika mereka menjadi dewasa dan membangun keluarga sendiri, mereka akan membawa kesan tentang bagaimana mereka sendiri dulu dididik, diajar dan diperlakukan dalam keluarga. Seperti rekaman yang dimulai di pikiran mereka ketika masih bayi dan terus berlangsung sepanjang masa kanak-kanak dan remaja. Hal ini membangkitkan semangat dan menenteramkan hati.
Anak-anak lebih dipengaruhi oleh yang kita sampaikan melalui sikap dan tindakan kita daripada melalui kata-kata kita. Mereka memperhatikan jika yang kita lakukan tidak sesuai dengan yang kita ucapkan. Dan ketidaksesuaian ini membentuk pola pikir yang membingungkan dan menimbulkan konflik, yang dapat menentukan apakah mereka akan mengikuti jejak kita atau menolak yang sudah kita coba teruskan kepada mereka.
Ketika rasul Paulus menasihati Timotius, anak rohaninya dalam iman, ia berkata, “Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku. Engkau telah ikut menderita penganiayaan dan sengsara seperti yang telah kuderita” (II Timotius 3:10-11). Kata kunci dalam ayat ini adalah mengikuti. Timotius mengikuti jejak Paulus karena ia melihat otentisitas dalam kehidupan Paulus. Ia mendengarkan ajarannya, tetapi yang lebih penting, Timotius menyaksikan sikap-sikap Paulus yang seperti Kristus, responsnya yang positif terhadap penderitaan dan komitmennya yang teguh kepada Tuhan.
Untuk mewariskan teladan semacam ini kepada anak-anak kita, kita harus menjadi orang yang konsisten. Kehidupan Kristen bukanlah sesuatu yang kita kenakan ketika di depan umum dan kemudian kita lepaskan ketika sedang berada di rumah. Allah menghendaki kita terus bertumbuh dalam kedewasaan rohani dan integritas (I Petrus 2:1-2). Jika kita ingin anak-anak kita mengasihi dan menaati Tuhan, kita harus memenuhi hati dan pikiran kita dengan Firman Tihan. Ketika anak-anak kita melihat kasih kita kepada Tuhan yang ditunjukkan melalui ketaatan kita terhadap perintah-perintah-Nya, mereka kemungkinan akan mengadopsi sikap dan tindakan kita juga.
Namun, jika kita mengaku memercayai Firman Tuhan tetapi mengabaikan perintah-Nya tentang keluarga, anak-anak kita akan bingung. Efesus 5:22-23 berkata, “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.” Budaya kita saat ini menganggap perintah ini sebagai model penindasan superioritas pria terhadap wanita pada zaman kuno. Padahal Tuhan memiliki tatanan ketetapan ilahi untuk semua ciptaan-Nya. Allah mahatahu dan mahakuasa yang telah menetapkan peredaran benda-benda langit dan perubahan pola musim dan cuaca di bumi adalah juga Allah yang memiliki rancangan ketetapan untuk keluarga.
Sebagai kepala keluarga, suami-suami sudah dipercayakan untuk berperan sebagai pemelihara, pelindung, pembuat keputusan dan pelayan yang rendah hati bagi keluarga mereka. Semua pria yang menyadari beratnya tanggung jawab ini tahu bahwa ia memerlukan dukungan dari istrinya. Peran istri yang tunduk bukanlah untuk dijadikan seperti keset, melainkan sebagai pasangan dan penolong yang dihargai. Meskipun peran suami dan istri dalam keluarga berbeda, keduanya sama-sama berharga. Dengan hikmat dan kebijaksanaan-Nya Tuhan tahu bahwa inilah tatanan terbaik untuk keluarga. Ketika anak-anak bertumbuh dalam keluarga yang menghormati dan menerapkan pola ini, mereka memiliki rasa aman dan mantap dengan kebijakan rancangan Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Jika kita ingin anak-anak kita mengikuti kita seperti Timotius mengikuti Paulus, kita juga harus jujur dan transparan. Ketika kita melakukan kesalahan, kita harus mengakui kesalahan itu dengan rendah hati, dan jika perlu meminta maaf kepada anak-anak kita. Terkadang kita mungkin takut mereka akan melihat hal ini sebagai tanda kelemahan; padahal, mereka justru akan lebih menghormati kita jika kita jujur dalam kelemahan kita. Selain itu, mereka juga akan belajar tentang arti penyesalan yang dalam dan kerendahan hati, yang sangat penting di mata Tuhan (Yesaya 66:2).
Transparansi juga termasuk memberi kebebasan kepada anak-anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka ketika mereka melihat kita tidak konsisten. Ketika putri saya, Becky, masih kecil, ia pernah meminta kesempatan untuk berbicara dengan saya pada suatu hari Minggu sebelum ke gereja. Setelah mengungkapkan kekesalannya pada saya selama 10 menit, ia berbalik dan pergi. Tiga minggu kemudian ia berkata pada saya, bahwa karena saya memberinya kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya tanpa membela diri, ia menjadi lebih mengasihi saya daripada sebelumnya. Allah memakai kejadian ini dalam hidup kami berdua – Dia menyingkapkan sesuatu yang perlu saya dengar, dan Dia juga meningkatkan kepercayaan putri saya terhadap ayahnya.
Anak-anak membutuhkan stabilitas yang berasal dari keluarga yang didasarkan pada kebenaran Alkitab, yang ditunjukkan melalui perkataan, sikap dan perbuatan. Meskipun kita tidak pernah menjadi orangtua yang sempurna, kita memiliki Bapa surgawi yang sempurna yang selalu mengajar, membimbing dan melatih kita di sepanjang hidup kita.