Panggilan Mulia
Dr. Corné Esterhuysen memiliki panggilan untuk melayani orang sakit – baik secara jasmani maupun rohani. Dan ia membawa pulang tugas praktiknya ke Afrika Selatan.
“Aku dapat Alkitab! Aku dapat Alkitab!”
Teriakan anak autis itu mungkin terdengar sampai ke seluruh tempat pembuangan sampah, tempat para pengungsi biasa mengais sampah, mencari-cari sesuatu yang mungkin dapat digunakan untuk menyambung hidup mereka. Di daerah pinggiran Musina, Afrika Selatan, ada banyak tempat seperti itu. Dr. Corné Esterhuysen banyak menjumpai orang-orang dalam kondisi ini – kebanyakan wanita dan anak-anak – ketika ia dan istrinya membagi-bagikan Alkitab dan In Touch Messengers (benda digital berisi rekaman audio bahan-bahan alkitabiah dalam bahasa tertentu yang bisa dinyalakan tanpa listrik/batere-Pen). “Dari wajah-wajah mereka Anda dapat melihat bahwa mereka tak punya harapan,” katanya. “Mereka tak punya tempat bernaung. Sangat mengenaskan.”
Esterhuysen percaya bahwa Allah membuatnya menjadi dokter untuk suatu tujuan, dan ia menganggap pekerjaan melayani pasien di sepanjang perjalanan hidupnya sebagai panggilan dan pelayanannya. “Saya dulu dokter Pavarotti ketika ia berada di Afrika Selatan, dan saya juga melayani perawatnya, orang Amerika, yang mengalami masa sulit. Saya dapat berdoa bersamanya. Setiap tempat yang Anda datangi adalah kesempatan untuk membawa kasih Yesus – salib dan pengorbanan yang sudah dilakukan Yesus – kepada mereka.” Ia lalu bercerita saat menjadi dokter panggilan di Million Dollar Golf Challenge. Suatu ketika ia dipanggil ke ruang direktur Asosiasi Pegolf Profesional atau PGA (Professional Golfer’s Association) itu karena istrinya menangis. “Ia didiagnosa mengidap kanker payudara, jauh dari keluarga, dan tidak tahu apa yang akan terjadi. Ia ingin bunuh diri. Saya dapat mendampingi orang itu untuk berdoa bersamanya, mengalihkan fokusnya dari situasinya saat itu kepada Yesus.”
“Itulah sebabnya saya senang bekerja sama dengan In Touch,” kata Esterhuysen. “Saya bisa naik taksi untuk mencari tahu tentang kepercayaan supir taksi itu dalam beberapa saat. Saya tidak pernah tergesa-gesa keluar dari mobil. Saya selalu membawa Messenger di dalam tas saya dan dapat memberikan benda itu kepadanya, menunjukkan cara menggunakannya dan seterusnya.”
Dibebaskan untuk Membebaskan
Dr. Esterhuysen lahir di Johannesburg pada tahun 1969, tetapi ia dibesarkan di daerah pertambangan sekitar 30 kilometer dari pusat kota. Meskipun ia dibesarkan di gereja, ia baru mengambil keputusan untuk mengikut Yesus setelah ia menjadi mahasiswa universitas. “Saya dulu tidak dapat berdoa seperti teman-teman saya,” katanya. Tetapi pada suatu malam, setelah mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan Tuhan, ia terbangun dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi padanya jika ia meninggal. Pengalaman itu sangat mengguncang dirinya. Ia lalu mencari nasihat dari teman-teman yang sudah percaya, dan mereka menjelaskan padanya bagaimana supaya ia dapat diselamatkan. Ia sadar bahwa ia tak pernah sungguh-sungguh menyerahkan dirinya kepada Kristus.
Tujuh belas tahun kemudian, Esterhuysen tetap menjadi pengikut Yesus yang setia, mengabarkan Injil dengan dukungan istri dan kedua anak mereka – seorang anak perempuan berusia 10 tahun dan seorang anak laki-laki berusia 6 tahun. “Setiap kali kami pergi ke mana pun di dunia ini, kepergian itu menjadi perjalanan misi keluarga kami. Kami membawa banyak barang untuk mengabarkan Injil, termasuk Messengers.”
Esterhuysen selalu berusaha membagikan imannya kepada orang-orang di sekitarnya, tetapi kemudian satu titik balik terjadi dalam hidupnya. Saat itu, dalam ibadah, pendetanya bertanya kepada jemaat tentang musim kehidupan apakah yang sedang mereka alami. “Saya dan istri menyadari bahwa kami sedang berada dalam musim dingin kehidupan kami,” katanya. “Kami tidak menjangkau ke dunia luar sebagaimana yang seharusnya. Di Afrika Selatan, Kekristenan adalah agama mayoritas, tetapi Kekristenan yang dangkal.” Ia lalu berdoa tentang apa yang harus dilakukan. Dan akhirnya, Tuhan memimpin keluarganya untuk pindah ke Rockhampton, Australia, tempat ia langsung bisa mendapat pekerjaan. Rencana semula mereka hanya akan tinggal di sana selama satu tahun. Tetapi sekarang, beberapa tahun kemudian, mereka sudah menjadi warganegara Australia yang disebutnya “wilayah selatan Roh Kudus yang dahsyat.”
“Allah menggerakkan orang-orang dari zona nyaman mereka untuk menjangkau yang terhilang,” kata Esterhuysen. “Salah satu tantangan terbesar yang kita semua hadapi adalah menaati ke mana pun Allah mau kita pergi dan memakai kita. Dan ketika Allah meminta Anda menyerahkan keluarga dan kampung halaman Anda untuk menjangkau orang lain, Anda tahu bahwa ketaatan itu lebih baik. Kami sudah diberkati dengan begitu banyak hal, dan sungguh merupakan hak istimewa dapat menyaksikan apa saja yang sudah Tuhan rencanakan untuk kami setiap hari.”
Pada suatu ketika, Esterhuysen memimpin upacara pernikahan sahabatnya di Mauritius, sebuah negara pulau di lepas pantai Afrika, yang penduduknya banyak yang berbahasa Prancis. Ia membawa Messenger dalam bahasa Inggris-Prancis, dan memberikannya kepada orang-orang yang berjualan macam-macam di pantai. “Kami mulai menceritakan tentang Yesus, dan seorang pria Muslim menatap kami sambil berkata, ‘Saya mau ini. Saya perlu ini. Bagaimana saya bisa memperoleh lebih banyak informasi? Saya sudah mencari-cari hal ini sepanjang hidup saya.’ Dan kami dapat memenuhinya dengan memberikan satu Messenger itu.”
Semua ini tidak berarti tidak ada lagi yang dikerjakan di kampung halamannya. Ayah mertua Esterhuysen tinggal di Afrika Selatan dan memiliki lahan yang luas di perbatasan Zimbabwe, di sebelah utara kota Musina (yang juga disebut Messina). Di sanalah, dalam salah satu perjalanan mudik keluarga mereka, Esterhuysen bertemu dengan seorang uskup dan seorang pendeta yang melayani di peternakan itu dengan menyediakan tempat tinggal dan makanan bagi para pengungsi Afrika tengah dan selatan. Tempat pengungsian itu bersifat sementara, dan 150 pengungsi pria yang tinggal di situ tidur di lantai beralaskan selimut dan hanya memiliki satu kamar mandi/cuci (sementara pengungsi wanita dan anak-anak ditempatkan di bagian lain). Di barak itu juga hanya ada satu ruang penyimpanan kecil untuk persediaan makanan yang akan dibagikan ke ratusan pengungsi dari Zimbabwe, Republik Demokratik Kongo dam negara-negara tetangga lainnya. Fasilitas yang tidak mendapat dukungan dari pemerintah ini bisa berjalan kebanyakan dari donasi dan pinjaman uang bank. “Ada 500 orang yang datang untuk mengikuti ibadah Natal,” kata uskup itu kepada Esterhuysen. “Kami tidak tahu apa yang harus diberikan kepada mereka, dan Allah ternyata mengirim kalian dengan Messengers.”
Musina juga memiliki komunitas orang China yang besar. Pemerintah Afrika Selatan sudah mengalokasikan tempat untuk para imigran ini memproduksi pakaian murah. Pusat kampung China terbesar ini sudah berjalan sekitar 15 tahun, tetapi kelompok-kelompok yang lebih baru terdesak ke daerah-daerah lebih terpencil. “Tidak ada yang menjangkau mereka,” kata Esterhuysen. “Ada lebih banyak orang berbahasa Mandarin di selatan Afrika Selatan dari yang kita ketahui. Mereka tinggal di toko-toko mereka dan tidak memiliki banyak hal.” Kelompok ini sulit berkomunikasi, sehingga menerima Messengers dalam bahasa Mandari dari Esterhuysen merupakan sumber kegembiraan bagi mereka.
Esterhuysen berkata bahwa meskipun Afrika Selatan secara umum terbuka terhadap Injil, “rintangan terbesarnya adalah orang-orangnya masih tertutup dan sudah menetapkan pemikiran sendiri terhadap hal-hal tertentu. Ada banyak kehancuran dan kemiskinan. Kami membagikan Injil tetapi juga menyediakan makanan untuk mereka. Di barak pengungsi, sulit untuk dapat menolong semua orang. Ada saja yang akan menyelinap tanpa mendapatkan Alkitab atau bungkusan makanan.”
Pekabaran Injil di Australia
Di Australia, mengabarkan Injil lebih sulit karena keanekaragaman orang dan sistem kepercayaan yang ada di sana. “Tantangannya adalah bagaimana menyampaikan Injil dengan cara yang bisa menjangkau pikiran mereka,” kata Esterhuysen. “Allah sudah menempatkan saya di tempat saya dapat bertemu banyak dokter – dari Sudan, Pakistan, India, Bangladesh, Singapura, dan China. Beberapa dari mereka akan bersama kami selama enam bulan saja sebelum mereka pindah ke tempat-tempat lainnya di Australia.” Esterhuysen ingin sekali membuat mereka berpikir, apakah yang mereka percayai adalah kebenaran, dan bertanya, apa sebenarnya yang aku percayai?
“Semua orang di sini tahu bahwa saya adalah orang Kristen,” katanya. “Saya mendoakan pasien-pasien saya. Bahkan jika ada yang keberatan, saya mendoakannya diam-diam. Banyak dari mereka yang disembuhkan melalui doa dan bukan yang lain. Penyembuhan terbesar adalah ketika orang datang kepada Yesus.” Tetapi menyatakan iman secara terbuka mengundang risiko. “Di rumah sakit, saya sering diolok-olok atau dibiIang ‘orang aneh’ karena saya mengikut Yesus secara terbuka. Tetapi ketika ada pasien yang hampir meninggal, mereka meminta saya untuk berdoa. Rekan-rekan kerja saya yang ateis menghindari situasi ini karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.”
Esterhuysen teringat pada seorang pasiennya, Gary Smith, yang mengalami gagal ginjal. “Gary adalah seorang pria yang sulit, yang selalu melakukan maunya sendiri, tetapi ia tahu ia akan meninggal. Kami sering merawatnya di rumah sakit, mengeluarkan cairan dari perutnya. Kondisinya makin memburuk, dan ia tidak memenuhi syarat untuk transplantasi hati.”
Esterhuysen dapat mengabarkan Injil kepada Smith dan memberinya Messenger, yang langsung ia gunakan. “Suatu pagi ketika ia dirawat di rumah sakit lagi, ia memanggil saya dan berkata bahwa ia menginginkan yang saya miliki dalam Yesus. Kami menjadi teman baik dan saya menceritakan kasih Bapa surgawi padanya setiap kali kami memiliki waktu bersama. Tiga minggu kemudian saya diminta membacakan sebuah puisi dan ayat-ayat Alkitab pada pemakamannya.”
Esterhuysen berkata bahwa semangat keluarganya untuk mengabarkan Injil berasal dari Roh Kudus. Filosofinya adalah ia tidak bisa meminta orang lain mengabarkan Injil jika ia sendiri tidak melakukannya dan menceritakan pada orang lain bagaimana Tuhan sudah menolongnya melakukan hal itu. “Pada akhirnya, semua itu bukan tentang saya atau istri saya atau anak-anak saya. Semua itu adalah tentang Bapa surgawi dan Tuhan kita Yesus Kristus, serta bagaimana kami dapat membawa Injil itu kepada dunia yang gelap dan lapar.”