Seni Yang Hilang Untuk Mendahulukan Orang Lain
Menjalani hidup yang mengutamakan orang lain daripada diri kita sendiri.
Oleh Jen Hatmaker
Baru-baru ini teman saya menceritakan pengalamannya tumbuh di dalam gereja dan dimana kemudian ia menjadi seorang pemimpin pelayanan. Ia menggambarkan usia 50-annya sebagai “hidup dalam kenyamanan dirinya sendiri” dibandingkan dengan kecemasan yang ia rasakan saat ia berusia 20-an dan 30-an, dimana ia mengalami banyak pergumulan, pergolakan dan usaha untuk memahami teka-teki penginjilan Barat dimana bagian-bagiannya nampak tidak cocok satu sama lain. Damai sejahtera yang saat ini ia alami terdengar seperti balsem. Ada sesuatu yang indah tentang pertambahan usia, hidup mapan, menjadi lebih lembut, tidak lagi kasar dan tidak lagi tersiksa secara batin.
Namun terkadang saya bersikap sinis dan tidak lagi dapat mendengar penjelasan tentang perasaan kita yang tersakiti. Terkadang saya kuatir bahwa perjalanan kita menuju Kerajaan Allah mencakup level narsisme yang tidak seimbang. Dalam pergumulan pribadi kita, Yesus mungkin tersingkirkan. Namun syukurlah, bahwa sekalipun kita tidak sependapat dengan berbagai metode, kita tentunya dapat sepakat bahwa kita melayani seorang Juruselamat yang mengutamakan orang lain. Hal ini bahkan bukanlah area yang abu-abu.
Kemarin, seorang teman saya lainnya mengirimkan kumpulan swafoto yang dipublikasikan oleh seorang pria dewasa yang ia kenal. Dalam setiap fotonya, ia terlihat tanpa ekspresi selagi salah satu tangannya mengambil gambar apa yang ia rasakan di dalam hatinya. Fotografer ini berusia 30-an. Ini bukanlah hal yang baik; gambaran akan keangkuhan diri terlihat dan hal ini membuat saya prihatin dengan perjalanan rohani generasi saya. Saya rasa kita dapat mengurangi gambar swafoto dari jiwa yang tersiksa di dunia ini.
Jangan bayangkan saya sedang menuduh orang lain – sayalah yang berada di urutan pertama. Sebagai orang yang terus-menerus bergumul untuk menyeimbangkan nubuat dan kerendahan hati, kebenaran dan kasih karunia, saya pun mempertanyakan pertanyaan itu pada diri saya. Apakah kita membutuhkan lebih banyak pemaparan publik tentang ketidakpuasan rohani kita? Apakah kita sudah melewati batas dan mencocokkan Tuhan ke dalam kisah kita, dan tidak mencocokkan diri kita ke dalam kisah Tuhan? Seringkali inti kisahnya adalah diri saya sendiri selagi Yesus digiring ke luar arena. Akibatnya, kita terbutakan terhadap saudara-saudara kita sendiri, yang telah menjadi matang dalam kemampuan mereka dan dalam rohani mereka. Bukannya merenungkan diri kita sebagai bagian yang lebih besar dari tubuh Kristus, kita malah memprioritaskan kisah kita untuk mempermalukan anggota-anggota tubuh lainnya (baca I Korintus 12:12-26.)
Suami saya Brandon yang adalah seorang pendeta, baru-baru ini mengkhotbahkan I Korintus 10:23-33. Dalam bagian firman ini, sang rasul Paulus menulis, “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorangpun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain” (I Korintus 10:23-24). Teologi yang indah ini menggaris-bawahi bagaimana Tuhan membengkokkan kebebasan kita dan bagaimana kita memiliki tanggung jawab untuk menjalankan kemerdekaan kita dengan hati-hati. Keseluruhan pasal ini menuntun pada suatu kebiasaan yang sederhana: untuk lebih mengutamakan orang lain melebihi diri kita sendiri. Ini adalah suatu kebiasaan yang mengajarkan kepada kita untuk berpikir sebelum kita melontarkan keluhan kita, dengan mengajukan pertanyaan seperti, Bagaimana keluhan ini akan terdengar bagi orang lain? Bagaimana perasaannya terhadap keluhan ini? Bagaimana keluhan ini akan berdampak kepadanya? Bagaimana agar dalam interaksi ini, bukan diri saya yang diutamakan, melainkan diri orang itu?
Mengutamakan orang lain menjadi penanda kedewasaan Kristiani. Dan hal ini berlaku dalam berbagai keadaan.
Terkadang, mengutamakan orang lain berarti mempertimbangkan hati nurani sesama orang percaya, sekalipun dengan seribu alasan berbeda, ia tidak setuju dengan kebebasan pribadi kita, perbedaan teologia dan pilihan-pilihan dasar kita. Mengutamakan orang lain berarti mengevaluasi bobot perkataan kita ketika kita menyerang orang-orang Kristen yang telah lebih dahulu membangun sebelum kita atau yang sedang membangun dengan cara berbeda dengan kita. Dengan rendah hati kita mengakui bahwa kita tidak memiliki secara eksklusif pengetahuan tentang kehendak dan jalan-jalan Tuhan. Faktanya adalah bahwa Ia dapat bekerja dalam konteks yang kita tidak pahami. Kita memilih untuk menghormati daripada memilah-milah hasil kerja rohani orang lain. Sebagaimana Alkitab mengatakan kepada kita, “Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah” (I Korintus 10:32).
Terkadang hal ini juga berarti mendahulukan hati nurani seorang tidak percaya, menghargai masa lalunya atau rasa takutnya. Hal ini berarti tidak menyodorkan keyakinan kita atau membuat percakapan menjadi “kikuk”. Hal ini juga berarti memberikan ruang dalam hubungan kita dengan orang lain untuk mengemukakan pandangan dunia yang berbeda, menciptakan suatu ruang yang aman bagi orang lain untuk merasa nyaman daripada menciptakan ruang untuk menjadi pihak yang benar. Saat Yesus berkata bahwa dunia akan mengenal kita dari kasih kita, Ia bersungguh-sungguh akan maknanya. Orang mendekat kepada kasih karunia-Nya jauh sebelum mereka memahami keilahian-Nya.
Saling mengutamakan satu sama lain sungguh merupakan jalan tertinggi untuk menjalani hidup, bukan hanya demi kesehatan komunitas, melainkan juga demi kesehatan diri kita sendiri. Sejujurnya adalah hal yang melelahkan untuk terus-menerus berbeda pendapat di setiap waktu. Sesungguhnya ada pekerjaan Kerajaan Allah yang lebih penting dibandingkan terus-menerus membuat orang lain marah. Menurut saya, biarkanlah para remaja bertengkar; mereka akan berbaikan kembali dalam beberapa tahun. Bagaimana dengan orang-orang dewasa yang duduk bersama di beranda dan meminum teh hangat? Kita sudah cukup tua untuk mengetahui bahwa sesungguhnya tak seorang pun akan memenangkan pertengkaran itu.
Tentu saja, mengutamakan orang lain tidak berlaku dalam konteks penyiksaan atau teror, eksploitasi atau hal-hal yang membahayakan. Alkitab bukanlah pedoman untuk membuat orang lain menjadi korban. Itu adalah pembahasan yang sama sekali terpisah. Namun di dalam hubungan secara umum antara orang Kristen dan ateis dan agnostik dan orang tua dan anak muda serta denominasi dan budaya yang berbeda, saling mengutamakan satu sama lain dengan cara yang sama seperti Kristus melakukannya, dapat benar-benar mengubah dunia.
Seperti apa bentuknya untuk mendahulukan musuh Anda? Bagaimana dengan mendahulukan seseorang yang tidak memiliki keyakinan yang sama dengan Anda? Bila menjadi pihak yang benar membuat Anda duduk di kursi belakang, akankah itu mengubah cara Anda berkomunikasi? Akankah gereja akan kembali mendapatkan suara nubuat mereka? Bila kita mendahulukan pasangan kita, akankah pernikahan kita hidup kembali? Saling mendahulukan satu sama lain merupakan langkah rohani pertama menuju kepada kesembuhan dan pemulihan, pembebasan dan penguatan, hubungan dengan sesama serta kasih. Inilah cara Yesus dan inti kita diselamatkan.
Bagaimana bila seperti ini: Saya mendahulukan Anda, dan Anda mendahulukan saya, dan setiap orang adalah pemenangnya.