Kasih Tak Pernah Gagal
Sekalipun pengorbanan diri tidak penah mudah, kita dapat mempelajarinya seiring dengan waktu.
Oleh Dallas Hazelrig
Suami saya Russel adalah seorang pemburu yang antusias. Hingga ia memiliki satu lemari baju yang dikhususkan hanya untuk pakaian berburu. Kami memiliki dua kijang dan seekor rusa tergantung di dinding ruang keluarga kami, belum lagi tengkorak rusa yang tak terhitung jumlahnya di garasi.
Suatu malam di akhir minggu yang panjang, saya begitu lelah dan melompat ke atas tempat tidur. Saya sudah tertidur selama kurang lebih 1 jam saat tabrakan yang keras mengguncang rumah kami. Dalam kepanikan, saya terbangun dan berlari ke ruang keluarga, hanya untuk menemukan rusa yang sangat besar di atas lantai saya, dikelilingi oleh pecahan kaca.
Tanduknya meninggalkan goresan sekitar 30 cm dan menghancurkan lubang besar di dinding, merusak gambar pernikahan favorit saya. Pecahan kaca tersebar di sofa, karpet, dan lantai seperti minuman tumpah. Lebih buruknya lagi, saya menginjak pecahan kaca itu saat saya lari terburu-buru ke ruang keluarga. Saya berjalan tertatih-tatih ke wastafel, dengan hati-hati menghindari pecahan kaca lainnya yang ada, sebelum saya sampai di wastafel untuk membersihkan kaki saya yang berdarah.
Saya berharap saya dapat berkata bahwa saya meresponinya dengan lebih baik, bahwa saya mengambil sapu, menertawai kejadian ini, dan menolong Russel membersihkan ruangan. Namun bukan itu yang terjadi. Saya marah, lelah, dan sekarang terluka. Saya berpikir, Siapa pula yang membutuhkan banyak hewan mati di dindingnya? Saya mengeluh tentang bingkai yang rusak – dimana foto kesukaan saya sekarang terdapat lubang yang menggantikan wajah kami di foto. Lalu saya kembali ke tempat tidur, meninggalkannya sendiri untuk membersihkan pecahan kaca. Dan saya mungkin telah membanting pintu sedikit keras saat itu. Sekalipun saya tahu itu bukan kesalahannya – lagipula, satwa liar lainnya masih bertengger di dinding saya – saya begitu frustasi dan marah, dan saya melampiaskan itu kepadanya.
Penulis Lysa TerKeurst berkata, “Ada realita indah yang bernama kemajuan yang tidak sempurna … langkah-langkah kemajuan lambat yang terbungkus di dalam kasih karunia.” Saat-saat seperti inilah yang mengingatkan saya betapa besar kasih karunia itu. Terlalu sering saya berpikir bahwa saya telah memahaminya. Saya tumbuh di dalam gereja, bersekolah di sekolah Kristen, dan sekarang bekerja dalam pelayanan. Saya memiliki ayat-ayat Alkitab seperti I Korintus 13 “pasal kasih” yang saya hafal sejak saya kecil.
Saya mendapati bahwa sekalipun kebenaran-kebenaran ini tertanam di dalam pikiran saya, namun mereka tidak selalu membekas sepenuhnya di dalam hati saya.
Suami saya dan saya baru saja merayakan ulang tahun pernikahan kami yang pertama. Sekalipun terdengar klise, ini adalah tahun yang luar biasa. Ia membuat saya tersenyum dan tertawa dimana tak seorang pun dapat melakukannya. Kebaikannya tak terbatas, dan ia memimpin dengan hati hamba. Namun pernikahan tidaklah mudah – sesuatu yang saya pelajari terus-menerus. Alkitab mengatakan kepada saya untukmemelihara mulut dan lidah saya (Amsal 21:23). Alkitab mengajarkan saya untuk tunduk kepada suami saya, seperti kepada Tuhan (Efesus 5:22). Beberapa hal tidak terjadi secara alami; Saya lebih banyak bertindak dan mengatakan apa yang saya ingin katakan. Dan saya mendapati bahwa sekalipun kebenaran-kebenaran ini tertanam di dalam pikiran saya, namun mereka tidak selalu membekas sepenuhnya di dalam hati saya
Saya meyakini bahwa pernikahan mengajarkan saya pada level yang berbeda. Saya mendapati bahwa saya dapat dengan mudah “mengasihi” di dalam lingkungan pekerjaan yang profesional dan sopan. Mengasihi orang yang saya temui dua kali dalam seminggu di gereja selama satu jam pun tidaklah menantang bagi saya. Dan saat suami saya dan saya masih berkencan, bertemu satu sama lain beberapa hari sekali, itu adalah sukacita bagi saya untuk tersenyum dan mengatakan hal-hal yang manis kepadanya. Namun di dalam pernikahan, waktu kami bersama mencakup jadwal ketat yang diisi dengan pekerjaan, memasak, membersihkan, pekerjaan kebun, dan membuat anggaran belanja. Kami harus membuat keputusan bagaimana cara menghabiskan waktu senggang kami dan kapan untuk mengunjungi keluarga besar pada masa liburan. Kami berdua memiliki kebiasaan buruk dan hari yang buruk. Bagaimana saya memilih untuk meresponi gangguan setiap hari – dan keadaan darurat yang besar – adalah saat dimana saya memilih untuk sungguh-sungguh mengasihi.
Saat Natal lalu, saya mengunjungi kakek dan nenek saya. Kakek saya sedang sekarat. Ia menderita dementia, mengalami beberapa serangan stroke yang membuatnya tidak dapat bangun dari tempat tidur, dan tidak dapat makan makanan padat. Saat saya disana, saya mengamati nenek saya. Ia memandikan dan menyuapinya, mengganti popok dan mendengarkan dia berbicara tak teratur. Ia memegangi tangannya dan tidur di sofa di samping tempat tidur kakek di ruang keluarga. Nenek saya, yang suka pergi keluar dan bersosialisasi, tinggal di rumah untuk merawatnya. Semua dilakukannya dengan senyuman. Bahkan pada hari-hari yang sulit, dimana sekarang lebih sering terjadi, ia melayani dan mengasihi dan menanggung segalanya.
Bagaimana saya memilih untuk meresponi gangguan setiap hari – dan keadaan darurat yang besar – adalah saat dimana saya memilih untuk sungguh-sungguh mengasihi.
Ia tidak bangun di suatu pagi dan memutuskan bahwa ia akan mengasihi kakek saya. Diperlukan waktu bertahun-tahun untuk memilih mengasihi dia setiap hari dalam hal-hal yang kecil dan hal-hal yang besar – suatu pengalaman yang memberikan landasan kuat yang ia miliki sekarang.
Bukannya berurusan dengan tempat tidur rumah sakit dan dementia, Russel dan saya berurusan dengan siapa yang membuang sampah keluar atau melipat pakaian setelah dicuci. Jadi, saya harus membuat pilihan setiap hari untuk mengasihi. Saya harus memutuskan untuk sabar, untuk menjadi pribadi yang menyenangkan, dan tidak mudah marah – belajar bagaimana saya tidak mementingkan diri saya sendiri dan memaafkan tanpa suatu pembelaan di saat ini – disini, sekarang ini. Sebab suatu hari nanti akan ada sesuatu yang lebih besar dan lebih sulit untuk dihadapi. Dan satu-satunya cara untuk mempersiapkan diri untuk apa yang akan terjadi adalah dengan menundukkan diri saya sepenuhnya kepada Yesus.
Apakah menundukkan diri kepada Tuhan itu mudah? Tentu saja tidak. Tentunya, saya akan terus bergumul dengan hal ini. Namun saya sedang belajar. Saya sedang belajar untuk mendengarkan dengan pikiran yang terbuka dan bukannya melawan dengan perkataan. Saya berusaha untuk membalas dengan jawaban yang terdengar menyenangkan dan bukan dengan nada frustasi. Saya berusaha untuk ingat membawa sampah keluar dan memeriksa kotak surat. Saya mencocokkan kaus kaki, sekalipun saya lebih suka melemparkan semuanya ke dalam lemari pakaian. Saya sedang belajar untuk menanggung segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu dan bertahan menghadapi segala sesuatu. Sebab pada akhirnya, kasih tidak pernah gagal.
Hari berikutnya, saya ke gudang untuk mengeluarkan penyedot debu. Saya membersihkan sisa pecahan kaca – dari sofa, karpet dan lantai. Saya mencuci selimut dan bantal. Dan pada malam harinya, dengan rusa di atas lantai memandang ke arah kami, suami saya dan saya duduk dan menonton film. Sekalipun kecil, itu adalah suatu kesempatan untuk mengasihi.