Menyembah Allah Dengan Tubuh Kita
(Winn Collier)
Seksualitas dan Kehidupan Kita bersama Allah
Ketika saya merenungkan saat-saat saya mengalami rasa bersalah, ketakutan atau kebingungan yang paling dalam, semua itu ternyata berkaitan dengan hal-hal paling pribadi dan intim. Siapa saya sebagai laki-laki? Apa artinya menjadi makhluk seksual? Saya harus bagaimana dengan segala hasrat dan tubuh saya – dan apakah orang Kristen juga diharapkan memperhatikan hal-hal semacam itu? Saya ingat waktu saya masih kuliah, betapa saya kewalahan dan merasa putus asa karena tak henti-hentinya didera pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Saya ingat gelombang-gelombang rasa malu yang muncul karena saya berpikir orang Kristen yang baik tentu tidak bergumul seperti ini. Saya sudah belajar banyak tentang doktrin dan disiplin, tetapi saya belum pernah belajar banyak tentang orang Kristen yang memahami tubuh, seksualitas dan keadaan dirinya.
Bersyukur, ketika saya terus bercakap-cakap dengan mentor-mentor yang bijaksana dan membaca Alkitab, saya mendapati betapa banyaknya Alkitab berbicara tentang hubungan antara tubuh dan iman kita. Saya menemukan, misalnya, betapa rasul Paulus memberi perkataan yang tepat dalam kebingungan saya: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah; itu adalah ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1). Paulus berkata bahwa tubuh kita bukanlah hal yang tak ada kaitannya dengan kehidupan kita bersama Allah, tetapi justru merupakan ungkapan penting dalam penyerahan seluruh hidup kita kepada Yesus. Paulus menasihatkan kita untuk menyerahkan tubuh kita sebagai tindakan persembahan.
Menganggap bahwa tubuh ikut berperan dalam penyembahan mungkin tampaknya aneh karena kita orang modern terlalu utilitarian (berpikir sangat praktis). Bagi banyak dari kita, tubuh kita tampaknya tak lebih dari sekumpulan tulang dan otot yang memungkinkan kita bernapas, bergerak dan mencerna makanan. Kita sudah kehilangan banyak misteri yang melekat pada fakta bahwa Roh Kudus tinggal di dalam tubuh jasmani kita. Kita kehilangan banyak kekaguman mendalam tentang betapa kita hidup di dalam tubuh yang merupakan gambar Pencipta kita.
Dalam sejarahnya, orang Kristen sudah berbicara tentang pentingnya mengejar kekudusan. Meskipun panggilan untuk hidup kudus tentu saja berarti kekudusan di ranjang pernikahan, namun panggilan ini juga meliputi banyak hal lain. Hidup kudus berarti menyerahkan tubuh seseorang (seperti halnya pikiran dan hati) dalam kerinduan untuk mengasihi Allah sepenuhnya. Demikian juga, ketika kita menyebut seksualitas, kita jelas sedang berbicara tentang komitmen-komitmen untuk mempersembahkan diri kita dengan penuh pengorbanan dalam pernikahan dan mengungkapkan kerinduan kita untuk menolak hawa nafsu dengan kehancuran yang diakibatkannya. Kita berbicara tentang karunia melajang dan bagaimana karunia ini dapat dipakai untuk melayani kerajaan Allah. Namun, kita juga berbicara tentang hal yang lebih besar – keyakinan bahwa bagi orang Kristen, spiritualitas meliputi tubuh secara fisik. Kita percaya bahwa meskipun sudah tercemar oleh dosa, tubuh kita itu baik karena Allah yang sudah menciptakannya, dan tubuh kita merupakan penerima dan sekaligus sarana dari kasih Allah sendiri.
Spiritualitas yang meliputi tubuh ini menunjukkan bagaimana kita harus hidup di dunia dan dalam persahabatan dengan orang lain; mengajar kita menghargai tanggung jawab dan janji penyatuan seksual dan memperlakukan satu sama lain dengan penuh hormat. Menyembah Allah dengan tubuh berarti kita menolak cara-cara pria yang merendahkan wanita (dan juga cara-cara wanita yang merendahkan pria); mengubah pergumulan kita tentang citra tubuh dan peperangan yang terus-menerus terhadap makanan; mengajar kita bahwa tubuh adalah pemberian Allah yang patut disyukuri dan diperhatikan/dipelihara.
Melakukan ketaatan kepada Allah dengan tubuh kita berarti memandang tubuh bukan sekadar segumpal molekul yang suatu hari akan kita buang; tetapi tubuh kita adalah perwujudan gambar Allah yang indah di dalam kita, yang menolong kita untuk berpartisipasi dalam kehidupan Allah. Seperti dikatakan Paulus, “Tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh” (I Korintus 6:13). Kita mengejar kepenuhan seksual bukan karena kita membenci tubuh kita tetapi karena kita sangat bersyukur atasnya dan ingin sepenuhnya mengasihi, mentaati dan bersuka di dalam Tuhan.
Meskipun kita juga tahu benar bahwa tubuh kita (dengan segala keberadaannya) harus dipulihkan, diubahkan dan dibebaskan. Namun pada akhirnya, bukankah ini harapan kebangkitan, bahwa tubuh kita pada akhirnya akan menjadi seperti yang Allah maksudkan? Jadi, menjadi orang yang memiliki tubuh bukanlah untuk dihindari tetapi dihargai, ketika kita dengan penuh doa tunduk pada perbuatan baik dan masa depan yang baik yang Allah rancangkan untuk kita.