Tuhan di Dalam Mesin
Betapapun terpencilnya kita, kita tidak pernah sendirian.
Oleh Jamie A. Hughes
“Sampai jumpa 30 menit lagi,” ujar teknisi, sambil menekan tombol yang mengirimkan saya ke dalam perut barang ini.
Saya merapatkan bahu saya, membuat diri saya sekecil mungkin untuk suatu perjalanan singkat ke dalam mesin MRI. Ini adalah prosedur yang saya telah lakukan belasan kali sejak saya didiagnosa menderita multiple sclerosis (MS) pada tahun 2004, namun entah mengapa, saya selalu terkejut dengan betapa kecilnya mesin ini dengan diameter 60 cm.
Begitu mejanya berhenti, saya membiarkan lengan saya menempel di sisi tabung. Kemudian saya menyesuaikan “tombol panik” di tangan kanan saya dan menyilangkan pergelangan kaki saya yang sekarang terasa seolah-olah mereka bagian dari dunia yang berbeda – dunia di luar penjara yang keras ini, dimana beberapa menit sebelumnya, saya berjalan melewati ruangan-ruangan dimana beberapa orang mendapatkan kabar baik, sedangkan yang lainnya kabar buruk. Sekalipun saya berada di tengah-tengah gedung Rumah Sakit yang sibuk, saya tidak pernah merasa terisolasi seperti saat ini.
Begitu tesnya dimulai, tidak ada hal lain yang dapat dilakukan kecuali tetap diam dengan sempurna. Namun sementara tubuh saya tidak bergerak, pikiran saya bergerak dengan bebas dari satu kekuatiran ke kekuatiran lainnya. Bagaimana bila dokter menemukan sesuatu kali ini? Mungkin sakit kepala yang saya alami bukan karena kelelahan. Bagaimana saya bisa menulis bila saya buta?
Rasa takut membuat ruang sempit ini semakin sempit, sehingga saya menutup mata saya dan – saat ada jeda diantara bunyi keras dari mesin ini – saya mengambil nafas yang dalam.
Dalam keheningan singkat itu, saya disadarkan. Tuhan adalah Tuhan di luar mesin ini yang memeluk saya dalam pelukan-Nya yang aman, dan Ia pun Tuhan di dalam mesin ini. Tidak ada satu pun tempat, seberapapun kecilnya, dimana Ia dilarang masuk. Tidak ada satupun tempat dimana Ia tidak memegang kendali. Dan disana, di dalam mesin itu, kata-kata Daud bergema: Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau” (Mazmur 139:7-8).
Dan sekalipun tidak ada yang berubah di sekeliling saya, saya ingat bahwa saya tidak dibatasi oleh mesin ini, ataupun diri saya didefinisikan olehnya. Apapun hasil pemindaiannya – apakah ada luka baru yang muncul atau otak saya banyak parutan lebih dari yang saya duga – saya akan bangkit dan meninggalkan tempat ini dengan cara yang sama saya memasukinya: melewati banyak lorong, sebagai anak Tuhan yang sama sebagaimana ketika saya masuk.