Bapa, Ampunilah Mereka?
(Michelle Van Loon)
Ketika Teman menjadi Musuh Terselubung
Ketika menginjak usia 30-an, saya mendapati bahwa saya memiliki musuh. Saya terhenyak karena mereka adalah sebagian dari orang-orang yang datang ke gereja bersama saya selama beberapa tahun terakhir itu. Mereka memang tidak melakukan penyamaran seperti para penjahat di film-film laga atau berlaku nakal seperti gadis-gadis populer di sekolah menengah saya. Musuh-musuh saya adalah orang-orang yang saya kenal sebagai sesama anggota keluarga besar (gereja) saya.
Sesungguhnya, suasana kekeluargaan di dalam Persekutuan First Avenue itulah yang menarik suami, saya, dan ketiga anak kami memilih bergabung di gereja kecil ini tak lama sesudah kami pindah ke tempat baru. Kami menikmati ibadah Minggu di tempat ini dan menghargai kesempatan-kesempatan bersosialisasi dengan sesama anggota gerejasepanjang minggu, baik melalui kelompok kecil Pemahaman Alkitab maupun acara-acara makan malam dan piknik bersama yang informal.
Saya menghargai budaya saling memperhatikan yang terjadi di First Avenue—seperti, ketika kami menelpon seorang teman gereja untuk memberitahukan bahwa ayah saya meninggal pagi itu, lalu dalam waktu satu jam saja dua orang teman gereja yang lain sudah muncul di rumah kami, membawa panci-panci masakan dan menawarkan bantuan untuk menjaga anak-anak, serta memastikan kami memiliki cukup uang untuk menghadiri pemakaman di bagian negara lain.
Dua tahun setelah kami datang ke gereja itu, suami saya Bill diundang untuk menjadi penatua. Namun setelah kami bergabung dalam tim kepemimpinan, kami mendapati bahwa segala sesuatunya ternyata tidak seharmonis dan penuh kasih sebagaimana yang kelihatan. Seorang penatua lain, Jack, menganut paham teologi yang agak berbeda mengenai pribadi dan karya Kristus, yang membuatnya berselisih dengan para pemimpin lainnya. Meskipun Jack sudah sepakat untuk tidak menyampaikan pemikiran-pemikirannya kepada orang-orang di jemaat ketika ia dan para penatua membahas pandangan-pandangannya, mereka menyadari bahwa secara diam-diam ia masih menyebarkannya di antara kelompok pengikutnya. Pada saat Bill bergabung dalam tim kepenatuaan, Jack sedang berbesar hati karena ternyata sebagian jemaat mendukung pandangannya. Jack mulai memberikan referensi-referensi tentang pandangannya yang tidak lazim itu ketika ia mendapat kesempatan untuk menyampaikan khotbah Minggu dari waktu ke waktu.
Benih perpecahan berkembang di lingkungan ini. Karena Bill adalah orang baru di dewan penatua, Jack dan para pengikutnya mulai mengkambinghitamkannya atas masalah-masalah yang terjadi di gereja. Bill memang pernah mengajukan beberapa pertanyaan secara terus terang kepada Jack dan penatua lainnya tentang teologi Jack dalam dua kali pertemuan, dan sebagai hasilnya, desas-desus mulai beredar tentang Bill: bahwa ia adalah seorang pembuat masalah, bahwa ia datang untuk memecah-belah gereja. Beberapa jemaat wanita mulai tidak mau berbicara dengan saya lagi kalau tidak terpaksa. Anak-anak kami pun tidak diundang lagi ke acara-acara yang diadakan oleh orang-orang di kubu Jack.
Kepercayaan di antara jemaat merosot, dan orang-orang mulai menilai perkataan dan kesetiaan satu sama lain untuk mengetahui di pihak mana mereka berada. Kami tahu bahwa untuk setiap gosip yang kembali kepada kami tentang Bill dan penatua lain yang menentang Jack, peredarannya bisa sampai 10 kali lebih di lingkungan kami.
Ada juga desas-desus bahwa Jack dan para pengikutnya berencana akan meninggalkan gereja. Bill dan para pemimpin lainnya lalu menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mengunjungi setiap rumah jemaat dan mencari tahu apakah mereka dapat menjelaskan persoalan dan memperbaiki persekutuan. Dan yang mengerikan adalah setiap orang yang bersekutu dengan Jack memberi respons yang sama, “Semuanya baik-baik saja. Kami tidak mengatakan apa-apa.”
Lalu pada suatu hari Minggu, “Team Leaver”—yang sekitar sepertiga dari seluruh jemaat kami yang berjumlah 125 orang – tidak muncul untuk ibadah. Jack kemudian memberitahu kami bahwa kelompoknya memutuskan tidak akan kembali. Ia memberitahu para penatua bahwa kelompoknya berencana akan bergereja di rumah untuk sementara sampai mereka dapat menentukan tindakan selanjutnya.
Kami yang ditinggalkan merasa hancur dengan relasi-relasi yang rusak dan kacau ini. Jemaat terus menyusut dalam bulan-bulan selanjutnya. Sebagian, yang merasa bosan dengan drama itu, pergi untuk mencari ketenangan. Yang lain mencari tempat bernaung di gereja yang lebih besar, yang memiliki program anak-anak yang berfungsi (Tiba-tiba saja, hilangnya tenaga pengasuh, pengajar dan mahasiswa sangat memengaruhi pelayanan kami kepada anak-anak). Sebagian lainnya memutuskan untuk mengikuti Jack dan gereja barunya. Dua tahun sesudah drama intens itu menimbulkan kepergian “Team Leaver” dan bulan-bulan kesedihan yang mendalam dan penuh doa setelahnya, Bill dan para pemimpin yang masih ada mengumumkan dengan hati yang hancur bahwa Persekutuan First Avenue akan ditutup.
Setelah semua peristiwa ini, kami memerlukan waktu yang sangat lama untuk mengatasi kesedihan dan kebingungan yang dirasakan setiap anggota keluarga kami tentang semua yang terjadi. Dapatkah kami menangani segalanya secara berbeda? Dalam masa itu, Roh Kudus dengan penuh kasih menyadarkan saya akan andil saya dalam dosa yang sudah menghancurkan jemaat itu. Saya bukannya tidak bersalah sama sekali dalam gosip itu ketika gereja itu sedang menuju kehancurannya, dengan terkadang berbicara kasar tentang Jack dan pengikutnya kepada orang-orang yang saya anggap sekutu kami. Saya harus mengakui dosa saya dan mengungkapkan ketakutan saya yang lebih dalam – akan disalahmengerti atau ditinggalkan – sebagai pendukungnya. Mengenali dan mengakui dosa saya membuat saya menyadari kecenderungan saya sendiri untuk melukai relasi-relasi saya dengan orang lain dan dengan Tuhan. Ada orang-orang berdosa seperti saya di kedua pihak pelaku konflik yang keras kepala itu.
Ironisnya, pengakuan ini juga membuat saya menyadari bahwa orang-orang di Team Leaver bukan saja merupakan teman-teman yang diasingkan, tetapi juga benar-benar sudah diperlakukan sebagai musuh oleh keluarga kami. Saya sudah lama membaca perkataan Yesus – agar kita memberikan pipi kanan kepada orang yang menampar pipi kiri kita, berjalan dua mil bersama orang yang menyuruh kita berjalan satu mil, dan memberkati orang yang menganiaya kita – sebagai hal yang ditujukan kepada orang-orang di luar komunitas pengikut-Nya (baca Matius 5:38-48). Sesungguhnya, orang lain yang menyatakan mengasihi Yesus seperti saya tidak pernah menjadi musuh saya.
Yesus juga tidak pernah membuat perbedaan ketika berbicara tentang musuh. Dia bahkan menunjukkan bahwa Yudas, yang berkhianat, berada di antara para sahabat dekat-Nya. Saya disadarkan ketika membaca Alkitab tentang Yesus yang memberi contoh cara menyelesaikan konflik dengan saudara di Matius 18:15-18. Dia tidak berjanji konflik akan selesai dengan akhir yang baik. Doa terakhir-Nya untuk para murid – yang Dia panjatkan persis menjelang sahabat-Nya Yudas akan menyerahkan-Nya ke tangan para penguasa – adalah agar para pengikut-Nya bersatu (baca Yohanes 17:1-26). Ia tahu betapa kita cenderung menjadi musuh bagi satu sama lain, betapa kita pandai merasionalisasikan hasrat melindungi-diri kita untuk mengancam lawan-lawan kita dan membenarkan perpecahan.
Ketika saya menjalani proses yang sulit untuk mengampuni Team Leaver, saya berusaha keras untuk bersandar pada kebijakan Yesus tentang menghadapi pengkhianatan para pemimpin rohani maupun sahabat. Beberapa perkataan paling menyentuh di saat-saat terakhir-Nya memberikan makna baru ketika saya berusaha mencari cara untuk maju dalam iman: “Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak mengetahui apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).
Ketika Yesus menderita dan mati, Dia berdoa dari kayu salib untuk para musuh maupun sahabat-Nya. Ini mencakup orang-orang seperti Petrus, yang saat itu berlaku sebagai musuh-Nya. Ketika Yesus mengucapkan perkataan yang menusuk itu di sela-sela napas terakhir-Nya, perkataan itu meliputi semuanya – dari beberapa pengikut-Nya yang ketakutan sampai orang-orang yang menuduh-Nya bersalah. Dia berdoa untuk Anda, dan saya. Dan Dia berdoa untuk Jack dan semua orang di Team Leaver.
Selama konflik di gereja itu, dan untuk jangka waktu yang lama sesudahnya, saya yakin bahwa Jack dan kelompoknya mengetahui dengan pasti apa yang mereka lakukan terhadap setiap orang di Team Stayer (orang-orang yang tinggal) ketika mereka memilih kesalahan dan perpecahan. Betapa teganya mereka? Namun, meskipun mereka bertindak sebagai musuh, mereka mungkin tidak tahu bahwa perkataan dan tindakan mereka sedemikian melukai kami. Saya juga menyadari bahwa mereka bertindak berdasarkan kebutuhan dan ketakutan mereka, yang baik maupun buruk, yang bercampur seperti lalang dan gandum yang bertumbuh bersama-sama di ladang yang sama. Dan hal yang sama sering terjadi pada saya.
Berbulan-bulan kemudian setelah Persekutuan First Avenue ditutup, salah satu pasangan suami istri inti di Team Leaver meminta maaf kepada kami atas gosip yang mereka sebarkan tentang Bill. Meskipun kami berempat menyadari bahwa perbedaan doktrin yang mendalam tetap ada dan relasi kami tidak mungkin bisa kembali seperti sebelumnya, kami mengakhiri percakapan dengan tindakan rekonsiliasi. Ketika kami menceritakan sedikit tentang perjalanan keluarga kami untuk sembuh dari peristiwa yang terjadi di gereja itu, satu hal tersingkap ketika mereka berkata dengan keterkejutan yang tulus, “Kami tidak tahu kalau hal itu ternyata sampai memengaruhi kalian sedalam itu.”
Tetapi saya tahu bahwa Yesus tahu. Dan memercayai Dia yang mendoakan setiap kita dari salib memampukan saya untuk mengampuni, dan bersyukur karena kami tahu kami sudah mengakhiri percakapan itu dengan dua musuh yang berkurang dalam hidup kami.