Sudah Sembuh
(Christie Purifoy)
Meskipun tubuh jasmani kita masih terus menderita, pembaruan rohani kita sudah berlangsung.
Anak saya berusia 6 bulan ketika ia menunjukkan reaksi alergi pertamanya terhadap makanan yang saya berikan padanya. Bayi dengan bintik-bintik merah adalah pemandangan yang mengerikan, tetapi saya tetap tenang. Saya datang ke dokter anak, meminumkan obat yang diberikan untuk anak saya, dan bertekad tidak akan pernah memberinya makanan dari produk susu lagi.
Saya masih tenang ketika anak saya yang saat itu sudah berusia 1 tahun mendapat diagnosis resmi dengan sebuah daftar panjang alergi makanan, dan dianjurkan menggunakan EpiPen (suntikan obat untuk mengatasi reaksi alergi). “Anda bisa menyuntikkannya sendiri,” kata dokter anak itu pada saya saat itu.
“Aku? Ah, alergi makanan itu biasa. Kukira aku tak perlu panik.”
Tetapi kepanikan ternyata menjadi hal yang begitu melekat pada tahun-tahun selanjutnya. Tangan saya gemetar di depan kemudi ketika saya bergegas menjumpai suami dan anak saya di rumah sakit, dan tangan saya masih gemetar selama berjam-jam setelah saya menyuntikkan EpiPen pertama kali ke anak saya. Suara saya bergetar dengan kepanikan ketika saya menghubungi paramedis dari dapur rumah, dan saya berteriak-teriak dan menangis panik saat kasir depot es krim setempat memanggilkan petugas medis untuk saya.
Selama hari-hari biasa yang tak terhitung banyaknya, setiap makanan yang saya sajikan untuk keluarga mengandung rasa ketakutan. Saya dan suami melakukan seluruh percakapan di meja makan dengan mata yang terus mendata setiap batuk, seringai, atau, dehem yang dilakukan anak kecil yang duduk di tengah kami. Apakah batuk itu awal dari sebuah reaksi? Apakah ada sesuatu dalam masakan baru ini yang tidak bisa diterima tubuhnya? Apakah kami akan pernah merasa tenang lagi di meja makan?
Selama 10 tahun saya berdoa untuk kesembuhan anak saya. Selama 10 tahun pula saya mendengar kata-kata yang sama bergema dari Kitab Suci, nyanyian dan khotbah: Ia sudah sembuh. Pada awalnya, kata-kata itu memenuhi hati saya dengan harapan khusus – tidak akan ada lagi reaksi-reaksi yang mengancam nyawanya! Saya akan merasakan terbebas dari rasa takut, tetapi hanya sampai pada suntikan EpiPen berikutnya. Setelah itu saya akan kembali memanjatkan doa-doa seruan putus asa. Dan lagi-lagi saya akan mendengar kata-kata: Iasudah sembuh.
Ada banyak alasan mengapa kita berdoa untuk kesembuhan fisik bagi diri kita sendiri maupun orang yang kita kasihi. Kita tidak ingin orang yang kita kasihi itu menderita. Kita merindukan aktivitas-aktivitas dan pengalaman-pengalaman yang dibolehkan untuk orang yang sehat. Kita merasa dibebani dengan ketidakpastian. Ketika saya berdoa untuk anak saya, saya mendambakan hidup yang bebas dari serbuan rasa panik. Anak saya menginginkan pizza dan es krim, tetapi seperti saya, yang paling dibutuhkannya adalah bebas dari kecemasan.
Apa yang dimaksud dengan kata-kata sudah sembuh ini? Jawabannya ternyata sangat aneh dan membingungkan, dan sangat bertentangan dengan bukti-bukti yang ada di depan kami: gelang-gelang pemberi sinyal alergi, rencana-rencana tindakan yang rinci dalam mengatasi alergi, alat-alat suntik EpiPen, dan obat-obat yang harus diminum setiap hari. Semua ini justru menunjukkan kalau anak saya sama sekali belum sembuh.
Saya lalu membawa kebingungan saya kepada Kitab Suci. Jika kebenaran tersembunyi tentang hidup anak saya adalah bahwa ia “sudah sembuh,” Alkitab tentu akan menyatakannya. Di dalam kitab 1 Petrus, kesembuhan adalah janji yang sudah dipenuhi Yesus Kristus: “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh” (1 Petrus 2:24). Kuasa salib adalah kuasa yang menyembuhkan, dan dari bayangan salib itu saya menemukan undangan untuk hidup tanpa rasa takut.
Sekalipun kita sudah disembuhkan dalam arti yang sesungguhnya, doa-doa kita untuk kesembuhan tetap penting dan berkuasa. Ketika kita berdoa untuk kesembuhan, kita sedang memanjatkan doa yang diajarkan Yesus: “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga” (Matius 6:10). Yohanes menyatakan tentang kerajaan surga melalui kesembuhan (Matius 3:2). Berdoa untuk kesembuhan berarti meminta agar kerajaan Allah makin dinyatakan di dalam dan melalui kita dan di sekitar kita, meski jawaban doa ini seringkali misterius, dan membutuhkan mata seperti mata Allah untuk dapat melihat melampaui yang kelihatan. Kerajaan surga tidak selalu dinyatakan dengan hal-hal yang dapat kita duga.
Dapatkah hidup kita menunjukkan kesembuhan dalam Kristus, sekalipun tubuh kita masih terus mengecewakan dan membuat kita menderita? Saya sudah mengajukan pertanyaan ini selama bertahun-tahun, dan sering menjadi tidak tahu apa sebenarnya yang diperlukan iman saya. Jika saya percaya anak saya sudah sembuh, akan seperti apakah iman dalam diri saya itu? Saya yakin iman itu tidak seperti sikap sembrono dan congkak terhadap perawatan medis. Saya pernah lupa membawa suntikan EpiPen anak saya dalam suatu acara tamasya, dan nyawanya tertolong oleh karena ada orang lain yang membawasuntikan EpiPen di dompetnya.Hidup anak saya memang ada di tangan Allah, tetapi saya juga punya tanggung jawab. Saya membaca label-label makanan dengan cermat. Dan kami tidak lagi mengunjungi depot-depot es krim, sekalipun sedang ada promo gratis.
Pada tahun-tahun awal perjalanan kami, hati saya cenderung berada di antara rasa takut yang panik dan rasa optimis yang menyenangkan, yang saya anggap itu iman. Saya akan mendengar kata-kata sudah sembuhdan meyakinkan diri saya bahwa anak saya tidak lagi akan mengalami kemunduran. Tetapi iman yang benar, ketika ia bertumbuh di dalam diri saya, adalah sesuatu yang lebih dalam, yang didasarkan pada suatu kebenaran yang lebih benar, dan bukan pada naik turunnya kesehatan anak saya dari hari ke hari.
Kebenaran untuk setiap kita adalah bahwa di dalam Kristus, kita sudah sembuh. Kesembuhan adalah ibarat benih yang ditanam di dalam diri kita. Iman mengingatkan pada benih yang ditanam di tanah yang gelap. Iman adalah “bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1).
Meskipun anak saya saat ini masih sangat alergi terhadap makanan tertentu, tetapi daftar alergen yang mengancam nyawanya akhir-akhir ini mulai berkurang. Hari ini ia bahkan bisa makan es krim di depot minuman. Tetapi ketenangan di meja makan keluarga kami sudah terjadi lama sebelum ia menikmati es krim pertamanya itu. Barangkali itu sebabnya membaiknya kesehatan anak saya belakangan ini tidak terasa seperti kisah “sebelum dan sesudah” yang dramatis. Tetapi lebih menyerupai pertumbuhan hening dari benih yang sudah lama tersembunyi. Dalam kehidupan ini, kita mungkin tidak pernah menyaksikan kepenuhan pertumbuhan benih ini di dalam kita. Tetapi kelak kita akan berjalan di bawah pohon kehidupan yang daun-daunnya bergemersik dengan buah-buah jawaban doa kita (Wahyu 22:2).