Bersedia Menjadi Lemah
(Stefani McDade)
Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah
Saya tak pernah tahubahwa bunga-bunga bisa menyesakkan sampai saya berada di antara 10 karangan bunga dalam sebuah ruangantanpa AC. Ketika berlibur ke India, saya dan suami mengunjungi sebuah gereja kecil atas undangan pendetanya, Amit Malik—seorang rekan kerja diIn Touch Ministries. Dengan menunjukkan secara mewahslogan orang India bahwa “Tamu adalah dewa,” beberapa jemaat mengelilingi dan mengalungkan rangkaian-rangkaian bunga segar pada kami untuk menyambut dan menghargai kehadiran kami. Setelah itu, Amit meminta saya ikut bergabung di panggung kecil dan menyampaikan suatu pesan singkat di hadapan jemaat.
Pesan yang tidak terlalu teologis, hanya mengingatkan kembali tentang panggilan untuk pertama-tama dan terutama mengasihi Allah, mengasihi sesama saudara dalam Kristus, dan melayani dunia yang hancur di sekeliling kita. Saya kemudian menyadari betapa “tidak bermutunya” wejangan singkat saya di telinga mereka, ketika saya tahu bahwa jemaat itu sudah melakukan peran yang integraldengan usaha-usaha Amit yang menanam ratusan gereja rumah yang bertumbuh subur di seluruh India utara. Mereka tidak hanya memahami Firman Allah, mereka juga menggunakansemua yang mereka pahami untuk perluasan kerajaan Allah.
Di akhir ibadah, Amit mengundang semua orang untuk maju ke depan dengan permohonan doa mereka, dan meminta saya untuk berdoa bersamajemaatyang wanita, dan suami saya berdoa denganjemaatyang pria. Saya menutup mata untuk mendoakan wanita pertama yang maju —dan pada saat saya membuka mata, jumlah orang di depan saya tampaknya sudah menjadi dua kali lipat. Awalnya saya kira itu ilusi, tetapi saya segera sadar bahwa beberapa keluarga lain sudah berdatangan dari jalan-jalan, dan gereja di ruang atas yang kecil itu dengan cepat mulai penuh sesak. Saya baru tahu kemudian bahwa semua ini hal yang wajar terjadi pada hari Minggu pagi.
Antrean jemaat wanita di depan saya sekarang tampak seperti tak ada habisnya, dan suara saya semakin tak terdengar ketika saya meneriakkan doa-doa dengan dilatarbelakangi suara musik. Karangan-karangan bunga memerangkap panas tubuh saya, membuat keringat bercucuran membasahi kemeja saya. Permohonan doa ibu-ibuberjenjang mulai dari sakit punggung sampai penyakit-penyakit serius, untuk diri mereka sendiri maupun untuk orang yang mereka kasihi. Beberapa gadis meminta saya mendoakan studi dan ujian mereka. Seorang wanita setengah baya meminta saya mendoakan kehidupan pernikahannya, dan yang lain minta didoakan untuk keselamatan suaminya. Saya terus berdoa sampai wanita terakhir pergi.
Saat itu, kepala saya terasa pening dan perut melilit kelaparan. Ketikasaya berjalan menuju ke belakang ruangan untuk duduk dan beristirahat, saya melihat ada satu keluarga lain datang mendekatuntuk menyalami saya, bersama seorang sukarelawan dari gereja yang menerjemahkan permohonan mereka. “Mereka mau Ibu mendoakan anak mereka,” katanya pada saya. Saya melihat ke sekeliling orang-orang yang berdiri di depan saya untuk mencari anak yang dimaksud, tetapi mereka memberi isyarat untuk melihat ke lantai di dekat kaki mereka. Di sana terbaring seorang anak laki-laki berusia sekitar 6 atau 7 tahun yang sebagian tubuhnya ditutupi selimut usang. Ia setengah sadar – matanya terbuka tetapi pandangannya kosong. Badannya tak bergerak selain sebentar-sebentar terlihat kejang dan menggetarkan tubuhnya yang lemah.
Saya kira saya sudah terdiam dan terpana cukup lama sampaiakhirnya penerjemah itu melanjutkan. Dengan membungkuk, ia menarik celana pendek anak itu darisampingdan menunjukkan semacam gangren – jaringan tubuh yang mati yang menyembul ke permukaan kulit – yang sebesar bola tenis. Saya berdiri di sana, masih tak mampu berkata-kata, tenggorokan saya serasa tercekat. Ia melanjutkan, “Ketika kami mulai mendoakannya, besarnya segini,” katanya sambil menangkup tangannya seukuran buah semangka. “Mereka datang ke sini selama beberapa minggu – kami mendoakannya setiap hari Minggu.” Saya menggoyangkan tubuh saya yang serasa lumpuh sesaat dan berusaha menyelaraskan respons dengan tetap memantau ekspresi wajah saya. Akhirnya, saya berlutut di samping anak itu, merasakan dentamanrasa tak berdaya yang menjalarseperti es yang panas melalui tulang belakang ke kaki dan tangan.
Seberapa pun imanyang saya miliki ketika berdoa bersama kelompok wanita – yang permohonan doanya jauh lebih familiar bagi saya – semuanyarontok di hadapan kebutuhan yang tak dapat disangkal ini. Anak itu, yang mirip seperti orang sakit yang diturunkan dari atap rumah oleh teman-temannya agarbisa disembuhkan Yesus, tak dapat melakukannya sendiri. Dan sementara saya mulai mendoakannya keras-keras dengan segenap hati dan jiwa saya, pikiran saya membersitkan hal lain – meminta agar Allah tidak hanya memberikan kata-kata untuk berdoa tetapi juga iman. Namun, alih-alih menerima gerakan ilahi dari tempat tinggi untuk meminta agar anak itu disembuhkan di depan mata saya, saya hanya meminta Allah untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dimulai-Nya. Bahkan dalam meminta hal itu pun, kata-kata saya terasa lemah dan iman saya berlubang. Berapa banyak lagi yang perlu terjadi pada anak ini agar ia bisa benar-benar mengalami kepenuhan hidup? Apakah hal itu akan terjadi di dunia yang tidak kekal ini? Saya sungguh berharap anak itu bisa hidup terbebas dari penderitaan dan kesulitan, tetapi iman sayasangat tidak yakin dengan yang saya harapkan saat itu. Saat itu, saya hanya yakin dengan yang dapat saya lihat—seorang anak yang membutuhkan jauh melebihi satu mukjizat kesembuhan saja.
Beban yang saya rasakan ketika membawanya dalam doa kepada Tuhan mengingatkan saya kembali pada segala ketidakberesan di dunia ini – semua kekacauan dan penyakit, ketidaksamaan dan ketidakadilan, pelecehan dan kekerasan; dan jutaan orang seperti dia yang dibiarkan terluka dan hancur. Semua penderitaan ini disebabkan oleh luasnya spektrum kesalahan yang dilakukan manusia melalui dosa – begitu banyaknya kesalahan yang, tanpa Allah, tidak akan pernah dapat kita perbaiki.
Setiap kali kami melakukan perjalanan misi ke luar negeri atau terlibat dalam pelayanan lokal, kami cenderung lebih sering berpikir tentang diri kami sendiri yang datang untuk memberi, melayani atau berbagi dari kelebihan kami – entah itu berupa keterampilan kami, uang kami, atau sekadar waktu dan tenaga kami. Tetapi hal yang tak akan pernah saya lupakan, ketika saya menumpangkan tangan di atas tangan anak yang kurus itu untuk berdoa, saya merasakan ketidakberdayaan dirinya maupun diri saya sendiri. Menghadapi kelemahannya, saya benar-benar jadi menyadari betapa lemahnya saya dalam menghadapi penderitaannya. Dan mendapati diri saya dalam keadaan seperti ini, telanjang dari segala kepura-puraan dan kepercayaan diri, mengingatkan saya kembali pada kelemahlembutan Yesus yang sudah merendahkan diri-Nya untuk kita. Yesus, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Filipi 2:6-7). Yang kita temukan dalam Kristus adalah Juru Selamat yang menyelamatkan kita bukan dengan kekayaan ilahi-Nya, tetapi dengan kemiskinan seorang manusia – bukan dengan kekuatan, tetapi dengan kelemahan yang disengaja. Demikian pula, Paulus pernah mengingatkan jemaat mula-mula bahwa kebanyakan dari mereka memang tidak pandai, berkuasa atau mulia menurut ukuran dunia, tetapi Allah dengan sengaja telah memilih yang bodoh dan lemah di dunia ini untuk mempermalukan yang pandai dan kuat (1 Korintus 1:26-29).
Orang yang mengikut Kristus dipanggil untuk melayani dengan sikap rendah hati yang sama – dan dengan bersikap seperti ini, kita menerima tatanan baru kerajaan Allah yang terbalik. Sebagaimana dikatakan Henri Nouwen, “Rahasia pelayanan kita adalah bahwa kita dipanggil untuk melayani bukan dengan kekuatan kita tetapi dengan kelemahan kita, [agar kita bisa] menunjukkan solidaritas dengan sesama manusia, membentuk komunitas dengan yang lemah, dan menyatakan belas kasihan Allah yang memulihkan, membimbing dan menopang.”
Tetapi,sikap miskin di hadapan Allah ini tidak terjadi dengan sendirinya pada diri daging kita, apalagi pada orang-orang yang merasa paling mantap dan percaya diri. Kelemahan yang disengaja adalah pengorbanan yang menuntut sesuatu dari kita – citra diri kita, kenyamanan kita dan bahkan pandangan kita tentang dunia. Namun jika kita mengizinkan diri kita menjadi kecil dan tak berdaya di hadapan Allah dan manusia, mengosongkan seluruh kekuatan dan martabat natural kita sendiri, maka di tempat itu, kuasa dan kemuliaan-Nya yang supernatural akan membuat segalanya menjadi lebih sempurna.