Kegagalan Diterima
(Christie Purifoy)
Gereja seharusnya menjadi tempat yang menerima orang melakukan kesalahan.
Suatu ketika, beberapa tahun lalu, saya duduk di sebuah ruang tanpa jendela yang berisi papan tulis, tumpukan kertas, dan berbagai perlengkapan kantor lainnya, berdebat dengan orang-orang lainnyatentang bagaimanajika nama gereja kami terpampang di belakang bus kota. Jika kita membeli tempat iklan, apakah di papan itu hanya ada nama saja? Mungkinkahdiberi jargon? Bagaimana dengan gambar? Jika memakai gambar, apakah harus salib? Atau cangkir kopi?
Saya sekarang menertawakan betapa tidak kompetennya saya menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Saat itu saya masih muda dan tidak tahu apa-apa tentang pemasangan iklan. Saya hanya lebih tahu sedikit tentang salib meskipun tidak dapat menjelaskan juga apa yang dimaksud penulis kitab Ibrani dengan “kehinaan.” Namun, dengan selalu malu-malu dan kurang berani, saya cukup mantap untuk memilih gambar cangkir kopi yang menyenangkan.
Ada ironi yang indah saat mengenang pertemuan di kantor gereja kami yang kecil itu. Meskipun kami dikumpulkan untuk mengungkapkan pendapat tentang manfaat kampanye lewat pemasangan iklan, kehadiran saya di ruang itu merupakan sebuah bukti bahwa gereja kami tidak bertindak seperti sebuah bisnis. Jika pendeta kami bermaksud mencari “wanita yang tepat untuk tugas itu,” saya tidak akan pernah diundang untuk berkontribusi. Tetapi pendeta saya tidak takut pada kegagalan. Tidak masalah baginya jika saya belum dapat membuktikan kompetensi saya. Ia mengundang saya untuk mencoba. Ia mengundang saya untuk melayani. Undangannya yang berulang-ulang memelihara pertumbuhan rohani saya, yang memang seharusnya demikian.
Meskipun gereja-gereja kita mungkin memakai sarana-sarana dari dunia perusahaan/bisnis, dari tabel informasi data sampai mesin fotokopi, dan meskipun bahasa yang digunakan mungkin juga bahasa bisnis, berkomunikasi lewat marketingdan branding, gereja pada dasarnya bukanlah bisnis. Gereja adalah sebuah tubuh – tubuh Kristus di dunia – dan betapa pun kita mencoba, gereja tak pernah tereduksi menjadi sebuah brand (merek). Kita harus berhati-hati agar tidak secara keliru menganggap gereja ibarat mesin perusahaan atau komoditas yang dijual di pasar.
Namun jika kita memakai sarana-sarana profesional bisnis dan menggunakan bahasa profesional bisnis, kita mungkin lupa siapa dan apa kita ini —dan bahwa gereja juga terdiri dari para amatiran. Kita mungkin lupa bahwa tujuan gereja bukanlah untuk menghasilkansuatu produk yang mentereng dan sempurna, tetapi untuk mendukung pertumbuhan para anggotanya—semua orang yang melayani dunia dengan kuasa Tuhan, kuasa yang selalu disempurnakan dalam kelemahan.
Manusia itu belajar ketika mereka direntangkan melampaui kapasitas mereka sekarang ini dan bahkan ketika mereka membuat kesalahan. Setiap orangtua bijak yang mengembangkan anak tahu bahwa ini adalah jalan yang “kacau” menuju kedewasaan. Padahal bisnis-bisnis yang berkembang pesat meremehkan kekacauan, dan merek-merek yang sukses bersandar pada konsistensi. Gereja-gereja perlu memakai kriteria yang berbeda untuk mengevaluasi.
Di dalam kitab Ibrani, kita membaca bahwa Yesus, “dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia” (Ibrani 12:2). Perkataan ini mengingatkan kita pada konteks sejarah yang sangat mudah dilupakan: salib, seperti juga simpul tali gantungan atau kursi listrik adalah hal yang memalukan. Benda-benda ini adalah alat untuk menyiksa dan menghukum mati para penjahat dan budak-budak. Tak heran saya dulu menjatuhkan pilihan pada gambar cangkir kopi. Gambar itu jelas jauh lebih mengundang bagi orang yang terjebak di belakang bus kota pada saat lalu lintas ramai di jam-jam sibuk. Saya pindah dari kota itu beberapa tahun lalu, dan saya tak ingat lagi apakah pembicaraan kami sampai pada konsensus tentang salib versus cangkir kopi. Tetapi pada suatu hari Minggu belum lama ini, saya duduk di bangku gereja saya yang sekarang, memperhatikan salib kayu besar yang tergantung di depan dan mengingat kata-kata dari kitab Ibrani itu. Dengan kayu coklat yang mahal, salib kami indah. Di samping saya di bangku gereja itu, putri saya yang masih remaja memakai salib yang sama indahnya pada kalungnya, bukan dari kayu tetapi dari perak. Seketika itu saya menangkap paradoks Kekristenan yang sentral di pikiran saya, dan mengaguminya, seperti Anda mengagumi kayu yang halus dan perak yang bersinar: yang hina sudah menjadi indah; yang melambangkan kegagalan terbesar sudah menjadi lambang kemenangan dan pengharapan. Banyak paradoks kerajaan Tuhan yang terbalik-balik yang tidak mudah disampaikan melalui papan iklan, tetapi semua itu menguatkan kelangsungan hidup gereja, terus-menerus mengundang kita untuk membayangkan bagaimana jemaat kita dapat dan harusmembalikkan kebijakan lama dari budaya yang lebih luas. Dapatkah gereja-gereja kita menjadi komunitas-komunitas yang melihat dan mengenali keunggulan tetapi juga tidak takut pada kegagalan? Pemasangan iklan mungkin menambah jumlah jemaat kita, tetapi tidak pernah akan membuat hati, pikiran dan jiwa kita bertumbuh. Pertumbuhan semacam itu hanya bisa terjadi ketika kita terjatuh dan kemudian mendapat dukungan – atau ketika kita membuat kesalahan dan mendapat kesempatan untuk mencoba lagi. Jika Juru Selamat kita saja menerima kehinaan kegagalan yang berkaitan dengan salib, mengapa penampakan kegagalan begitu menimbulkan ketakutan di hati?