Inilah Tubuh Kristus
(Charity Singleton Craig)
Komuni adalah tentang keintiman kita dengan Tuhan—dan dengan satu sama lain.
Baru-baru ini, saya dan suami pergi ke gereja bersama ayah dan ibu tiri saya ketika kami mengunjungi mereka. Selama dua bulan penuh, kami benar-benar disibukkan dengan berbagai beban pekerjaan dan kewajiban keluarga yang menekan, dan saat itu kami siap menyatu dengan orang-orang yang beribadah untuk memberi perhentian bagi jiwa kami dari berbagai tuntutan untuk dikenali dan dibutuhkan ketika kami kembali ke rumah.
Menjelang akhir ibadah, Pastor mengundang jemaat maju ke depan untuk menerima komuni. Steve dan saya tidak maju dan memilih untuk mengamati saja karena kami baru pertama kali datang ke gereja itu. Lalu kami melihat bahwa Rick, Bapak tua yang kami jumpai sebelum ibadah juga tidak maju ke depan. Aneh, pikir saya. Bukankah ia tadi berkata ia anggota gereja ini?
Selama satu dua menit, saya merasakan penyesalan yang dalam ketika melihat orang-orang dari berbagai usia menerima komuni. Saya sudah ikut makan roti dan minum anggur perjamuan kudus di berbagai gereja di seluruh dunia. Aku mestinya ikut maju saja, pikir saya. Tetapi karena alasan tertentu, hari Minggu ini berbeda.
Ketika Ayah kembali ke tempat duduknya, ia berbisik pada saya, “Coba tanyakan apakah Rick mau kubawakan roti dan anggur.” Ayah juga baru bertemu Rick pagi ini, meskipun kedua pria ini tampaknya sudah mengunjungi gereja yang sama selama berbulan-bulan. Tetapi saya tidak melihat yang dilihat Ayah dengan jelas: Rick tidak maju untuk menerima Ekaristi. Saya memperhatikan Rick lagi, kali ini saya melihat tanda-tanda bahwa ia sepertinya tidak memiliki kondisi kesehatan yang baik: Ia mengalami kesulitan untuk keluar dari bangkunya. Ia juga agak terbungkuk-bungkuk dan memegang erat-erat bangku di depannya ketika menahan dirinya tetap berdiri untuk menyanyi.
Saya mengangguk, menoleh ke arah Rick dan berbisik keras-keras di telinganya: “Apakah Bapak mau menerima Komuni?”
“Saya tidak bisa maju ke sana,” ia mengaku, sambil melirik ke kakinya.
“Ayah saya dapat membawakannya ke mari,” saya berkata. Rick mengangguk, dan saya memberi tanda jempol kepada Ayah saya.
Ayah kembali maju untuk mengambil roti dan anggur perjamuan. Dan sementara ia membawa piring itu ke tempat kami duduk, jemaat menyanyikan lagu Meredith Andrews “Not for a Moment.” Sejak Ayah berbisik pada saya, saya terus hening, memikirkan bagaimana menolong Rick menerima komuni.
Karena agak jauh, Ayah pertama-tama menyerahkan piring yang berisi biskuit-biskuit tipis itu pada saya. Saya meneruskannya kepada Rick, tetapi ketika ia berusaha mengambil satu biskuit, tangannya yang gemetar membuat biskuit itu terjatuh. Ia melihat biskuit itu mendarat di lantai dan saya tahu ia pasti merasa malu. Saya mengambil biskuit kedua dengan jempol dan telunjuk saya dan menyerahkannya kepadanya, menggenggamnya erat-erat saat tangannya yang gemetar menyentuh tangan saya. “Tubuh Kristus yang telah dipecah-pecahkan untuk Bapak,” saya berbisik. Rick akhirnya berhasil memegang biskuit tipis itu dan dengan topangan tangan satunya, ia menghadapkan biskuit itu ke mulutnya.
“Hanya Engkau yang tak pernah berubah. Hanya Engkau yang selalu baik. Hanya Engkau yang mahakuasa … ” Jemaat menyanyi sementara Rick menutup mata selama beberapa saat untuk berdoa dan kemudian memakan biskuit itu. Airmata menggenang di pelupuk mata saya.
Ia tidak akan dapat memegang cawan minuman itu, saya berpikir ketika mengembalikan piring biskuit kepada Ayah. Maka, alih-alih menerima nampan yang berisi cawan-cawan kecil, saya hanya mengambil satu cawan. Dan tanpa bicara apa-apa, saya langsung menghadap ke wajah Rick dan mendekatkan cawan kecil itu ke mulutnya. “Darah Kristus yang telah dicurahkan untuk Bapak,” saya berkata, menaikkan cawan itu lebih tinggi sementara ia menyandarkan kepalanya ke belakang.
Setelah cawan itu kosong, saya menjauhkannya dari wajahnya dan menaruhnya di lantai. Rick menyeka mulutnya dengan punggung tangan yang gemetar dan kemudian menoleh ke arah saya.
“Istri saya biasa melakukan ini untuk saya, tetapi ia meninggal dua bulan yang lalu,” bisiknya. Airmata membasahi wajah kami. Kami berpelukan erat, orang-orang asing yang tak pernah saling bertemu sebelumnya, tetapi entah bagaimana dipersatukan sebagai anggota satu tubuh. Seharusnya akan terasa canggung mengalami momen seintim itu dengan orang asing. Tetapi Paulus berkata, ketika kita memecah-mecahkan roti dan meminum anggur Perjamuan Kudus, kita sedang mengambil bagian dalam tubuh Kristus (1 Korintus 10:16). Dan saat itu, meskipun saya tak akan pernah dapat menjelaskannya, Rick dan saya serasa bukan lagi dua orang yang berbeda dalam suatu upacara, melainkan seperti tangan yang membawa cawan ke mulut dari tubuh yang sama.
Sementara airmata belum berhenti mengalir, Rick mengangkat tangannya yang gemetar tinggi-tinggi dan mulai menyanyi lagi: “Tak sedetik pun Engkau meninggalkanku. Tak sekejap pun Engkau membiarkanku.” Saya menepuk bahunya dan kemudian kembali ke samping suami saya, tak dapat berbuat apa-apa lagi selain melantunkan kata-kata lagu itu sampai ibadah selesai. Penyesalan yang saya rasakan sebelumnya karena tidak ikut ambil bagian dalam komuni sirna, dan sebaliknya saya merasakan betapa puasnya hati saya.