Jenis Kebaikan Yang Baru
(Matt Woodley)
Panggilan hidup orang percaya selalu sama—menarik dan mendorong orang untuk mengikut Kristus.
Pada awal abad ke empat, tentara Romawi menculik dan mewamilkan seorang petani muda bernama Pachomius. Ia lalu dibawa dengan kapal budak menuju kota tua Thebes, tempat para penguasa memasukkan “rekrutan” baru ke sel penjara sementara. Sekelompok orang asing mulai membawakan makanan dan minuman untuk para tahanan yang kelaparan itu. Merasa terkejut dan terharu, Pachomius bertanya siapa mereka.Seseorang menjawab. “Orang-orang yang membawa nama Kristus, Anak Tunggal Tuhan, dan mereka melakukan kebaikan pada semua orang.” Penemuan ini menggugah hati Pachomius, sehingga ketika akhirnya ia dibebaskan, ia langsung mencari gereja tempat ia mengenal Yesus, dibaptis, dan menjadi pemimpin di gereja mula-mula.
Kisah ini menjadi petunjuk bagi pertanyaan yang membingungkanpara ahli sejarah: Bagaimana mungkin gereja mula-mula, gerakan religius pinggiran yang kecil dan diremehkan, dapat berkembang dan mentransformasi Kekaisaran Romawi dengan begitu luar biasa? Gereja itu tidak memiliki kekuatan politik. Mereka tidak memiliki properti atau sekolah sendiri. Seperti diakui rasul Paulus, orang Kristen itu dianggap “sampah dunia” (1 Korintus 4:13). Berbicara atas nama para elit Romawi, penulis Suetonius menganggap gereja sebagai bentuk “takhayul yang baru dan jahat.”
Tetapi gereja berkembang, dan terus bertambah dari sekitar 5000 orang pada tahun 40 sampai menjadi sekitar 5 juta orang percaya yang bersekutu di 65.000 gereja-rumah pada tahun 300Apa yang telah terjadi?
Berakar padakehadiran Yesus yang nyata, para murid yang mula-mula itu menawarkanpada dunia sebuah visi dan kekuatan yang sama sekali baru untuk menjalani kehidupan yang indah—kehidupan yang bermartabat bagi semua manusia, bahkan yang tak punya kekuasaan dan tidak terpandang. Ini bukan sekadar kepercayaanorang Kristen, tetapi cara hidup mereka. Tentu saja, gereja mula-mula juga memiliki kekurangan. Bahkan teolog besar Origenes pernah mengeluh tentang orang-orang Kristen yang “tidak mau mengoreksi diri tetapi terus hidup dengan cara-cara yang berdosa sampai di usiayang sangat lanjut.” Namun secara keseluruhan, para pemimpin gereja mula-mula senada dengan Minucius Felix, yang melihat gereja bertumbuh melalui “keindahan hidup” yang membangkitkan rasa ingin tahu dan kemudian menarik “orang lain untuk bergabung.”
“Keindahan hidup” ini tidak terjadi dan berkembangbegitu saja. Kehidupan inididasarkan pada pada orang tertentu (Yesus) dan peristiwa-peristiwa publik tertentu (kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya).Orang Romawi memuati sistem keagamaan mereka dengan dewa-dewa seperti toko-toko swalayan dipenuhi pilihan sereal. Romawi, “tuan yang baik hati”, bertindak dengan toleransi agama tertinggi selama Anda (1) menunjukkan kesetiaan tertinggi kepada kaisar, dewa yang hidup, dan (2) tidak menyembah satu dewa secara eksklusif. Orang Kristen melanggar kedua aturan ini dengan sahadat paling awal mereka yang terdiri dari tiga kata sederhana namun subversif: “Yesus adalah Tuhan.”
Mereka tak bisa dicegah. Kaisar-kaisar Romawi yang seperti-dewa merampas hak-hak dan memerintah dengan kejam dan sadis, tetapi Yesus—Raja dunia yang sesungguhnya dan hidup, malah dikatakan Paulus—“mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba” (Filipi 2:7) . Dia memilih untuk menjadi “bisa dilukai” (akar dari kata yang berarti rentan), bahkan menderita kematian yang hina layaknya seorang penjahat. ”Tak seorang pun di dunia kuno yang pernah menjumpai orang yang seperti Yesus sebelumnya,” kata teolog Gerald L. Sittser. “Romawi tidak memiliki kategori untuk-Nya … Yesus Kristus memanggil para pengikut-Nya kepada cara hidup yang baru karena Dialah jalan pertama dan utama kepada hidup baru.” Tak heran jika orang-orang Kristen mula-mula itu melanggar tradisi Romawi dan berani menyembah Kristus saja.
Dan menyembah Yesus bukan saja telah mengubah hidup orang-orang seperti Pachomius. Dari “awal yang kecil dan tidak jelas,” gereja sudah menimbulkan “pergeseran tektonik nilai-nilai budaya.” Gereja menggulingkan dan mengubah “dunia[Romawi] yang perkasa yang dipenuhi kekejaman tak terkira.” Bahkan ahli filsafat agnostik Luc Ferry setuju bahwa Kekristenan telah memperkenalkan “gagasan persamaan martabat manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Orang-orang kudus yang tak dikenal
Cobalah bayangkan transformasi itu dari kacamata dua orang wanita Romawi fiksi dari sekitartahun 250 M—yang kita beri nama Marcella dan Flavia. Mereka adalah tetangga yang sama-sama tinggal di lantai dua gedung mereka. Setidaknya mereka tidak tinggal di lantai delapan, yang diperuntukkan bagi orang yang benar-benar miskin. Mereka adalah wanita-wanita yang “baik”. Mereka memenuhikewajiban mereka, tunduk pada suami, melakukan pemujaan kepada dewa-dewa, dan menghormati Kekaisaran Romawi yang perkasa, penyedia jalan-jalan, perdagangan, seni dan kebijaksanaan.
Tetapi hidup juga sangat kejam. Seperti mayoritas masyarakat Romawi, keluarga dua pahlawan fiksi kita ini bergumuldengan sanitasi yang buruk, penyakit, dan kejahatan. Bangunan yang serupa dengan rumah petak mereka yang dibangun seadanyasudahbanyak yang runtuh. Suami-suami mereka (tidak seperti para istri Romawi) tidak diharapkan untuk setia secara seksual. Dengan rumah-rumah bordil yang menghiasi pemandangan kota seperti Starbuck atau Taco Bell di kota-kota metropolitan Amerika modern, kaum pria didukung untuk memenuhihasrat seksual mereka—dengan para pelacur, wanita penghibur dan bahkan laki-laki muda.
Bagi sebagian besar golongan non-elit, seperti Marcella dan Flavia, hidup juga kejam dan murah. Mereka sering mendengar suami-suami mereka mengoceh tentang acara-acara gladiator yang melibatkan pertarungan binatang di pagi hari, pelaksanaan hukuman matibagi para penjahat pada saat makan siang, dan acara utama sore hari—dua pria bersenjata yang bertarung sampai mati. Dengan nada berbisik, kedua tetangga itu juga sesekali membicarakan perempuan-perempuan lain yang terpaksa menelantarkan anak-anak yang tak diinginkan dengan tidak melindunginyadari hal-hal buruk. Ini sangat menyayat hati, tetapi semua elit Romawi yang cerdas dan berkuasa meremehkan konsep belas kasihan.
Tetapibelakangan ini, Flavia memberi tahu Marcella bahwa ia bertemu dengan sekelompok orang aneh yang hanya menyembah satu dewa. Mereka berkata hanya Yesus yang adalah Tuhan. Marcella tak dapat tidak mendengarkanketika Flavia meraih tangannya dengan tulus sambil berkata, “Dia tidak seperti semua dewa lainnya, Marcella. Kamu dapat berdoa pada-Nya secara langsung, dan Dia akan menjawabmu. Ini sungguh kabar baik: Dia datang untuk menyelamatkan kita karena Dia mengasihi kita!” Bahkan suami Flavia sudah mulai beribadah bersama orang-orang Kristen itu.
Karena merasa penasaran, Marcella mulai pergi ke gereja rumah itu. Selama beberapa bulan berikutnya, ia mendengar hal-hal yang luar biasa. Tentu saja, setiap kali mereka bertemu, fokusnya adalah Yesus—kehidupan-Nya, pengajaran-Nya, kematian-Nya dan kebangkitan-Nya. Gereja juga memberikanpenjelasan yang lebih indah, yang berakar pada Yesus. Para pemimpinnya mengajarkan bahwa mengambil nyawa manusia itu salah. Jangan sia-siakan waktumu di acara-acara gladiator. Jangan biarkan bayi-bayi mati. Suami-suami, kata mereka, kasihilah istrimu seperti Kristus mengasihi jemaat.
Di mata Raja Yesus, orang kecil pun berharga. Kaya dan miskin, orang merdeka dan para budak, laki-laki dan, ya, perempuan, semuanya beribadah bersama karena mereka semua memiliki martabat yang sama. Pengajar itu menggambarkan gereja sebagai “tentara rakyat jelata yang tanpa senjata” yang terdiri dari “orang-orang tua yang takut akan Tuhan … yatim piatu yang dikasihi Tuhan … janda-janda yang bersenjata kelemahlembutan … pria-pria yang berhiaskan cinta kasih.” Pemimpin gereja lainnya berkata, “Janganlah lelah dan jemu dalam memberi perhatian dan kasih kepadaorang miskin.”Dan kemudian Marcella mendengar perkataan yang membuatnya menangis: Tuhan juga mengasihi orang-orang seperti dirinya—seorang wanita Romawi biasa yang tidak terpandang.
Setelah percaya kepada Yesus, Marcella dibaptis dan menerima Perjamuan Kudus pertama. Gereja tumbuh dan berkembang karena orang-orang kecil. Mereka memancarkan keharuman Kristus (2 Korintus 2:15). Itu sebabnya saya selalu tertarikpada orang-orang Kristen anonim yang membawa makanan, minuman, dan harapan kepada sekelompok tentara yang diculik di sel penjara yang suram dan tidak manusiawi. Siapakah mereka? Bagaimana mereka bertemu Yesus? Seperti apa gereja rumah mereka? Yang kita ketahui hanyalah, hati seorang prajurit yang lelah telah “digugah” untuk mencari dan menemukan Yesus dan gereja-Nya oleh karena kasih mereka yang radikal.
Saya sering bertanya-tanya, apa yang diperlukan tetangga kita untuk melihat kasih radikal semacam itu dalam diri kita. Para peneliti mengatakan “tidak ada” agama yang meningkat. Teman dan tetangga kita sering skeptis dan bahkan bersikap bermusuhanterhadap Yesus dan gereja-Nya. Mereka tidak mengharapkan kita memancarkan keharuman Kristus dalam budaya kita.
Itulah sebabnya begitu banyak pengikut Kristus mula-mula —seperti orang-orang kudus yang tak dikenal yang membawa makanan, minuman dan harapan bagi Pachomius dan para tawanan—yang telah menjadi mentor saya. Mereka tertarik dan kemudian menarik tetangga-tetangga mereka yang lelah dengan jenis kebaikan yang baru. Kebaikan yang diwujudkan, dihidupi, diproklamirkan, yang berakar pada Yesus. Dan membaca kisah-kisah mereka sering membuat hati saya berkobar-kobar dan menginspirasi sebuah doa sederhana: Tuhan Yesus, biarlah keindahan-Mu di dalam diri saya dan gereja saya menarik orang-orang lain kepada-Mu. Melalui kami dan generasi kami, kiranya Engkau “menyebarkan keharuman pengenalan akan [Engkau] di mana-mana” (2 Korintus 2:14).