Kesatuan, Bukan Kenyamanan
(Michelle Van Loon)
Menghindari penganiayaan bukanlah tujuan—tujuannya adalah kesatuan dengan Kristus.
Banyak orangtua merasa tergetar hatinya ketika anak-anak remaja mereka tertarik untuk terlibat dalam berbagai aktivitas gereja. Orangtua saya malah melarang saya untuk ikut berpartisipasi di gereja.
Keputusan mereka masuk akal. Orangtua saya yang orang Yahudi ingin sekali menghilangkan pengakuan iman masa muda saya kepada Yesus sebagai Mesias dengan membuatnya “kelaparan.” Selama tiga tahun pertama saya menjadi pengikut Yesus, saya tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan Kristen apa pun, kecuali satu minggu di acara Young Life di Colorado. (Sampai hari ini, saya masih belum mengerti mengapa mereka berkata ya atas permintaan itu). Tetapi saya terkadang menemukan cara untuk datang ke berbagai acara gereja dan Pendalaman Alkitab karena saya memiliki keahlian “pergi diam-diam” seorang anak remaja yang cukup terlatih.
Saya mengasihi orangtua saya, dan keretakan hubungan kami karena iman saya berlangsung selama puluhan tahun. Namun, meskipun masa remaja saja sulit dan tertekan, pengalaman saya tidaklah seberat tantangan yang dihadapi orang-orang percaya muda lainnya yang orangtuanya tidak seiman dengan mereka. Ada banyak kisah tentang orang-orang dewasa muda Yahudi, Muslim dan Hindu yang menjadi tidak diakui sebagai anak atau dipukuli, dan bahkan dalam beberapa kasus yang ekstrem sampai dihukum mati.
Sementara sebagian besar teman remaja sebaya saya menikmati kegiatan-kegiatan gereja dan aktivitas kaum muda, saya mengasingkan diri di kamar, mendengarkan khotbah-khotbah melalui radio atau membaca buku-buku Kristen yang saya selundupkan ke dalam rumah. Saya mungkin tidak mengenal seseorang dalam hidup saya yang mengalamibentuk-bentuk penganiayaan yang ringan, tetapi saya menemukan beberapa teman yang menolong dalam buku-buku tertentu yang saya baca pada saat itu. Di antaranya adalahTortured for Christ—yang berisi gambaran yang jelas tentang kisah pendeta Richard Wurmbrand yang dipenjarakan di Romania; CatatanPerang Dunia II Corrie ten Boom tentang keberanian kontrabudayaatas nama orang Yahudi; dan sesekali saya masuk ke sejarah gereja era Reformasi melalui buku Foxe’s Book of Martyrs.
Buku-buku bertajuk penganiayaan ini meneguhkan yang saya baca dalam pembacaan Alkitab saya. Ketika Yesus memanggil orang-orang untuk mengikut Dia, Dia ingin mereka tahu bahwa keputusan itu bisa menjadi sangat mahal/berisiko tinggi. Para pengikut-Nya tidak dapat terus mempertahankan kehidupan mereka yang sekarang bersamaan dengan mereka hidup bersama dan bagi Yesus. Saya mendengar hal ini dalam perkataan-Nya yang meneguhkan:
“Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya. Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Matius 10:34-39).
Yesus memberkati (menyatakan berbahagia) orang-orang yang menjadi pembawa damai (Matius 5:9), tetapi tak pernah menutupi kenyataan bahwa mengikut Dia bisa mengakibatkan timbulnya kekerasan pada relasi-relasi yang berharga. Dahulu ketika saya masih mempertanyakan tentang siapakah Yesus ini, bahkan sebelum saya membaca satu halaman pun dari Perjanjian Baru, saya tahu bahwa mencari jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya kemungkinan akan menjadi pengejaran yang sangat mahal. Dan itu benar- dan masih terus berlangsung, dengan berbagai cara, selama 45 tahun perjalanan hidup saya bersama-Nya.
Dalam dasawarsa-dasawarsa belakangan ini, Kekristenan sering dikhotbahkan seolah-olah hanya sebagai tambahan untuk kehidupan yang nyaman, manfaat yang bernilai tambah bagi impian orang Amerika. Padahal Yesus tidak pernah membingkai hidup-Nya dalam istilah-istilah seperti ini. Penganiayaan yang saya hadapi menjelaskan pada saya sejak awal bahwa Yesus tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi “buah ceri di atas es krim” hidup saya yang diberkati. Jika saya ingin mencapai impian orang Amerika dengan cepat, akan jauh lebih mudah bagi saya untuk menuruti yang diminta orangtua saya ketika saya masih remaja, dan meninggalkan iman baru saya.
Tetapi kita tidak dirancang untuk hidup dalam kenyamanan, melainkan untuk tinggal dalam persekutuan dengan Dia yang sudah menciptakan kita dan sudah datang untuk menyelamatkan kita. Yesus mengakhiri Ucapan-ucapan Bahagia dengan janji-janji yang menguatkan bagi orang-orang yang mengalami penganiayaan, dengan mengatakan pada mereka di Matius 5:10-12 bahwa,bahkan ketika musuh mereka mengamuk terhadap mereka pada waktu di dunia ini, mereka secara bersamaan sedang mengalami realitas kekal kerajaan surga.Ini bukan masokisme, tetapi kebebasan. Himne Isaac Watts yang berjudul “When I Survey the Wondrous Cross” menyingkapkan sesuatu tentang apa artinya kita kehilangan hidup kita dan menemukan hidup-Nya:
When I survey the wondrous cross (ketika aku menghayati salib yang menakjubkan)
On which the Prince of glory died (tempat Raja kemuliaan menyerahkan nyawa-Nya)
My richest gain I count but loss(segala yang kuanggap berharga menjadi kerugian)
And pour contempt on all my pride(dan mencurahkan kehinaan pada segala kebanggaanku)
Pengalaman saya dengan penganiayaan ringan yang menyakitkan ternyata menjadi pengalaman yang menjernihkan dan pembentukan mendalam dalam hidup saya. Sekarang, saya bahkan menganggapnya sebagai suatu kebahagiaan (diberkati).