Lepaskan Kendali
(C. Lawrence)
Sudah waktunya untuk melepaskan ilusi bahwa saya dapat mengubah dunia tanpa pertolongan Tuhan.
Pada awalnya, perintah untuk “tinggal di rumah” datang sebagai penangguhan hukuman yang menggembirakan, meskipun tidak mudah. Sementara pandemi global melonjak, membuatorang-orang yang paling rentan menjadi lebih rentan lagi, langkah kehidupan keluarga saya melambat seakan ada arus sungai yang mendorong kami ke aliran telaga yang lebih tenang. Saya dan istri menonton berita-berita dengan prihatin ketika semakin banyak saja penularan yang terjadi di berbagai komunitas di seluruh dunia, sementara anak-anak berlarian dengan alat penyiram di halaman belakang, dan semburan air membasahi tubuh kecil mereka seperti tangan panjang berkilau yang memberkati mereka. Ketika tidak bertelepon ke kantor atau mengawasi tugas sekolah, kami membaca buku-buku dengan suara keras kepada satu sama lain, menata dan memperbaiki perabotan, memasak, tidur, dan bersantai lebih banyakdari yang selama bertahun-tahun ini kami lakukan.
Namun, ketika sekolah dari rumah akanberakhir bersamaan dengan teriknya musim panas, dan anak-anak mencuat darirutinitas mereka yang terkendali menjadi semacam kekacauan yang menyenangkan, krisis lain yang sudah setua Amerika muncul – persoalan rasisme.
Ketika orang-orang turun ke jalan menyusul pembunuhan-pembunuhan terhadap George Floyd, Ahmaud Arbery, dan Breonna Taylor, saya di rumah melanjutkan pola yang dituntut dari saya sebagai ayah dari empat anak. Bersamaan denganmeningkatnya demonstrasi-demonstrasi di seluruh dunia, saya dapat melihat ketegangan juga meningkat di dalam rumah kami – di dalam diri saya dan istri, di dalam diri anak-anak – tekanan-tekanan masyarakat yang merambah ke wilayah kecil kami. Pada saat itu saya mengakui bahwa jiwa saya mulai bergolak dan tergoyah sedikit, terperangkap dalam desakan hidup rumahtangga sehari-hari di dunia yang putusasa,seperti kebutuhan akan belas kasih dan keadilan ilahi.
Saya mengamati derasnya berita-berita utamayang bergulir dari hari ke hari, menulis surat-surat ke para pejabat pemerintah, mengusahakan percakapan-percakapan dengan keluarga dan teman-teman tentang bagaimana kita bisa berusaha mewujudkan Mikha 6:8 sebagai komunitas: “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” Dan hubungan lama saya dengan kelelahan pun muncul lagi dengan kecepatan penuh – saya merasa irama hidup saya sendiri mulai tergelincir ke dalam kekacauan yang tenang, ambisi dan disiplin-disiplin saya goyah. Doa terasa seperti bahasa yang pernah saya kenal namun tak lagi bermakna dalam awan kecemasan yang tak terbaca. Rumah menjadi lebih sulit untuk diatur. Bekerja dari rumah terasa seperti menapaki jalan Sisifus (kehidupan monoton dan sia-sia). Jika di masa-masa awal pandemi saya merasa lega dan anehnya, bereneragi, sekarang saya merasa tak berdaya dan kehabisan tenaga.
Pada saat berada dalam situasi seperti inilah saya menemukan kata-kata Dr. Stanley, pada suatu sore setelah badai dahsyat menghantam jalan-jalan di lingkungan pemukiman kami.
Dalam bukunya yang berjudul Prayer: The Ultimate Conversation, Dr. Stanley menulis:“Bapa tidak pernah gelisah dan cemas ketika Anda datang pada-Nya dengan situasi yang menantang. Dia mampu memimpin Anda kepada kemenangan, tak peduli sesulit apa pun situasi yang Anda hadapi.Dia mengajukan pertanyaan retoris, “Sesungguhnya, Akulah TUHAN, Allah segala makhluk; adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk-Ku?” (Yeremia 32:27). Tentu saja tidak. Dia yang mampu menciptakan manusia dari debu – dengan struktur-struktur biologis kita yang sangat rumit, atribut-atribut fisik yang khas, ciri-ciri kepribadian yang unik, dan karunia-karunia rohani yang berbeda-beda (Kejadian 2:7), Dia juga pasti mampu menangani setiap persoalan yang meresahkan kita.Meskipun pergumulan-pergumulan kita tampaknya tak bisa teratasi atau tak ada habisnya, bagi Tuhan semua itu hanyalah suatu kesempatan untuk menarik kita lebih dekat kepada-Nya dan mengajar kita untuk makin bersandar pada-Nya. Pertanyaannya adalah: dapatkah kita berhenti berusaha mengatur situasi-situasi kita? Dapatkah kita melepaskan kendali, membiarkan Dia melakukan yang Dia kehendaki.” (hal 199)
Saya mengakui bahwa ketika saya membaca tulisan ini, saya sudah terjerembabke dalam gelapnyalautan kebimbangan —ketidakberdayaan saya sendiri di sebuah lingkungan di kota salah satu benua di dunia yang terbakar api kemarahan dan penderitaan jutaan orang. “Di manakah Engkau?” Saya ingin berkata begitu pada Tuhan, tetapi tidak. Saya tidak bisa. Jika saya dapat membayangkan perkataan yang ingin diucapkan bahasa tubuh saya yang cemas, perkataan itu mungkin akan seperti berikut ini: “Bagaimana aku bisa menjadi tangan dan kaki-Mu di dunia ini jika aku merasa rumahtanggaku sendiri seperti terlepas dari tanganku? Bagaimana aku dapat menyatakan kasih, karunia dan keadilan-Mu jika aku sulit memercayai bahwa Engkau ada di sini, bekerja untuk mendatangkan kebaikan?”
Maksud-maksud terbaik saya, usaha-usahasaya—semua yang dapat saya lakukan pada saat itu – tidak bisa mencukupi. Tidak cukup untuk keluarga dan teman-teman saya yang jauh maupun yang dekat. Tidak cukup untuk orang-orang menderita yang tersebar di seluruh dunia. Tidak cukup untuk luka-luka tersembunyi para tetangga, yang terkunci di balik pintu-pintu rumah mereka. Ketika saya membaca kata-kata Dr. Stanley itu lagi, mata saya menyipit pada perkataan ini: “Lepaskan kendali.” Saya pun mengucapkannya keras-keras pada diri saya sendiri, sepertibernapas:
Lepaskan kendali. Lepaskan …
Dalam minggu-minggu berikutnya, pandemi terus meluas dan merenggut lebih banyak korban. Kekuatan-kekuatan jahat dalam masyarakat yang menindas orang-orang karena warna kulit mereka terus mengancam dan menghancurkan. Namun saya senang mengatakan bahwa sejak saat itu saya dapat tinggal dalam damai sejahtera Kristus – menempatkan diri saya dalam kasih dan pemeliharaan-Nya, dan bukan pada kecemasan saya yang tidak menentu. Meski ini jelas merupakan suatu perjuangan. Saya harus selalu dan sering-sering mengingatkan diri saya lagi bahwa tidak ada tindakan keadilan atau pertunjukan kebaikan yang tanpa kerendahan hati – tidak ada kasih yang dapat saya nyatakan untuk jangka panjang selain dari kasih Tuhan. Dan meskipun semua ini tidak membebaskan saya dari perlunya melangkah maju dan mengulurkan tangan, mulut, dan kaki saya, pilihan untuk mengakui ketidakberdayaan saya membantu saya untuk menerima keadaan ini. Dan untuk mengetahui bahwa, pada akhirnya, hasilnya tidak pernah dan tidak akan terletak di tangan saya – meskipun saya diundang untuk terlibat dalam pekerjaan yang sedang Dia kerjakan saat ini untuk menjadikan segala sesuatu baru.