Siap Berkorban
(Hannah Anderson)
Yesus berkata kita harus memikul salib dan mengikut Dia, tetapi kita tidak akan dapat melakukannya tanpa latihan yang sungguh-sungguh
“Anda hanya perlu datang terus sampai hal itu menjadi alami—sampai tubuh Anda mendambakan latihan. Maka Anda akan melakukannya karena Anda menginginkannya.”
Saya menatap instruktur itu. Tak ada yang alami yang saya rasakan saat itu—membungkuk dalam posisi merangkak, keringat yang mengucur dari dahi saya sampai membentuk genangan di lantai. Jantung saya berdegup kencang, putus asa meredakan kekacauan di tubuh saya dengan mengalirkan darah yang kaya oksigen. Sambil menarik napas dalam-dalam, saya berdiri dan mengangguk kepadanya sebagai tanda bahwa saya mendengarnya, lalu berjalan terhuyung-huyung ke pintu keluar. Entah kenapa, saya mengumpulkan kekuatan untuk menunjukkan wajah kesal. Saya tak sudi untuk kembali—tidak mungkin tubuh saya akan mendambakan siksaan semacam ini.
Dua minggu sebelumnya, saya mendaftarkan diri untuk ikut tantangan kebugaran atas dorongan seorang teman. Program itu meliputi perencanaan menu makanan, keanggotaan sementara di gedung olahraga setempat, dan pendukung latihan. Keputusan untuk mendaftar menjadi cukup mudah. Pada saat itu, saya bangga pada diri saya karena sudah memutuskan untuk ikut—saya siap berlatih sungguh-sungguh dan mencapai tujuan saya. Segalanya menjadi sedikit lebih sulit ketika saya melihat-lihat perencanaan menu makanan — yang kebanyakan terdiri dari buah-buahan dan sayuran segar, termasuk minyak yang aneh-aneh, daging tanpa lemak, dan tanpa makanan olahan. Saya kembali meyakinkan diri sendiri: Ini akan sulit, tetapi saya siap melakukan pengorbanan itu.
Saya segera mendapati bahwa tantangan sebenarnya bukanlah pada perencanaan menu makanan atau daftar belanja, tetapi pada pilihan setiap hari, jam demi jam. Melewatkan roti pastel saat sarapan, menambah asupan protein, memilih makanan porsi kecil sepanjang hari, dan ya, datang ke gedung olahraga. Bagian yang membuat sulit adalah bahwa, seperti banyak orang, saya sudah memahami pandangan tentang pengorbanan yang dibatasi pada saat tertentu saja. Saat saya memilih untuk mengikuti tantangan. Saat saya merencanakan menu makanan untuk minggu itu. Saya tidak siap untuk konsistensi kesinambungan yang dituntut dalam pengejaran kesehatan itu.
Supaya adil, saya berusaha memahami pandangan tentang pengorbanan ini secara alami. Dari tahun ke tahun, film-film telah mengajari saya bahwa para tentara menjadi pahlawan pada suatu peristiwa yang berbahaya dan tak terduga, ketika semesta memberi mereka pilihan untuk melakukan hal yang tepat. Di gereja, orang-orang biasa menjadi luar biasa ketika mereka memilih untuk memenuhi panggilan Kristus. Misionaris yang meninggalkan tanah airnya untuk mengabarkan Injil. Gadis muda yang menyembunyikan orang-orang tak berdosa dari kematian tertentu. Jadi, seperti banyak orang, saya mulai melihat pengorbanan sebagai sesuatu yang terjadi pada suatu saat yang fantastis.
Tetapi bagaimana jika pengorbanan itu tidak terjadi pada suatu saat saja? Bagaimana jika pengorbanan itu bukan satu pilihan, tetapi sesuatu yang Anda pelajari sedikit demi sedikit, hari demi hari? Bagaimana jika Anda hanya perlu datang terus sampai hal itu menjadi alami?
Mungkin itu sebabnya nabi Samuel memberitahu Saul bahwa Tuhan lebih menginginkan ketaatan daripada pengorbanan. Meskipun kita memikirkan hal-hal besar yang ingin kita persembahkan bagi Tuhan, Dia mengetahui yang lebih baik. Dia tahu bahwa pengorbanan terjadi dalam hal-hal kecil yang dilakukan sungguh-sungguh. Dia tahu bahwa jika kita tidak menaati-Nya sekarang, kita tidak akan pernah dapat menaati-Nya ketika “saat itu” tiba.
Mungkin itu sebabnya Kristus berkata bahwa untuk mengikut Dia, kita harus menyangkal diri setiap hari dan memikul salib kita. Setiap hari ketika Anda mengangkat balok ketaatan yang berat dan kasar, ketika otot-otot Anda meregang, paru-paru Anda meraung, dan jantung Anda berdegup kencang, Anda sedang menyiapkan diri untuk saat ketika Dia memanggil Anda untuk akhirnya menyerahkan hidup Anda. Setiap hari ketika Anda berpaling dari dunia dan datang kepada-Nya, ketaatan menjadi sedikit lebih mudah dan pengorbanan menjadi sedikit lebih alami.
Dan mungkin, ketaatan sehari-hari inilah tepatnya yang dilakukan Kristus sendiri, yang membuat-Nya pada akhirnya dapat berkata, “Bukan kehendak-Ku, tetapi kehendak-Mu yang jadi” (Lukas 22:42). Bertahun-tahun mengurusi urusan Bapa-Nya dan hanya melakukan kehendak Bapa mempersiapkan-Nya untuk taat bahkan sampai mati. Dia dapat menyerahkan nyawa-Nya pada akhirnya karena Dia sudah menjalani pengorbanan itu sepanjang hidup-Nya.
Saya akhirnya datang ke gedung olahraga untuk kedua kalinya. Dalam banyak hal, yang kali ini juga sama sulitnya dengan yang pertama — otot-otot yang robek, tubuh yang berkeringat sampai serasa hampir mati. Lalu saya datang untuk ketiga kalinya. Keempat. Kelima. Dan perlahan-lahan, saya mendapati bahwa pelatih itu benar. Tubuh saya mulai mendambakan latihan. Jika saya melewatinya, saya merasa kehilangan; dan ketika saya terus bertekun, saya menemukan orang yang berbeda dan lebih disiplin.
Bisa jadi pengorbanan-pengorbanan terbesar tergantung pada seluruh pengorbanan-pengorbanan yang lebih kecil.
Dan bisa jadi pengorbanan rohani itu berarti berkata “tidak” setiap hari kepada dorongan-dorongan hati kita yang egois. Berpesta setiap hari dengan firman-Nya yang kaya nutrisi, menopang diri kita setiap hari dengan hadirat-Nya. Mendengarkan suara-Nya yang lembut setiap hari saat Dia melatih dan mendorong kita. Pengorbanan rohani itu bisa jadi berarti melakukan semua tugas sehari-hari ini sampai hal itu menjadi alami bagi kita, sampai kita pada akhirnya menjadi orang yang tak dapat melakukan apa-apa selain taat ketika Dia memanggil.