Dekat Rumah
(Kayla Yiu)
Tetangga bukan hanya lingkungan tempat Anda tinggal, tetapi tempat Anda dipanggil untuk melayani
Sebelum saya dan suami menikah, kami sepakat untuk mencari tempat tinggal baru—sebuah rumah dengan ruangan untuk menyimpan barang-barang kami dan untuk kenangan-kenangan baru yang akan kami bangun bersama-sama. Kami mencari (dan bertengkar) selama berbulan-bulan, dan pada akhirnya kami mendapatkan sebuah rumah beberapa minggu sebelum acara pernikahan.
Perlu waktu agak lama untuk kami mengundang orang lain ke rumah kami, mengingat kami tidak memiliki meja, kursi atau sofa. Namun, pada akhirnya, teman-teman dan keluarga kami datang—memindah-mindahkan perabotan, memasang tirai, atau meminjamkan mesin pemotong rumput. Suami saya akan memandu mereka seperti dalam tur besar, dan kami semua akan mengerling ke sana-sini, seperti yang biasa dilakukan teman-teman ketika mereka benar-benar senang dengan satu sama lain. Tetapi tak ayal, ketika orang-orang yang kami kasihi itu keluar dari halaman rumah kami, banyak yang meninggalkan komentar merendahkan tentang lingkungan tempat tinggal kami, dan setiap komentar itu menusuk seperti serpihan beling di kulit saya.
Pertanyaan paling umum yang ditujukan pada saya adalah, Apakah kamu merasa aman? Apakah kamu akan terus tinggal di sini sendirian? Seorang teman menegur kami karena meninggalkan sepasang penggaruk di teras belakang karena “seseorang akan mencurinya.” Salah seorang anggota keluarga benar-benar memberitahu keluarga yang lainnya bahwa kami tinggal di “ghetto” (perkampungan suku minoritas/terpencil) dan ia sampai takut mengantar anak-anaknya turun dari mobil untuk masuk ke rumah saya. Orang lain bercanda bahwa saya dan suami “praktis menjadi misionaris” di lingkungan tempat tinggal kami. Saya tidak terkejut jika teman-teman dan keluarga kami tidak mengingat komentar-komentar mereka yang sembrono dan sambil lalu ini, tetapi saya mengingat semuanya.
Rumah kami terletak di lingkungan penduduk yang berpenghasilan rendah—yang oleh banyak orang dianggap “merusak pemandangan” kota. Meskipun ada beragam jenjang pendapatan di sini, tetapi rata-rata pendapatan masih tergolong rendah, dan mayoritas tetangga kami hanya memiliki ijazah setingkat SMA dan bekerja di bidang administrasi, jasa layanan makanan dan fasilitas. Sebagian besar rumahtangga adalah para penyewa, yang dikepalai oleh ibu-ibu tunggal. Sekolah menengah di ujung jalan adalah sekolah untuk anak-anak kurang mampu yang menyediakan makan siang gratis bagi dua pertiga siswanya, dan setiap tahun ruang-ruang kelasnya semakin kosong karena para orangtua berusaha mendapatkan peluang yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Tamu-tamu kami mungkin tidak mengetahui statistik ini, yang mereka temukan hanyalah banyak rumah yang tertutup dan gudang-gudang kosong, jalan-jalan berlubang yang dibiarkan, sampah yang berserakan di halaman dan trotoar, dan orang-orang yang menggunakan sarana transportasi umum.
Seperti halnya orang lain, saya dan suami juga memikirkan banyak faktor sebelum “mendarat” di rumah kami: faktor harga, luas ruangan, waktu untuk perjalanan pulang-pergi, dan rasa kebersamaan. Serambi yang besar, restoran yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki, dan tetangga yang akrab yang ingin melibatkan kami dalam komunitas mereka adalah bonus. Dan meskipun tak pernah ditulis sebagai “keharusan”, bergaul dengan orang-orang dari kalangan sosial ekonomi yang berbeda merupakan hal yang penting bagi saya. Sepanjang hidup saya, saya sudah menyaksikan banyak orang meningkatkan dan mengembangkan kehidupan mereka, menciptakan lingkungan yang sangat kaya di samping yang miskin. Tetapi yang tidak saya jumpai adalah orang-orang dengan berbagai macam pendapatan, pekerjaan, dan gaya hidup yang dengan bangga mendiami lingkungan yang sama. Saya ingin menjadi bagian dari yang seperti ini, untuk menepis anggapan bahwa tempat, keluarga, dan kehidupan tertentu lebih berharga dari yang lainnya.
Jadi ya, saya mengingat komentar-komentar meremehkan dari orang-orang yang kami kasihi dan hormati itu—yang sedarah dengan kami, yang menyaksikan kami menikah, dan yang akan sering mengunjungi kami untuk menikmati makanan khas daerah kami dan melakukan permainan-permainan bersama—dan kata-kata mereka menusuk hati. Tetapi melihat penghakiman begitu mudah terucap dari orang-orang yang mengasihi kami, saya jadi bertanya-tanya, apakah saya juga pernah melakukan hal yang sama. Apakah saya pernah melecehkan teman-teman atau keluarga saya karena sesuatu yang menggairahkan mereka?
Pertanyaan yang sama muncul setiap kali saya membaca Khotbah Tuhan Yesus di Bukit. Membaca Ucapan-ucapan Bahagia, saya langsung bergabung dengan orang-orang yang menderita – sampai Dia memberkati dan mengatakan berbahagialah orang-orang yang dianiaya oleh karena kebenaran (Matius 5:10), hal yang belum pernah dan mungkin tidak akan pernah saya alami. Hampir semua hal tentang diri saya setara dengan budaya mayoritas orang Amerika Serikat: pendidikan, kekayaan, warna kulit, agama. Namun meskipun hal-hal inilah yang seringkali melindungi saya dari penganiayaan, kini hal-hal ini jugalah yang membuat saya bertanya yang sebaliknya: Pernahkah saya membuat orang lain merasa dianiaya? Meskipun dunia tidak bisa begitu saja dibagi dua antara golongan penganiaya dan yang dianiaya, namun jika saya termasuk dalam salah satu kategori, saya akan berada di pihak penganiaya. Saya percaya saya pernah melakukannya meskipun hanya dalam hal-hal kecil, seperti ketika saya berpikir bahwa orang yang memakai sorban kemungkinan adalah orang yang berbahaya atau pengemis yang malas. Atau betapa mudahnya saya melihat diri saya sendiri dalam diri teman saya ketika ia bertanya apakah lingkungan saya aman. Saya tak bisa berpura-pura tahu seperti apa rasanya penindasan sistemik, tetapi saya bisa bertanya pada diri sendiri apakah saya pernah melakukan penindasan tertentu terhadap orang lain.
Segera sesudah Yesus memberkati orang-orang yang dianiaya, Dia melanjutkan, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat” (Matius 5:11). Saya tentu saja dapat merendahkan orang lain dan mengatakan hal-hal yang jahat, tetapi dicela karena Yesus? Saya pikir hal itu tak mungkin terjadi sampai teman-teman sesama Kristen mempertanyakan rumah kami. Saya tidak pernah secara eksplisit memberitahu mereka tentang alasan kami pindah ke rumah ini—jawaban saya selalu berkaitan dengan lokasi atau harga atau hal lain yang umum. Padahal inti dari semuanya adalah karena saya yakin Yesus ingin semua orang tahu bahwa diri mereka layak dan berharga. Dan menerima lingkungan ini adalah cara saya untuk membuat sekelompok orang yang diabaikan itu tahu bahwa mereka bukanlah sekadar batu loncatan, tetapi tempat untuk mendarat, untuk dirawat, dan untuk disebut rumah/keluarga.
Pendeta gereja saya sering berkata bahwa orang tentu memiliki alasan-alasan yang baik untuk pilihan-pilihan yang mereka buat dan bahwa, jika Anda mengalami seperti yang mereka alami, Anda kemungkinan juga akan membuat keputusan yang sama seperti mereka. Saya berharap teman-teman dan keluarga saya bisa berpikir seperti ini sebelum mereka mengeluarkan pendapat dan perasaan mereka tentang lingkungan kami. Tetapi di satu sisi, saya juga bersyukur atas hal itu. Saat-saat seperti ini justru membuat saya melakukan refleksi diri yang sulit tetapi penting, dan mengingatkan saya bahwa kasih Yesus sangatlah mendalam, entah hal itu terlihat oleh kita atau tidak.