Ajakan Untuk Berpetualangan
Seperti “hobbit” yang enggan, kita baru mendapatkan kemerdekaan yang sesungguhnya dengan menghadapi ketakutan kita dan
menerima panggilan yang lebih besar.
Lihatlah pahlawan yang gagah berani itu, yang berpetualang mencari kekayaan dan kehormatan! Demikianlah“rumus”yang biasa kita dengar! Namun bagaimana dengan pahlawan yang enggan, yang terhuyung-huyung keluar dari pintu rumahnya? Bilbo Baggins, tokoh dalam kisah petualangan The Hobbit, adalah pahlawan jenis itu. Sebagai pecinta berat karya-karya JRR Tolkien, saya mengatur jadwal agar bisa membaca kembali buku-bukunya setahun sekali, untuk mencari pasal-pasal atau adegan-adegan yang saya sukai. Salah satu alasan saya melakukan hal itu adalah karena petualangan Bilbo banyak sekali mengingatkan saya pada perjalanan hidup saya sendiri bersama Kristus.
Murid yang Enggan
Ketika Gandalf muncul di pintu rumah Bilbo, ia mendengar salam yang bersahabat. “Selamat pagi!” sapa Bilbo membangun percakapan yang menyenangkan. Tetapi di akhir kunjungan itu, Gandalf memperhatikan bahwa salam yang bersahabat itu sudah berubah menjadi penolakan yang dingin: “Aku tidak menginginkan petualangan apa pun, terima kasih. Tidak hari ini. Selamat pagi!”Jelas bahwa Gandalf disambut dengan sangat hangat selama ia tidak mengganggu kenyamanan hidup Bilbo. Penilaian “hobbit” itu tentang petualangan sangat akurat. Ia tidak punya bayangan; dalam petualangan terakhirnya ke Lonely Mountain (Gunung Kesepian), terlambat makan malam menjadi hal yang paling menakutkan baginya.
Hidup di lubang hobbit kita sendiri yang nyaman juga membuat kita mudah melupakan panggilan Yesus yang mengusik: “Ikutlah Aku” (Markus 1:17). Ketika Guru ini muncul di hadapan murid-murid pertama, Simon, Andreas, Yakobus dan Yohanes “langsung” meninggalkan jala mereka – bisnis keluarga mereka – untuk mengikuti pengkhotbah keliling yang tak menjanjikan kesenangan tetapi kesusahan ini (Markus 1:18). Ibu Yakobus dan Yohanes kemudian meminta Yesus memberikan kedudukan penting kepada anak-anaknya, tetapi Yesus menjelaskan bahwa harga untuk kedudukan itu sangatlah mahal.
Panggilan Kristus saat ini juga masih sangat mahal. Kenyamanan hidup di dunia modern dengan segala kesenangannya bisa membutakan mata kita tentang arti mengikut Yesus yang sebenarnya. Bagaimanapun, penantang Allah yang terbesar dalam hidup kita bukanlah Iblis, atau setan tertentu di luar diri kita, tetapi diri kita sendiri. “Ada suatu pergumulan di dalam diriku” demikian pengakuan rasul Paulus di Roma 7:22-23. Pergumulan yang sama berkecamuk di dalam diri kita ketika kita memikirkan panggilan Tuhan.
Teman-teman yang Tak Diinginkan
Gandalf ternyata orang yang sulit ditolak. Keesokan harinya, ketika orang-orang kerdil mulai bermunculan di pintu rumahnya, Bilbo sadar bahwa ia akan lebih sulit untuk menolak petualangan ini. Secara bersama-sama, 13 kurcaci itu memaksa masuk ke dalam rumahnya dan ke dalam kehidupannya, dengan membawa segala hasrat, harapan dan juga ketakutan mereka. Gandalf juga datang lagi dan di penghujung malam itu, tamu-tamu tak diundang itu sudah menyapu bersih tempat penyimpanan makanannya dan mengajukan proposal yang mengejutkan (yang ingin ia tolak). Namun di akhir perjalanan, ia mendapati bahwa teman-teman perjalanan yang tak diinginkan ini sudah menjadi sahabat sepanjang masa, karena mereka selalu bersama-sama mengarungi bahaya, kekalahan dan kemenangan dalam petualangan mereka.
Jesus dikelilingi oleh segerombolan orang yang tak terbayangkan: para penjala ikan, pemungut pajak, pejuang kemerdekaan, pengkhianat. Dia memilih mereka semua, dan mereka berjalan melalui Yudea, kadang harus tidur di alam terbuka dan kadang menumpang di tempat teman. Mereka belajar banyak tentang Yesus dan satu sama lain. Ketika perjalanan bersama Yesus itu berakhir, dan mereka menyaksikan Dia raib di awan-awan, persahabatan mereka menjadi teguh dan mampu membuat mereka bertahan menghadapi perjalanan sukar di depan mereka, setelah Pentakosta.
Kita juga sedang melakukan perjalanan bersama teman-teman yang tak terbayangkan. Sementara kita mengajak beberapa orang dalam perjalanan kita – pasangan hidup atau sahabat kita, misalnya – orang-orang lain juga mengajak kita. Beberapa teman tampaknya muncul begitu saja di depan pintu: kerabat keluarga besar, anggota-anggota gereja, teman-teman anak kita. Akibatnya, pengikut Yesus bisa menemukan dirinya berada dalam persekutuan yang mengejutkan sepanjang jalan. Tantangan kita adalah tetap bersama mereka, menolak godaan untuk menghindari yang tak terduga demi mendapatkan persahabatan yang lebih nyaman. Jika kita tetap teguh, kita akan mendapati seperti Bilbo bahwa teman-teman itu selalu bersama kita dalam suka dan duka.
Kerugian Besar dari “Tidak Menjadi Murid”
Yang paling menarik dari persamaan-persamaan ini adalah semuanya merefleksikan tentang hidup kita; karena The Hobbit merupakan jenis fantasi yang dikembangkan dari isi Alkitab dan mencerminkan kebenaran. Allah mengenal kita karena Dialah yang menciptakan kita, dan Dia dapat melihat melampaui segala kekacauan kejatuhan kita ke dalam diri kita yang sebenarnya dan yang terbaik. Bukan Bilbo yang membuat dirinya menjadi lebih baik, tetapi segala sesuatu yang dihadapinya dalam perjalanan. Jika ia tetap tinggal di lubang kenyamanannya, hanya mencemaskan apa yang akan ia makan siang dan malam, ia tentu sudah menempuh kehidupan yang lebih aman. Ia tak perlu menghadapi setan-setan, naga-naga dan kehilangan banyak teman dalam Pertempuran Five Armies.
Namun pertanyaan yang lebih baik adalah, kerugian apa yang akan dialami orang yang tidak berjiwa pahlawan, yang pengecut? Jika ia menolak ajakan untuk berpetualang, “malapetaka” terbesar tidak akan ditemukan dan dikenali: The One Ring. Sebagaimana dikatakan Gandalf kepada Frodo, keponakan Bilbo dalam “The Felowship of the Ring,” Bilbo memang “dimaksudkan” untuk menemukan The One Ring itu, membawanya pulang dan menyerahkannya kepada keponakannya. Kekalahan musuh terakhir, Sauron, kemudian adalah akibat dari keputusan salah satu hobbit yang sangat menyukai makanan yang lari keluar tanpa kantung saputangan.
Saulus bisa saja mengabaikan panggilannya yang menakjubkan. Bahkan setelah Ananias berdoa untuk kesembuhannya, ia dapat saja memutuskan untuk menghentikan penganiayaan dan tidak melakukan apa-apa lagi. Jika ia berbuat demikian, misi Allah tidak akan gagal, tetapi Saulus tidak akan menjadi Paulus dan ia akan kehilangan kesempatan untuk ikut berperan dalam rencana besar Allah bagi orang-orang non-Yahudi.
Kutipan Dallas Willard tentang “non-discipleship” (tidak menjadi murid Kristus) sangat menggugah. “Tidak menjadi murid akan membuat orang kehilangan damai sejahtera yang tetap, kehidupan yang penuh kasih, iman yang memandang segala sesuatu dalam terang kedaulatan Allah yang bekerja untuk kebaikan, pengharapan yang tetap teguh di tengah berbagai situasi paling menekan, kekuatan untuk melakukan yang benar dan menolak yang jahat. Singkatnya, ia akan kehilangan hidup berkelimpahan sebagaimana yang dijanjikan Yesus.”
-James Cain