Allah Menyukai Perayaan (Joshua Ryan Butler)
Siapa yang mengenal kita lebih baik dari diri kita sendiri?
Saya baru-baru ini mengaku kepada seorang sahabat bahwa saya sering bergumuI dengan “sindrom penyemu,” atau merasa seperti penipu dalam kesuksesan-kesuksesan kecil yang saya alami. Alih-alih mengatakan bahwa saya tidak seburuk itu, atau perasaan seperti itu berbahaya, sahabat saya – sebut saja namanya Sarah – malah berkata bahwa sedikit sindrom penyemu justru bisa memotivasi saya untuk menjadi lebih baik, selama saya tidak terlalu memasukkannnya ke dalam hati. Tanggapannya mengejutkan saya.
Perkataan itu mengingatkan saya pada percakapan lain,yang saya dan teman-teman alami bersama Sarah – saat perspektifnya membuat kami melihat diri kami secara berbeda – dan jauh lebih ramah – dari yang biasanya kami lakukan. Sebagai contoh, ketika seorang teman mengaku bahwa ia merasa ngeri dengan dirinya sendiri yang merasa iridengan keberhasilan orang lain, Sarah berkata bahwa ia lebih baik mengambil waktu untuk menyelidiki keinginan-keinginandi balik rasa iri itu daripada mencaci maki diri sendiri. Pada kesempatan lain, Sarah menolak permintaan maaf seorang rekan atas kesalahan yang terjadi akibat kelalaiannya. Sarah berkata padanya bahwa kesalahan itu hanyalah cara untuk kita belajar.
Ketika perbuatan dosa, atau bahkan hanya kesalahan kecil yang tak berarti, membuat saya merasa malu atau mengasihani diri, Sarah selalu hadir dengan versi yang lebih lembut dan ramah tentang hal itu: Kamu manusia kan? Wajarlah.
Saya sering bertanya-tanya, apakah pola pikir Sarah yang agak lebih humanis dari teologi yang saya anut, di mana para pengkhotbah selalu mengingatkan bahwa kita semua adalah orang paling berdosa, sampah dunia, “ulat dan bukan orang” (Mazmur 22:7). Mungkin Sarah hanya berpikir agak terlalu baik tentang manusia, pikir saya. Mungkin ia tidak menganggap dosa cukup serius? Tetapi akhir-akhir ini, saya mulai menyadari bahwa mungkin sayalah orang yang berpikiran keliru dalam hal ini. Mungkin itu bukan soal terlalu menghargai orang. Mungkin saya saja yang terlalu sedikit memikirkan tentang Allah. Dan sebagai akibatnya, mungkin saya jadi tidak melihat diri saya sebagaimana Allah melihatnya.
Di dalam Mazmur 103, Daud memberikan pandangan tentang kemanusiaan maupun keilahian dari perspektif Allah. Pagi-pagi sekali, Daud memanjatkan litani dosa dan kelemahan-kelemahannya sendiri, dan memberi kesaksian betapa Allah sudah menyelamatkannya dari ketidakadilan, sakit-penyakit dan situasi-situasi yang berada di luar kendalinya. Tetapi ia tidak membuat kita terkesan bahwa Allah hanya memandang kita sebagai orang berdosa dan pembuat kesalahan. Allah justru memperlakukan kita dengan lembut, “seperti bapa sayang kepada anak-anaknya.” Dia ingat bahwa kita ini “hanya debu” dan hari-hari kita berlalu seperti “rumput” (Mazmur 103:13-15).
“Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita,”tulis Daud, “Tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia” (Mazmur 103:10-11). Yang tampaknya hendak disampaikan Daud kepada kita adalah bahwa Allah tidak mengharapkan kita sempurna, meski rupanya kita mengira begitu. Jika saya memilih untuk menghujat dan menghukum diri sendiri karena saya adalah manusia, saya sedang membuat diri saya mengikuti standar yang tak pernah ditetapkan Allah. Menurut Daud, Allah tahu saya ini manusia, dan Dia mengasihi saya apa adanya.
Pada saat yang sama, Allah tidak mau kita memakai kemanusiaan kita sebagai alasan untuk berkanjang dalam dosa. Terkadang kita tidak cukup serius menangani kesalahan-kesalahan kita – kita tidak mengakui jika bersalah; kita tidak belajar dari kesalahan kita. Ini juga akibat dari memandang Tuhan terlalu kecil. Kita pikir Dia tidak tahu apa yang kita lakukan, atau hanya memberi kedipan dan anggukan saja karena kita berada “dalam keluarga.”
Yang disampaikan Daud kepada kita adalah sebuah kecenderungan, seperti ketika ia melakukan perzinahan dan membuat suami selingkuhannya mati terbunuh dalam pertempuran. Daud tidak dapat melihat dosanya sendiri – sampai Allah mengutus nabi Natan untuk menolongnya. Daud hancur hatinya dan berkata kepada Allah, “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu” (Mazmur 51:4).
Yang menarik, beberapa pakar Alkitab percaya bahwa Daud menulis Mazmur 103 dan Mazmur 53 pada tahun yang sama, setelah terjadinya peristiwa-peristiwa ini. Keduanya bersama-sama mengajarkan pada kita bahwa ketika kita memandang dosa secara serius, seperti Allah memandangnya, dan memberi pengampunan yang sama kepada diri kita sendiri seperti pengampunan yang diberikan Allah pada kita, kita menjadi makin seperti Dia – sekalipun dengan kesadaran penuh akan kemanusiaan kita. Melalui nasihat orang lain, Daud dapat melihat dirinya sendiri – dengan kekurangandan kelebihannya – seperti Allah melihatnya. Terdengar tidak asing? “Seorang kawan memukul dengan maksud baik,” tulis Salomo kepada anak-anaknya (Amsal 27:6). “Sebagaimana minyak harum dan wangi-wangian menyenangkan hati, demikian juga kebaikan kawan menyegarkan jiwa” (Amsal 27:9, BIS)
Sahabat saya, Sarah, juga telah menolong saya melihatdiri saya sendiri dengan lebih jelas,seperti Natan menolong Daud. Dan kita dapat menjadi sahabat seperti ini bagi orang lain. Seperti tulisan Paulus kepada jemaat di Tesalonika, “Kami juga menasihati kamu, saudara-saudara, tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, hiburlah mereka yang tawar hati, belalah mereka yang lemah, sabarlah terhadap semua orang” (1 Tesalonika 5:14).
Memang, adakalanya kita perlu mendorong teman-teman kita untuk menghadapi kesalahan mereka dan mengakuinya dengan rendah hati di hadapan Allah. Tetapi terkadang kita juga perlu mengundang mereka untuk memberikan kasih karunia yang sama kepada diri mereka sendiri seperti yang dilakukan Allah. Di dalam semuanya itu, Paulus berkata kita harus sabar. Meskipun kita dapat saling menolong untuk bertumbuh dalam iman, tidak seorang pun dari kita yang benar-benar dapat melihat diri kita – dan dosa kita – seperti Allah melihatnya. Tidak dalam kehidupan ini. Dan itu juga merupakan bagian dari diri kita sebagai manusia.
Itu juga sebabnya saya bersyukur telah mengenal Sarah dan Natan. Karena tanpa teman yang menunjukkan jalan kepada saya, saya akan kehilangan perspektif. Peringatan-peringatan mereka yang lembut dan nasihat-nasihat merekalah yang telah membuat saya menjadi percaya. Dan teman-teman sayalah yang membuat saya dapat melihat.