Cara Yang Lembut
(Marlena Graves)
Tuhan tidak menyebabkan penderitaan kita, tetapi Dia dapat memakai penderitaan itu untuk mengubah kita.
Belum lama ini, saya pikir saya akan matikarena penyakit kanker ganas yang menggerogoti seluruh tubuh saya. Kelenjar getah bening yang membengkak dan menyakitkan muncul di mana-mana, termasuk di perut saya. Tiga sampai empat minggu sebelumnya, asam lambung saya naik dan saya mengalamisakit perut yang hebat. Saya hampir tak bisa makan. Saya tidak pernah mengalami gejala- gejala penyakit ini sebelumnya. Jadi saya langsung bergegas ke pusat perawatan daruratpadahari Jumat malam sepulang kerja. Saya mencemaskan masalah asam lambung saya. Tetapi, asisten dokter malah tampakmengkhawatirkan pembengkakan kelenjar getah bening saya. Ia langsung menyuruh saya ke rumah sakit: “Anda perlu cek darah sesegera mungkin.” Petugas pendaftaran dengan sigap menghubungi dokter yang akan menangani saya untukmeminta pengecualian dan mendaftarkan saya untuk pemeriksaan pada hari Senin berikutnya pukul 8.40 pagi.
Setelah menelepon suami saya, saya berbicara dengan mentor saya, Lisa, lewat telepon. “Bagaimana perasaanmuatas semua ini?” ia bertanya. Jawaban spontan saya, meskipun dengan nada bercanda, sangat serius: “Ya kalau boleh, akutidak ingin mati sekarang, tetapi apa yang bisa kulakukan?” Ia tertawa. Saya juga tertawa, mengingat kemungkinan-kemungkinan itu. Tetapi sungguh, apa yang bisa saya lakukan dengan hal itu? Saya tidak memiliki apa-apa untuk bisa mengendalikan situasi.
Akhir pekan berlalu, dan kemudian tibalahhari Senin pagi, saat saya menjalani pemeriksaan.Dan yang sungguh melegakan, saya ternyata tidak mengidap kanker. Namun, semua siksaan itu telah menyadarkan saya tentang betapa rapuhnya hidup ini dan betapa banyaknya yang berada di luar jangkauan saya.
Pada hari yang sama setelah mendapatkan semua kejelasan ini, saya menemani pendeta senior kami dan satu tim kecil anggota jemaat untuk menemui para pengungsi. Saya melakukantugas sebagai penerjemah, sementara yang lain membagikan makanan, selimut, jaket, senyum, penggunaan ponsel atau informasi tentang tempat pemberhentian bus berikutnya. Para pengungsi itu hampir tak dapat berkata-kata, apalagi tentanghal-hal yang terjadi pada mereka. Setiap Senin malam kami menjumpai mereka, dan setiap kali, saya sangar sadarbahwa saya adalah bagian dari kelasatas dunia. Ada bantalan untuk penderitaan saya yang tidak dimiliki para pengungsi itu atau orang-orang lainnya.
Mengapa demikian? Mereka tidak melakukanapa-apayangpantasmembuat mereka mengalami penderitaan itu. Mereka melarikan diri dari kekerasan, mafia obat-obatan, dan kemiskinan akibat pemerintahan yang kacau di negeri asal mereka. Hampir setiap minggu kami menjumpai “Maria, Yusuf dan Bayi Yesus” yang melarikan diri. Mereka tampak sangat traumatis, letih, kedinginan dan kelaparan. Mereka sudah mengalami yang bisa kita sebutsebagai neraka dunia. Mengapa orang-orang tak bersalah itu berada dalam situasi yang saya tidak ada di dalamnyamerupakan sebuah misteri. Saya tidak lebih suci dari mereka. Dan banyak dari mereka adalah orang-orang Kristen yang taat juga.
Di Matius 9:13, Yesus menggemakan Hosea 6:6 ketika Dia berkata kepada orang-orang Farisi, “pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan.” Orang Farisi adalah orang-orang yang “habis-habisan” untuk Tuhan. Mereka dapat mengutip ayat-ayat Kitab Suci dengan benar dan berada di sinagoge setiap kali pintunya terbuka. Dalam banyak hal, mereka tampak sebagai orang-orang Yahudi teladan. Namun pada kenyataannyamereka tidak begitu. Yesus berulang kali mengecam mereka dan orang banyak dengan menegasikan status mereka sebagai tokoh masyarakat dan agama. Dari sudut pandang Yesus – yang berarti menurut pandangan Tuhan – orang-orang Farisi harus banyak belajar tentang kerendahan hati dan belas kasihan dari pemungut cukai dalam perumpamaan Tuhan Yesus yang bersikap rendah hati dan merasa malu dengan dosa-dosanya. Mereka harus banyak belajar dari orang Samaria – yang dianggap sebagai kelompok paling rendah secara sosial danspiritualdalam budaya Yahudi saat itu. Orang Samaria yang dianggap hina inilah, bukan orang Farisi yang saleh, yang menunjukkan kasih dan kemurahan kepada korban perampokan yang ditinggalkan hampir mati di jalan ke Yerikho.
Di dalam kitab-kitab Injil, dan terutama dalam Perumpamaan tentang Orang Samaria Yang Murah Hati, Yesus menunjukkan dengan jelas bahwa menghafalkan Kitab Suci, tidak pernah absen ke gereja, dan rutin memberikan perpuluhan, tidak ada artinya jika kita tidak memiliki kasih dan kemurahan—jika mereka tidak menunjukkan belas kasihan yang penuh cinta kasih. Paulus berkata, kesalehan yang tanpa kasih hanyalah seperti canang yang bergemerincing (1 Korintus 13:1). Menjengkelkan. Mengecewakan. Menjijikkan.
Ketika kita merasa diri benar, lebih kecil kemungkinankita akan menerima atau memberi kemurahan, karena kita buta akan kebutuhan-kebutuhan kita sendiri –apa pun bentuknya. Kecenderungan pelituntukbermurah hati dan berbelas kasihan menunjukkan bahwa kita seperti anak-anak yang hilang di negeri yang jauh, yang terpisah dari Tuhan maupun sesama kita. Bukankah itu semacam neraka? Tetapi kerendahan dan kelembutan hati membuat kita menyalurkan kasih karunia dan kemurahan kepada orang lain – untuk menghibur mereka dengan penghiburan yang sama seperti penghiburan yang kita terima (2 Korintus 1:4). Setidaknya, begitulah seharusnya.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Tuhan menyebabkan penderitaan semata-mata untuk mengajar kita berbeIas kasihan. Iblislah yang mencuri, membunuh dan membinasakan, bukan Tuhan. Tuhan justru memberi kita hidup dalamsegala kelimpahannya (Yohanes 10:10). Tetapi penderitaan cenderung membangkitkan belas kasihan, jika sebelumnya kita abai atau acuh tak acuh.
Orang yang rendah hati menunjukkan sikap Orang Samaria yang Murah Hati yang membawa kehidupan, buku cek dan cara-cara yang lembut, dan bukan sikap yang berpusat pada diri sendiri, membenarkan diri atau tak punya perasaan terhadap penderitaan orang lain. Yesus itu sempurna, tidak berdosa dan taat sepenuhnya pada Bapa dan kehendak-Nya. Namun Dia tahu seperti apa penderitaan itu. Dia tahu bagaimana rasanya diremukkan, dikorbankan, dikejar-kejar dan dipingkirkan. Apakah mengherankan jika Dia mencurahkan perhatian penuh kasih kepada orang yang tidak terpandang dan mendengar isak tangis piluorang-orang yang dibungkamkan?
Alkitab menyaksikan bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang penuh belas kasihan (Mazmur 145:8-9). Orang yang pernah menderita dan menjadi murah hati mengertiarti kelemahan dan kerentanan, sehingga anugerah kemurahan tercurah bagi mereka. Dalam kehancuran, mereka seringkali cenderung melakukan hal yang sama. Dan dalam kecenderungan mereka untuk menunjukkan kemurahan, mereka menjadi menyerupaiTuhan. Seperti Tuhan, mereka penuh perhatian pada orang yang kesusahan. Dan seperti dikatakan Simone Weil, “Perhatian adalah bentuk kemurahan yang paling langka dan paling murni.”