Demi Martabat Semua Manusia
(Daniel Darling)
Allah sudah menetapkan harkat ilahi manusia, dan tanggung jawab kita adalah menegakkannya.
Beberapa waktu lalu, saya diminta berbicara di Washington D.C. dalam suatu acara yang membahas tentang martabat manusia, dan saya mengajak putri saya yang baru berusia 13 tahun. Selesai acara, kami masih punya waktu beberapa hari untuk melihat-lihat ibukota negara. Saya ingin Grace bisa melihat sebanyak mungkin, karena itu saya membuat agenda perjalanan yang cukup padat. Lalu, pada salah satu hari itu, ketika kami sedang berjalan menuju Monumen Washington, kami melewati seorang veteran, tunawisma yang memegang sebuah tanda sederhana untuk meminta uang. Kami berjalan bergegas-gegas, tetapi beberapa langkah kemudian putri saya berhenti dan berkata, “Ayah, kita harus menolong orang itu.”
Saya menanggapinya dengan alasan klise. “Ayah tidak bawa uang tunai.” Dan, “Nanti juga kita akan menjumpainya lagi saat dalam perjalanan pulang.” Tetapi Grace tetap bergeming.
“Ayah,” katanya, “Ia diciptakan segambar dengan Allah. Kita tak bisa melewatinya begitu saja”
Ia lalu mengambil sebagian uang yang disiapkannya untuk perjalanan itu dan berjalan balik ke arah orang tua itu, menyerahkan uang itu dan berkata, “Saya hanya ingin Bapak tahu, Allah mengasihi Bapak.”
Saya terhenyak. Saya baru saja berbicara tentang topik martabat manusia dan menulis buku dengan tema yang sama, namun ternyata saya sudah gagal dalam ujian yang paling mendasar. Saat mendapat kesempatan untuk melihat manusia dalam diri orang yang dianggap hina, orang dari kelompok masyarakat yang paling menggoda untuk diabaikan, saya gagal.
Betapa mudahnya untuk benar-benar melewatinya begitu saja.
Mengenali Sesamaku Manusia
Ketika Yesus tinggal di bumi, Dia juga mendapat pertanyaan yang sama yang suka sekali ditanyakan orang-orang relijius seperti kita. “Siapakah sesamaku manusia?” adalah respons seorang ahliTaurat ketika Yesus mengulangi perintah yang berbunyi, “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.” Pertanyaan orang ini – seperti juga kita – tidak muncul dari keingintahuan, tetapi sebagai upaya mencari celah yang dapat dimanfaatkan untuk tidak menerapkan kasih. Orang itu pasti bukan sesamaku manusia, demikian kita berkata pada diri sendiri.
Kita melakukan ini pada orang-orang yang memiliki kelemahan/kekurangan, yang menggoda kita untuk tidak melihatnya: anak-anak yang tidak dilahirkan, orang-orang miskin, para lansia, dan orang-orang lainnya yang kita pinggirkan dan abaikan, karena mereka tidak sesuai dengan cerita hidup yang lebih kita sukai di dunia ini. Terkadang kita melewatinya begitu saja karena, dengan dibutakan oleh kemakmuran atau kedudukan kita yang istimewa, kita benar-benar tidak melihat orang terluka yang terkapar di jalan ke Yerikho kita sendiri.
Namun terkadang, kita tidak melihat orang-orang yang dilihat Yesus ini karena kita memang tidak ingin melihatnya. Saya tidak ingin melihat veteran pengemis di Washington DC karena saya ingin menepati rencana perjalanan saya. Terkadang kita disibukkan dengan kesenangan kita, seperti saya pada saat itu. Tetapi mata kita juga dapat dibutakan dari orang-orang lemah ini karena rumpun kesukuan/kelompok kita – entah itu secara politik, sosial, atau agama – yang seringkali membuat kita tidak melihat yang seharusnya kita lihat. Kesetiaan pada kelompok/kesukuan bisa menimbulkan daya tolak untuk mengabaikan kelompok orang tertentu. Mudah sekali bagi kita untuk mengecam orang-orang yang membiarkan orang lemah terkapar di pinggir jalan 2000 tahun kemudian. Padahal, mereka juga kemungkinan besar memiliki alasan-alasan yang terdengar relijius untuk melewatinya begitu saja. Kita tidak tahu pasti apa yang ada di pikiran mereka, tetapi kita dapat menduga-duga seperti ini: Aku sedang dalam perjalanan untuk melakukan tanggung jawab agama yang penting. Ia mungkin sudah membuat pilihan yang tidak bijak sampai bisa terlantar di sini. Jika aku terlihat bersamanya, bagaimana nanti reputasiku?
Kita juga sering memiliki alasan-alasan yang terdengar relijius untuk berjalan melewatinya saja. Kita mungkin juga sedang dalam perjalanan untuk melakukan pekerjaan Tuhan tetapi gagal melihat kesempatan untuk menunjukkan kasih Kristus, untuk berpihak pada orang-orang yang tidak memiliki suara. Seperti orang-orang beragama pada zaman Yesus, kita sedang kehilangan bagian yang penting dari yang hendak disampaikan Yesus kepada kita.
Dalam cerita tentang Orang Samaria Yang Murah Hati, Yesus secara tidak langsung mengatakan bahwa “sesama kita manusia” juga termasuk orang-orang yang mungkin tidak kita lihat. Ketika Imam dan Orang Lewi menemukan orang yang terkapar di jalan ke Yerikho itu, mereka tidak melihat seorang manusia. Yang mereka lihat adalah sebuah rintangan, sebuah masalah. Atau mereka memang memilih untuk tidak melihatnya sama sekali.
Yang hendak Yesus sampaikan pada kita adalah, ketika kita melihat orang seperti ini di jalan ke Yerikho kita, kita harus melihat seorang manusia secara utuh – seorang yang diciptakan Allah dari debu tanah dan merupakan gambar Allah.Seorang yang ditenun Sang Pencipta dengan cermat di rahim seorang ibu.